- Shaf Wanita di Masjid
Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah berkata, Rasulullah bersabda,
خَيْرُ صُفُوفِ الِرجَالِ أَوِّلُهَا وَشَرُّهَا آخِرُهَا وَخَيْرُ صُفُوفِ النِسَاءِ آخِرُهَا وَشَرُّهَا أَوَّلُهَا
“Sebaik-baik shaf laki-laki adalah yang pertama dan seburuk-buruknya adalah yang terakhir. Sebaik-baik shaf wanita adalah yang terakhir dan seburuk-buruknya adalah yang pertama.”
Faidah-faidah Hadits:
1- Maksud, “Seburuk-buruk.” adalah rendahnya keutamaannya dibandingkan dengan shaf di depannya, bukan berarti shaf tersebut buruk yang tidak ada kebaikannya sama sekali.
2- Shaf laki-laki yang paling tinggi keutamaannya adalah yang pertama dan yang paling rendah adalah yang terakhir.
3- Shaf wanita yang paling tinggi keutamaannya adalah yang pertama dan yang paling rendah adalah yang terakhir jika shalat berjamaah dilaksanakan secara khusus oleh kaum wanita tanpa kaum laki-laki.
4- Shaf wanita di masjid berada di belakang shaf laki-laki bukan di samping, bukan di samping kanan, bukan di samping kiri.
5- Jika kaum wanita shalat bersama kaum laki-laki di masjid maka shaf terbaiknya adalah yang terakhir sesuai dengan hadits di atas.
Apakah Harus Ada Tabir atau Tidak Harus Ada?
Masalah ini termasuk masalah yang lapang, adanya tabir tidak harus dan tidak adanya tabir juga tidak harus, Rasulullah –sebatas ilmu penulis- tidak mengharuskan ini dan tidak mengharuskan itu, masalah ini kembali kepada kemaslahatan lapangan, di antara kemaslahatan tabir adalah memisah jamaah wanita dengan jamaah laki-laki sehingga sebagian dari mereka tidak terfitnah atau tergoda oleh sebagian yang lain.
Dalam fatwa no. 4913 al-Lajnah ad-Daimah (Majlis Ulama Saudi Arabiah) ditulis, “Tidak mengapa meletakkan satir (tabir) dari kain atau sepertinya di antara laki-laki dengan wanita dalam shalat Tarawih dan shalat fardhu atau sunnah lainnya, seandainya kaum wanita shalat di belakang laki-laki tanpa satir maka hal itu tidak masalah, dalam kondisi ini mereka harus berhijab, inilah yang diamalkan pada zaman Nabi saw dan para sahabat. Perkara ini lapang. Alhamdulillah. Ketua Lajnah, Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz.
Imam al-Bukhari meriwayatkan dari Amru bin Salamah bahwa ketika kaumnya masuk Islam, mereka hendak mendirikan shalat, Amru berkata, “Mereka melihat, tidak ada seorang pun yang paling banyak al-Qur`annya daripada aku, maka mereka menjadikanku imam padahal usiaku masih enam atau tujuh tahun, aku memakai jubah yang jika aku sujud maka ia tersingkap, lalu seorang wanita dari kaumku berkata, ‘Tutuplah pantat imam kalian dari pandangan kami.’ Maka mereka membeli sebuah jubah qamish untukku, aku tidak pernah berbahagia melebihi kebahagiaanku dengan baju tersebut.”
Bagaimana Jika Tabir Itu Tinggi?
Apakah ia tidak menghalangi sahnya jamaah karena di antara syarat jamaah adalah makmum mengikuti imam, untuk bisa mengikuti, makmum harus mengetahui, jika tabirnya tinggi bagaimana makmum mengetahui dan selanjutnya mengikuti?
Benar, makmum mengikuti imam dan untuk bisa mengikuti, makmum mesti mengetahui, namun mengetahui tidak terbatas dengan melihat, bisa pula dengan mendengar, jika makmum mendengar takbir imam maka dia mengetahui gerakannya sekali pun tidak melihatnya, dalam kondisi ini makmum dihukumi mengetahui sehingga dia mengkuti imam. Tingginya tabir bukan penghalang bagi makmum untuk mengetahui shalat imam.
Jika mengetahui dibatasi hanya dengan melihat maka hal ini sangat menyulitkan. Dengan asumsi makmum tidak mendengar takbir imam, shalat makmum tetap sah dengan mengikuti makmum di depannya atau di sampingnya yang mungkin mendengar.
Imam an-Nawawi dalam al-Majmu’ 4/302 berkata, “Imam dan makmum dalam satu masjid, maka iqtida` (mengikuti) dari makmum kepada imam adalah sah, jarak keduanya dekat atau jauh karena besarnya masjid, bangunannya satu atau terpisah seperti teras masjid atau lorong masjid…Shalat dalam kondisi-kondisi ini sah jika makmum mengetahui shalat imam dan tempatnya tidak di depan imam, tidak ada perbedan dalam hal ini.”
Semua itu jika makmum dan imam di satu masjid, adapun jika imam di masjid sementara makmum di lain tempat atau di rumah, lalu makmum shalat mengikuti imam melalui radio atau TV maka hal ini tidak, ia termasuk perkara baru yang diada-adakan dalam ibadah, “Barangsiapa mengada-adakan sesuatu dalam perkara kami ini padahal ia bukan darinya maka ia ditolak.” Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim.
sumber: http://moslemsunnah.wordpress.com/2009/07/28/shaf-wanita-di-masjid/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar