Sabtu, 19 Maret 2011

Hukum Wanita Memakai Celana Panjang

Syaikh Ibnu Jibrin rahimahullah ditanya, “Apa hukum memakai celana panjang bagi para wanita ketika bukan di hadapan suaminya?
Beliau rahimahullah menjawab,
Tidak boleh bagi seorang wanita di hadapan selain suaminya untuk mengenakan celana seperti itu karena jika ia mengenakan seperti itu maka itu akan menampakkan bentuk lekuk tubuhnya. Padahal para wanita diperintahkan untuk mengenakan pakaian yang menutupi seluruh badannya[1].  Wanita adalah biang fitnah (mudah menggoda yang lainnya). Segala sesuatu yang menampakkan bentuk lekuk tubuhnya diharamkan untuk ditampakkan pada pria atau pada wanita dan selainnya, kecuali pada suaminya. Suaminya boleh saja melihat dirinya, yaitu pada seluruh badannya. Wanita boleh saja menggunakan celana panjang yang longgar atau yang sempit sekali pun, atau semacamnya. Wallahu a’lam.
[Syaikh Ibnu Jibrin, An Nukhbah minal Fatawa An Nisaiyah[2]]
Syaikh Sulaiman bin ‘Abdillah Al Maajid ketika ditanya masalah ini menjawab,
“Jika celana tersebut longgar dan menutupi hingga lutut, maka boleh dikenakan di hadapan para wanita dan mahromnya. Adapun jika celana tersebut sempit, maka tidak boleh ditampakkan pada wanita lainnya kecuali pada suaminya saja. Wallahu a’lam.”[3]
***
Fatwa ini kami sertakan untuk menjawab pertanyaan Ummu Shafiyyah di kolom konsultasi Rumaysho.com di sini. Semoga bermanfaat.

Prepared after Zhuhur in Riyadh, KSA, 25 Dzulhijjah 1431 H (01/12/2010)
By: Muhammad Abduh Tuasikal


[1] Beda dengan pria, aurat pria mulai dari pusar hingga lutut. Sehingga tidak mengapa menggunakan celana panjang selama tidak terlalu ketat. Dalam hadits disebutkan, “Karena di antara pusar sampai lutut adalah aurat.” (HR. Ahmad 2/187, Al Baihaqi 2/229. Syaikh Syu’aib Al Arnauth menyatakan sanad hadits ini hasan) Sedangkan wanita diperintahkan untuk menutup auratnya seluruh tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangannya.

Bolehkah Menyemir Rambut Dengan Warna Hitam

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Bagi yang sudah berusia senja atau mungkin saja masih muda tapi sudah beruban, sangat ingin sekali merubah warna rambutnya yang telah memutih dengan warna hitam. Inilah tanda ketidaksabaran dari sebagian orang dengan warna rambutnya itu. Namun bagaimanakah tuntunan Islam dalam hal ini? Bolehkah mewarnai rambut dengan warna hitam? Tulisan ini sebenarnya telah kami bahas dalam posting yang sudah lama kami muat di web ini. Silakan lihat di link berikut. Jadi tulisan ini hanya kembali mengingatkan kembali akan tidak bolehnya menggunakan warna hitam ketika menyemir rambut. Perhatikan tulisan berikut yang di dalamnya terdapat penjelasan dari ulama besar Saudi Arabia, Syaikh ‘Abdul Karim Khudair[1].
Bersabar dengan Uban
Kondisi beruban memang tidak menyenangkan bagi sebagian orang. Ada yang merasa gatal sehingga ingin mencabut uban tersebut dari kepalanya. Atau karena penampilan yang sudah terlihat tua, akhirnya ia pun ingin merubah uban dengan warna lain (terutama dengan warna hitam).
Padahal uban adalah cahaya seorang mukmin di hari kiamat. Perhatikan dalam hadits-hadits berikut.
Dari ‘Abdullah bin ‘Umar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الشيب نور المؤمن لا يشيب رجل شيبة في الإسلام إلا كانت له بكل شيبة حسنة و رفع بها درجة
Uban adalah cahaya bagi seorang mukmin. Tidaklah seseorang beruban –walaupun sehelai- dalam Islam melainkan setiap ubannya akan dihitung sebagai suatu kebaikan dan akan meninggikan derajatnya.[2]
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لا تنتفوا الشيب فإنه نور يوم القيامة ومن شاب شيبة في الإسلام كتب له بها حسنة وحط عنه بها خطيئة ورفع له بها درجة
Janganlah mencabut uban karena uban adalah cahaya pada hari kiamat nanti. Siapa saja yang beruban dalam Islam walaupun sehelai, maka dengan uban itu akan dicatat baginya satu kebaikan, dengan uban itu akan dihapuskan satu kesalahan, juga dengannya akan ditinggikan satu derajat.[3]
Dari ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَا تَنْتِفُوا الشَّيْبَ مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَشِيبُ شَيْبَةً فِي الْإِسْلَامِ إِلَّا كَانَتْ لَهُ نُورًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Janganlah mencabut uban. Tidaklah seorang muslim yang beruban dalam Islam walaupun sehelai, melainkan uban tersebut akan menjadi cahaya baginya pada hari kiamat nanti.”[4]
Sehingga kami nasehatkan di atas tadi, bersabar itu lebih utama. Jangan merasa gelisah atau risih dengan uban tersebut. Lihatlah balasan atau pahala yang Allah berikan kelak nanti. Cahaya di hari penuh kesulitan di hari kiamat, itu lebih utama dari gelisah dan tidak suka di dunia. Coba setiap yang beruban merenungkan hal ini. Namun hanya Allah lah yang beri taufik dan hidayah demi hidayah.
Diharamkan Menyemir Uban dengan Warna Hitam
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى لَا يَصْبُغُونَ فَخَالِفُوهُمْ
Sesungguhnya orang-orang Yahudi dan Nashrani tidak menyemir uban mereka, maka selisilah mereka.”[5]
Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, ”Pada hari penaklukan Makkah, Abu Quhafah (ayah Abu Bakar) datang dalam keadaan kepala dan jenggotnya telah memutih (seperti kapas, artinya beliau telah beruban). Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
غَيِّرُوا هَذَا بِشَيْءٍ وَاجْتَنِبُوا السَّوَادَ
Ubahlah uban ini dengan sesuatu, tetapi hindarilah warna hitam.”[6] Ulama besar Syafi’iyah, An Nawawi membawakan hadits ini dalam Bab “Dianjurkannya menyemir uban dengan shofroh (warna kuning), hamroh (warna merah) dan diharamkan menggunakan warna hitam”.
Ketika menjelaskan hadits di atas An Nawawi rahimahullah mengatakan, “Menurut madzhab kami (Syafi’iyah), menyemir uban berlaku bagi laki-laki maupun perempuan yaitu dengan shofroh (warna kuning) atau hamroh (warna merah) dan diharamkan menyemir uban dengan warna hitam menurut pendapat yang terkuat. Ada pula yang mengatakan bahwa hukumnya hanyalah makruh (makruh tanzih). Namun pendapat yang menyatakan haram lebih tepat berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “hindarilah warna hitam”. Inilah pendapat dalam madzhab kami.”
Bahan yang baik digunakan untuk menyemir uban tadi adalah inai dan pacar. Dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ أَحْسَنَ مَا غَيَّرْتُمْ بِهِ الشَّيْبَ الْحِنَّاءُ وَالْكَتَمُ
Sesungguhnya bahan yang terbaik yang kalian gunakan untuk menyemir uban adalah hinna’ (pacar) dan katm (inai).”[7]
Soal-Jawab Syaikh ‘Abdul Karim Khudair
Beliau hafizhahullah ditanya, “ Apa hukum mewarnai rambut dengan warna hitam?”
Jawaban dari beliau,
Hadits yang membicarakan masalah ini menyatakan,
وَجَنِّبُوهُ السَّوَادَ
Jauhilah menggunakan warna hitam.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika melihat Abu Qohafah dengan rambutnya yang beruban (warna putih),  beliau bersabda,
غَيِّرُوهُ وَجَنِّبُوهُ السَّوَادَ
Ubahlah uban tersebut dan jauhi warna hitam.” Namun hadits ini dikatakan mudroj (ada tambahan dari perowi) yang tidak bisa dijadikan hujjah dan tidak bisa dijadikan dalil. Akan tetapi, mewarnai rambut dengan hitam baik untuk laki-laki, perempuan, hukumnya haram. Termasuk pula bagi anak kecil atau orang dewasa, hukumnya sama, tetap haram.
Masih tersisa masalah, mengenai mengubah uban dengan warna selain hitam. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam katakan dalam hadits, “Ubahlah”. Minimal perintah ini adalah sunnah dan ada sebagian ulama katakan hukumnya adalah wajib untuk merubah uban (dengan warna selain hitam). Dan sahabat Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu sendiri merubah ubannya dengan hinna’ (pacar) dan katm (inai). Adapun sahabat ‘Umar radhiyallahu ‘anhu mengubah ubannya hinna’ (pacar) dan shorf.
Kita perhatikan sendiri bahwa kebanyakan orang yang berada di usia senja tidak mewarnai ubannya, karena dalam hal ini terasa sulit dan berat.
Intinya, melakukan perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk merubah uban (dengan warna selain hitam) sangat dituntut bagi seorang muslim. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri katakan, “Ubahlah uban tersebut”. Para ulama katakan bahwa mewarnai uban (dengan selain hitam) di sini hukumnya sunnah, bukan wajib. Akan tetapi, jika kita katakan demikian bahwa itu sunnah dan ada perintah dalam hal ini, lantas mengapa kita tidak tunaikan saja perintah Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam yang ada?”[8]
Inilah penjelasan dalam masalah menyemir rambut. Hal ini berlaku pula bagi yang tidak memiliki uban lantas ingin menyemirnya dengan warna hitam, sama saja tetap terlarang karena hadits yang membicarakan ini berlaku umum. Wallahu a’lam.
Jadi problema memang di sebagian salon atau tempat cukur rambut, di mana mereka melayani pelanggan yang ingin menyemir ubannya dengan warna hitam. Ini tentu saja masalah dan upahnya pun dari suatu usaha yang haram. Dalam hadits disebutkan,
وإن الله إذا حرم شيئا حرم ثمنه
Jika Allah mengharamkan sesuatu, Allah pun mengharamkan upahnya.[9] Berarti upah yang diperoleh dari menyemir uban dengan warna hitam adalah upah yang haram. So, ini berarti memakan harta orang dengan cara yang batil.
Demikian ulasan singkat kami dalam hal ini. Kami harapkan pembaca bisa membaca ulasan kami lainnya tentang mencabut uban dan menyemir uban di sini:
  1. Mencabut uban
  2. Menyembir rambut
Moga bermanfaat. Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmus sholihaat.

Riyadh-KSA, 10th Rabi’uts Tsani 1432 H (15/03/2011)


[1] Beliau adalah salah satu pengajar di Fakultas Ushulud-din Jami’ah Al Imam Muhammad bin Su’ud Al Islamiyah di Riyadh. Namun saat ini beliau berpindah mengajar di Jami’ah Malik Su’ud (King Saud University) di kota yang sama.
[2] HR. Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman. Syaikh Al Albani dalam Al Jami’ Ash Shogir mengatakan bahwa hadits ini hasan
[3] HR. Ibnu Hibban dalam Shahihnya. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan
[4] HR. Abu Daud dan An Nasa’i. Syaikh Al Albani dalam Al Jami’ Ash Shagir mengatakan bahwa hadits ini shahih
[5] Muttafaqun ‘alaihi, HR. Bukhari dan Muslim
[6] HR. Muslim
[7] HR. Abu Daud, Tirmidzi, Ibnu Majah, dan An Nasa’i. Syaikh Al Albani dalam As Silsilah Ash Shahihah mengatakan bahwa hadits ini shahih
[8] Diterjemahkan dari website pribadi Syaikh ‘Abdul Karim Khudair di link: http://www.khudheir.com/text/4304
[9] HR. Ibnu Hibban no. 4938. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih.

BAGAIMANA ISLAM MENYIKAPI MUSIBAH

Al Quraanul Karim telah menyebutkan beberapa sebab terjadinya musibah, dan juga Allah Subhaana wa Ta`aala menyebutkan bagaimana menghilangkan musibah tersebut dari hambanya. Diantaranya firman Allah Jalla wa `Alaa:
ذَلِكَ بِأَنّ اللّهَ لَمْ يَكُ مُغَيّراً نّعْمَةً أَنْعَمَهَا عَلَىَ قَوْمٍ حَتّىَ يُغَيّرُواْ مَا بِأَنْفُسِهِمْ
Artinya: “Yang demikian (siksaan) itu adalah karena sesungguhnya Allah sekali kali tidak akan merubah sesuatu ni`mat yang telah dianugerahkanNya kepada suatu kaum, hingga kaum itu merubah apa yang ada pada diri mereka sendiri.” Al Anfaal: (53)

Berkata al Imam as Sa’diy dalam menafsirkan ayat ini sebagai berikut: ذَلِكَ (yang demikian itu adalah) `adzab yang Allah Tabaaraka wa Ta`aala timpakan kepada ummat yang mendustakan para Rasul `Alaihimus Sholaatu was Salaam. Kemudian Allah hilangkan segala bentuk ni`mat dan kesenangan pada mereka disebabkan dosa-dosa mereka, dan dikarenakan perubahan perubahan yang mereka lakukan atas diri diri mereka sendiri, (sebab Allah tidak akan pernah merobah ni`mat yang telah dianugrahkan kepada suatu kaum), berupa keni`matan Din (Agama) dan dunia. Bahkan Allah Jalla wa `Alaa mengabadikannya serta menambahkan nikmat tersebut bagi mereka jikalau mereka mau bersyukur kepadaNya, sebagaimana Allah Subhaana wa Ta`aala berkata:
وإذ تأذن ربكم لئن شكرتم لأزيدنكم ولئن كفرتم إن عذابي لشديد
Artinya: Dan ingatlah juga, takkala Rabbmu memaklumkan: “Sesungguhnya jika kalian bersyukur , pasti Saya akan menambah ni`mat kepada kalian, dan jika kalian mengingkari ni`matKu, maka sesungguhnya `adzabKu sangatlah pedih.” Ibrahim : (7).

Al Imam `Abdurrahmaan as Sa`diy berkata: “Allah Ta`aala berkata pada mereka- memotivasi mereka untuk mensyukuri ni`mat ni`matNya-: (Dan ingatlah takkala Rabbmu mema`lumkan), maksudnya : beritahukanlah dan janjikanlah, (Sesungguhnya jika kalian bersyukur, pasti Saya akan menambahkan kepada kalian), bentuk ni`mat ni`matKu, (dan jika kalian mengingkari ni`matKu, maka sesungguhnya `adzabku sangatlah pedih), diantaranya, akan dihilangkan atau dicabut dari mereka ni`mat tersebut, yang telah dianugrahkanNya atas mereka. Yang dimaksud dengan bersyukur ialah pengakuan hati dengan ni`mat Allah tersebut, lalu memuji muji Allah `Azza wa Jalla, kemudian membelanjakannya pada jalan jalan yang diredhoi Allah Ta`aala. Sedangkan kufur ni`mat sebaliknya. (1)
حتى يغيروا ما بأنفسهم
(Hingga kaum itu merobah apa yang ada pada diri mereka sendiri), bentuk perobahan itu ialah : dari keta`atan berubah kepada ma`siat, sehingga mereka mengukufuri atau mengingkari ni`mat Allah, mereka ganti hal tersebut dengan kekufuran, maka Allah membalikan mereka atas ni`mat itu, dan merobah ni`mat tersebut atas mereka, sebagaimana mereka telah merobah apa yang ada pada diri mereka sendiri.

Dan Allah memiliki hikmah dalam hal itu, ke`adilan dan kebajikan yang diberikanNya kepada hamba-hambaNya. Dimana Allah Ta`aala tidak menimpakan `adzab atas suatu kaum, melainkan disebabkan kezholiman mereka sendiri, sekira kira Allah menarik hati wali waliNya untuk kembali kepadaNya, dengan cara merasakan kepada hamba-hambaNya malapetaka, bencana ketika mereka menyelisihi perintahNya. (2) Dan juga Allah berfirman:
وَمَآ أَصَابَكُمْ مّن مّصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُواْ عَن كَثِير
Artinya: ”Dan apa saja musibah yang menimpa kalian maka adalah disebabkan oleh perbuatan tangan kalian sendiri, dan Allah mema`afkan sebagian besar (dari kesalahan kesalahanmu.” Asy Syuuraa: (30).

Berkata al Imam as Sa’diy Rahimahullahu Ta`aala dalam menafsirkan ayat ini:
“Allah mengkhabarkan bahwa tidaklah menimpa hamba hamba tersebut satu mushibah, pada badan-badan mereka, harta-harta dan anak-anak mereka serta pada apa saja yang mereka cintai, itu adalah merupakan kemulian atas mereka, kecuali disebabkan oleh apa-apa yang telah dihasilkan oleh tangan-tangan mereka dari bentuk kejelekan, dan Allah telah banyak mengampuni kesalahan. Sesungguhnya Allah Tabaaraka wa Ta`aala tidak berbuat dzholim terhadap hamba-hambaNya, akan tetapi merekalah yang telah berbuat dzholim atas diri mereka sendiri.” Sebagaimana Allah Jalla wa `Alaa berfirman:
وَلَوْ يُؤَاخِذُ اللّهُ النّاسَ بِمَا كَسَبُواْ مَا تَرَكَ عَلَىَ ظَهْرِهَا مِن دَآبّةٍ
Artinya: “Dan kalau sekiranya Allah menyiksa manusia disebabkan apa yang mereka usahakan, niscaya Dia tidak akan meninggalkan di atas permukaan bumi suatu makhluk yang melatapun.” Al Faathir: (45)

“Bukanlah kelalaian dari Allah Ta`aala meng-akhirkan siksaan, dan tidak pula karena lemah.” (3) Dan Allah `Azza wa Jalla berkata:
وَضَرَبَ اللّهُ مَثَلاً قَرْيَةً كَانَتْ آمِنَةً مّطْمَئِنّةً يَأْتِيهَا رِزْقُهَا رَغَداً مّن كُلّ مَكَانٍ فَكَفَرَتْ بِأَنْعُمِ اللّهِ فَأَذَاقَهَا اللّهُ لِبَاسَ الْجُوعِ وَالْخَوْفِ بِمَا كَانُواْ يَصْنَعُونَ
Artinya: “Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tenteram, rezkinya datang kepadanya melimpah ruah dari segenap tempat, tetapi (penduduk)nya mengingkari ni`mat ni`mat Allah; karena itu Allah merasakan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang selalu mereka perbuat.” Al-Nahl: (112)

Berkata al Imam as Sa’diy Rahimahullahu ketika menafsirkan ayat ini:
Negeri ini adalah Makkah yang mulia, dulunya aman, tentram dan tidak ada seorangpun yang bangkit amarahnya didalam negeri Makkah tersebut. Orang-orang jahiliyah yang awampun menghormati Makkah. Sampai-sampai jika salah seorang dari mereka mendapatkan pembunuh bapaknya dan saudaranya, tidak akan bangkit kemarahannya bersamaan kuatnya egoisme pada mereka dan rasa cinta kesukuan `Arab (suku-isme). Itu merupakan hasil yang diperoleh dari negeri tersebut dalam bentuk keamanan yang sempurna, tidak akan terdapat pada negeri negeri lainnya, dalam bentuk rezqi yang amat luas. Padahal negeri Makkah tidak ada pertanian dan tidak pula pohon-pohonan akan tetapi Allah Jalla wa `Alaa mudahkan bagi negeri Makkah rezqi yang datang dari segala penjuru dunia.

Kemudian datanglah Rasulullahi Shollallahu `alaihi wa Sallam dari kalangan mereka sendiri, yang mereka sangat mengenal keamanahan dan kejujurannya, dia menyeru/mengajak mereka kepada perkara-perkara yang paling sempurna, serta mencegah mereka dari segala perkara yang jelek, akan tetapi mereka mendustakannya, dan mengingkari ni`mat-ni`mat Allah atas mereka, lalu Allah Subhaana wa Ta`aala rasakan atas mereka kebalikan apa-apa yang mereka ada padanya. Allah Ta`aala memakaikan pakaian lapar pada mereka, yang ia merupakan lawan dari rasa senang (kesenangan), rasa takut merupakan lawan dari rasa aman (keamanan), dan keseluruhan demikian disebabkan oleh perbuatan mereka sendiri dan kekufuran mereka, dan tidak bersyukurnya mereka atas ni`mat Allah Tabaaraka wa Ta`aala.
وما ظلمهم الله ولكن كانوا أنفسهم يظلمون
Artinya: “Tidaklah Allah menzholimi mereka akan tetapi mereka sendirilah yang berbuat zholim atas diri mereka.” Ali `Imraan (117). (4)

Berkata al Imam al Baghawiy ketika menafsirkan ayat ini : “(Tidaklah Allah menzholimi mereka)”, dengan demikian, “(akan tetapi mereka sendirilah yang berbuat zholim atas diri mereka)”, disebabkan karena kekufuran dan ma`shiyat. (5) Dan juga Allah berfirman disurat yang lain:
Artinya: “Telah tampak kerusakan di daratan dan di lautan disebabkan karena perbuatan tangan-tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali kepada jalan yang benar.” Ar Ruum : (41).

As Syaikh `Abdurrahmaan as Sa`diy berkata dalam menafsirkan ayat ini, “Maksudnya: Telah jelas kerusakan di daratan dan di lautan, artinya : rusaknya kehidupan mereka dan kurangnya, dan diliputi oleh musibah-musibah. Pada diri mereka dalam bentuk penyakit serta penyakit menular, dan selainnya. Kesemua itu disebabkan oleh perbuatan tangan-tangan mereka, dalam bentuk perbuatan-perbuatan yang rusak dan merusak, pada dasarnya. Ini disebutkan:
ليذيقهم بعض الذي عملوا
“supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka”, maksudnya: agar mereka mengetahui bahwa akan dibalas atas perbuatan-perbuatan mereka, maka disegerakan atas mereka balasan itu sebagai contoh, dari bentuk balasan perbuatan mereka di dunia.
لعلهم يرجعون
“semoga mereka kembali kepada jalan yang benar.” Maksudnya; dari perbuatan-perbuatan mereka, telah menghasilkan dari bentuk kerusakan apa-apa yang telah dihasilkan oleh perbuatan itu. Supaya baik dan tenang keadaan mereka. Maha Suci Dzat yang sangat Penyayang dengan cobaanNya, yang Maha Pemberi keutamaan pada musibah-musibahNya, kalau tidak demikian, kalau seandainya Allah Subhaana wa Ta`aala menimpakan musibah atas mereka, dikarenakan apa-apa yang telah mereka lakukan, sudah tentu Allah `Azza wa Jalla tidak akan menyisakan seekor hewanpun di permukaan bumi ini.” (6)

Ayat ayat yang mulia ini memberi pengertian kepada kita bahwa Allah adalah Maha `Adil dan Maha Bijaksana. Ia tidak akan menurunkan bala dan bencana atas suatu kaum kecuali karena perbuatan ma`shiat, dosa serta pelanggaran mereka terhadap perintah-perintah Allah, lebih-lebih karena jauhnya mereka dari Tauhid serta tersebar luasnya berbagai perbuatan syirik di banyak negara-negara Islam. Hal inilah yang menyebabkan timbulnya banyak fitnah, cobaan, ujian dan berbagai musibah yang diturunkan Allah Tabaaraka wa Ta`aala atas mereka. Kesemua itu tidak akan hilang kecuali mereka kembali mentauhidkan Allah Jalla wa `Alaa-dengan ber`ibadat kepadaNya saja serta meninggalkan seluruh bentuk kesyirikan, bid`ah, khurafat-khurafat dan tahayul serta ma`shiat-ma`shiat. Dan juga menegakkan syari`at-syari`atNYA baik terhadap pribadi maupun masyarakat.

Al Quran juga menjelaskan keadaan orang-orang musyrik yang berdo’a kepada Allah dengan meng EsakanNya sa`at mereka ditimpa musibah dan kesempitan. Namun ketika Allah Jalla dzikruHu menyelamatkan mereka dari musibah dan kesempitan tersebut, mereka kembali lagi kepada perbuatan-perbuatan syirik mereka, dan berdo`a kepada selain Allah Tabaaraka wa Ta`aala diwaktu senang dan lapang. Sedangkan diwaktu sempit mereka betul-betul meng-ikhlashkan seluruh bentuk per`ibadatan mereka kepada Allah `Azza wa Jalla. Allah Tabaaraka wa Ta`aala berfirman:
فَإِذَا رَكِبُواْ فِي الْفُلْكِ دَعَوُاْ اللّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدّينَ فَلَمّا نَجّاهُمْ إِلَى الْبَرّ إِذَا هُمْ يُشْرِكُون)). العنكبوت
Artinya: “Maka apabila mereka naik kapal mereka mendo`a kepada Allah dengan memurnikan keta`atan kepadaNya; maka tatkkala Allah menyelamatkan mereka sampai ke daratan, tiba-tiba mereka (kembali) mempersekutukan Allah.” Al ’Ankabut : (65).

Berkata as Syaikh `Abdurrahmaan as Sa`diy rahimahullahu Ta`aala ketika menafsirkan ayat ini: “Kemudian melazimkan Allah Ta`aala, terhadap orang-orang musyrik keikhlashan mereka kepada Allah, dalam situasi sangat terdesak, takkala mereka menaiki kapal di lautan, gelombangnya mulai saling berbenturan sama lain, timbul rasa takut mereka untuk binasa, maka ketika itulah mereka meninggalkan seluruh sekutu-sekutu mereka, lantas mereka mengikhlashkan do`a semata-mata hanya kepada Allah saja tidak ada sekutu baginya. Seketika hilang rasa kesusahan, dan selamat orang-orang yang mengikhlashkan do`a bagiNya kedaratan, lalu mereka kembali melakukan kesyirikan dengan meng`ibadati yang sama sekali tidak menyelamatkan mereka dari kesusahan, dan tidak sanggup menghilangkan dari mereka kesempitan.

Kenapa mereka tidak meng-ikhlashkan do`a kepada Allah Tabaaraka wa Ta`aala dalam keadaan senang dan susah, lapang dan sempit, supaya mereka betul menjadi orang mu`minin sebenarnya, yang akan berhak mendapatkan balasanNya, Allah akan menjauhkan dari mereka `adzabNya. Akan tetapi kesyirikan yang mereka lakukan setelah ni`mat Kami atas mereka, dalam bentuk keselamatan dari lautan, akibatnya, kufur dengan apa yang telah Kami berikan pada mereka, ditukar keni`matan dengan kejelekan, supaya sempurna kesenangan-kesenangan yang mereka ni`mati di dunia, sebagaimana bersenang-senangnya binatang ternak, tidak ada bagi mereka kepentingan kecuali hanya untuk perut dan kemaluan mereka.” (7)

Kebanyakan dari ummat Islam pada hari ini, manakala ditimpa musibah, mereka memohon pertolongan kepada selain Allah Subhaana wa Ta`aala, mereka menyeru ya Rasulallahi!, ya as Syaikh Jailani!, ya as Syaikh Rifaa`iiy!, ya as Syaikh Marghaniy!, ya as Syaikh Badawiy!, ya as Syaikh `Arob!…” dan sebagainya. Mereka menyekutukan Allah Tabaaraka wa Ta`aala diwaktu sempit dan lapang, sangat berbeda sekali dengan ummat jahiliyah di zaman Nabi Shollallahu `alaihi wa Sallam, dimana mereka melakukan kesyirikan kepada Allah `Azza wa Jalla diwaktu lapang saja; sedangkan diwaktu sempit dan terjepit mereka betul-betul meng-ikhlashkan per`ibadatan mereka kepadaNya saja, sebagaimana yang kita saksikan pada ayat yang di atas (al `Ankabuut 65). Mereka menyelisihi perkataan Rabb mereka dan perkataan Rasul mereka Shollallahu `alaihi wa Sallam!

Sesungguhnya kaum muslimiin para shohabat ketika diserang balik oleh kaum musyrikin diperang Uhud adalah disebabkan oleh sebahagian para pemanah yang tidak menta`ati perintah pemimpin mereka;- Rasulullahi Shollallahu `alaihi wa Sallam, mereka heran atas kekalahan yang mereka derita, maka dengan tegas Allah Jalla wa `Alaa menjawab rasa ta`ajjub mereka tersebut:
قُلْ هُوَ مِنْ عِندِ أَنْفُسِكُم)). آل عمران (165).ْ قلتم أنى هذا
Artinya : “Kalian berkata : dari mana datangnya kekalahan ini?” Katakanlah, itu dari (kesalahan)diri kalian sendiri”. ( Ali’Imran : (165).

As Syaikh `Abdurrahmaan as Sa`diy berkata dalam menafsirkan ayat ini : “Maksudnya; dari mana menimpa kami apa-apa yang telah menimpa dan dikalahkannya kami ini?”,
قل هو من عند أنفسكم
“Katakanlah : itu dari (kesalahan diri kalian sendiri.” Ketika kalian berselisih, dan melakukan ma`shiat dengan menyelisihi perintah Nabi kalian Shollallahu `alaihi wa Sallam, setelah diperlihatkan kepada kalian apa-apa yang kalian cintai, maka kembalikanlah celaan itu atas diri-diri kalian, dan hati-hatilah dari sebab-sebab yang merusak.” (8)

Dan demikian juga dipeperangan Hunein ketika berkata sebahagian kaum muslimiin: “Sekali-kali kita tidak akan dikalahkan oleh jumlah yang sedikit.” Maka terjadilah serangan kuat dari musuh, Allah Tabaaraka wa Ta`aala juga mencela mereka atas perbuatan tersebut dengan perkataanNya :
يوم حنين إذ أعجبتكم كثرتكم فلم تغن عنكم شيئا
Artinya : “Dan ingatlah peperangan Hunein, yaitu diwaktu kalian menjadi congkak karena banyaknya jumlah kalian, maka jumlah yang banyak itu tidak akan memberikan manfa`at kepada kalian sedikitpun.” At Taubah : (25).

As Syaikh `Abdurrahmaan as Sa`diy berkata : “Maksudnya; tidak akan memberi manfa`at kepada kalian sedikitpun atau banyak.” (9)

`Umar bin al Khatthaab radhiallahu `anhu pernah menulis kepada pimpinan perang Sa`ad bin Abi Waqqash di al `Iraaq : “Janganlah kalian mengatakan sesungguhnya musuh kita lebih jelek dari kita maka sekali-kali tidak akan berkuasa atas kita, kadang-kadang bisa jadi dikuasakan atas satu qaum seseorang yang lebih jelek dari mereka, sebagaimana dikuasakan atas bani Israaiil kuffarul majuusi takkala mereka telah melakukan ma`aashiy (ma`shiat-ma`shiat), mintalah pertolongan kepada Allah atas diri-diri kalian, sebagaimana kalian minta pertolongan kepadaNya dari musuh kalian.”

Abul Mundzir-Dzul Akmal as Salafiy, Rajab 1428H
Sumber bacaan kitab : “Minhaajul Firqatun Naajiyah,” oleh as Syaikh Muhammad bin Jamiil Zainu.

Footnote:
(1-9) “Taisiirul Kariimir Rahmaan fi Tafsiiri Kalaamil Mannaan,” oleh as Syaikh `Abdurrahmaan as Sa`diy.
(5) “Tafsiirul Baghawiy (Ma`aalimut Tanziil)”, oleh al Imam Muhyis Sunnah Abu Muhammad al Husein bin Mas`uud al Baghawiy, 516H, (1/408).
Dikutip dari http://www.thullabul-ilmiy.or.id/blog/?p=121, Penulis: Al Ustadz Abul Mundzir Dzul Akmal as Salafiy Lc, Judul: Sebab-Sebab Terjadinya Musibah Dan Cara Mengatasinya.

Batasan Kufu dalam Pernikahan


Penulis: Pengasuh Rubrik Muslimah Bertanya
Apakah batasan kufu dalam pernikahan? Apakah adanya kecocokan hati, perasaan, cara berpikir, cara pandang dan kefaqihan dalam agama termasuk dalam kekufuan?
Dianwati
ummuyusuf@myquran.com
Jawab:
Para ahli fiqih (fuqaha) berbeda pendapat tentang kafa’ah (kufu) dalam pernikahan, namun yang benar sebagaimana dijelaskan Ibnul Qayyim dalam Zaadul Ma‘ad (4/22), yang teranggap dalam kafa’ah adalah perkara dien (agama). Beliau rahimahullah berkata tentang permasalahan ini diawali dengan menyebutkan beberapa ayat Al Qur’an, di antaranya:
“Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari laki-laki dan perempuan dan Kami jadikan kalian bersuku-suku dan berkabilah-kabilah agar kalian saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah yang paling bertakwa.” (Al Hujurat: 13)
“Orang-orang beriman itu adalah bersaudara.” (Al Hujurat: 10)
“Kaum mukminin dan kaum mukminat sebagian mereka adalah wali bagi sebagian yang lain.” (At Taubah: 71)
“Wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik…” (An Nur: 26)
Kemudian beliau lanjutkan dengan beberapa hadits, di antaranya sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Tidak ada keutamaan orang Arab dibanding orang ajam (non Arab) dan tidak ada keutamaan orang ajam dibanding orang Arab. Tidak pula orang berkulit putih dibanding orang yang berkulit hitam dan sebaliknya orang kulit hitam dibanding orang kulit putih, kecuali dengan takwa. Manusia itu dari turunan Adam dan Adam itu diciptakan dari tanah.”
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Bani Bayadlah: “Nikahkanlah wanita kalian dengan Abu Hindun.”
Maka merekapun menikahkannya sementara Abu Hindun ini profesinya sebagai tukang bekam.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri pernah menikahkan Zainab bintu Jahsyin Al Qurasyiyyah, seorang wanita bangsawan, dengan Zaid bin Haritsah bekas budak beliau. Dan menikahkan Fathimah bintu Qais Al Fihriyyah dengan Usamah bin Zaid, juga menikahkan Bilal bin Rabah dengan saudara perempuan Abdurrahman bin `Auf.
Dari dalil yang ada dipahami bahwasanya penetapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam masalah kufu adalah dilihat dari sisi agama. Sebagaimana tidak boleh menikahkan wanita muslimah dengan laki-laki kafir, tidak boleh pula menikahkan wanita yang menjaga kehormatan dirinya dengan laki-laki yang fajir (jahat/jelek).
Al Qur’an dan As Sunnah tidak menganggap dalam kafa’ah kecuali perkara agama, adapun perkara nasab (keturunan), profesi dan kekayaan tidaklah teranggap. Karena itu boleh seorang budak menikahi wanita merdeka dari turunan bangsawan yang kaya raya apabila memang budak itu seorang yang ‘afif (menjaga kehormatan dirinya) dan muslim. Dan boleh pula wanita Quraisy menikah dengan laki-laki selain suku Quraisy, wanita dari Bani Hasyim boleh menikah dengan laki-laki selain dari Bani Hasyim. (Zaadul Ma‘ad, 4/22) .

Jumat, 18 Maret 2011

Tips Memuji dan Dipuji dalam Islam

Di antara fenomena umum yang kita temui dalam kehidupan sehari-hari, adalah fenomena pujian.

Secara garis besar, pujian bisa diklasifikasikan dalam 3 bentuk :
1.Pujian yang diucapkan untuk menjilat,
2.Pujian yang sifatnya hanya basa-basi belaka,
3.Pjian yang diucapkan sebagai ekspresi kekaguman.

Bila disikapi secara sehat dan proporsional, pujian bisa menjadi modal positif yang dapat memotivasi kita agar terus meningkatkan diri. Namun, kenyataannya, pujian justru lebih sering membuat kita lupa daratan, lepas kontrol, dan seterusnya. Semakin sering orang lain memuji kita, maka semakin besar potensi kita untuk terlena, besar kepala, serta hilang kendali diri. Padahal Allah Swt. mengingatkan dalam firmanNya: "Maka janganlah kamu menganggap dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui siapa orang yang bertakwa.” (Qs. Al-Najm; 32)
Agar dapat menyikapi pujian secara sehat, Nabi Saw. memberikan 3 kiat yang sangat menarik untuk diteladani.
Pertama, selalu mawas diri supaya tidak sampai terbuai oleh pujian yang dikatakan orang. Oleh karena itu, setiap kali ada yang memuji beliau, Nabi Saw. menanggapinya dengan doa: “Ya Allah, janganlah Engkau hukum aku karena apa yang dikatakan oleh orang-orang itu.” (HR. Al-Bukhari)
Lewat doa ini, Nabi Saw. mengajarkan bahwa pujian adalah perkataan orang lain yang potensial menjerumuskan kita. Ibaratnya, orang lain yang mengupas nangka, tapi kita yang kena getahnya. Orang lain yang melontarkan ucapan, tapi malah kita yang terjerumus menjadi besar kepala dan lepas kontrol.
Kedua, menyadari hakikat pujian sebagai topeng dari sisi gelap kita yang tidak diketahui orang lain. Karena, sebenarnya, setiap manusia pasti memiliki sisi gelap. Dan ketika ada seseorang yang memuji kita, maka itu lebih karena faktor ketidaktahuan dia akan belang serta sisi gelap kita. Oleh sebab itu, kiat Nabi Saw. dalam menanggapi pujian adalah dengan berdoa: “Dan ampunilah aku dari apa yang tidak mereka ketahui (dari diriku)”. (HR. Al-Bukhari)
Ketiga, kalaupun sisi baik yang dikatakan orang lain tentang kita adalah benar adanya, Nabi Saw. mengajarkan kita agar memohon kepada Allah Swt. untuk dijadikan lebih baik dari apa yang tampak di mata orang lain. Maka kalau mendengar pujian seperti ini, Nabi Saw. kemudian berdoa: “Dan jadikanlah aku lebih baik dari apa yang mereka kira”. (HR. Al-Bukhari)

Selain memberikan teladan kiat menyikapi pujian, Nabi Saw. Dalam keseharian beliau juga memberikan contoh bagaimana mengemas pujian yang baik. Intinya, jangan sampai pujian yang terkadang secara spontan keluar dari bibir kita, malah menjerumuskan dan merusak kepribadian sahabat yang kita puji.

Ada beberapa teladan yang dapat disarikan dari kehidupan Nabi Saw., yaitu di antaranya :

Pertama
, Nabi Saw. tidak memuji di hadapan orang yang bersangkutan secara langsung, tapi di depan orang-orang lain dengan tujuan memotivasi mereka. Suatu hari, seorang Badui yang baru masuk Islam bertanya tentang Islam. Nabi menjawab bahwa Islam adalah shalat lima waktu, puasa, dan zakat. Maka Orang Badui itupun berjanji untuk menjalankan ketiganya dengan konsisten, tanpa menambahi atau menguranginya. Setelah Si Badui pergi, Nabi Saw. memujinya di hadapan para Sahabat, “Sungguh beruntung kalau ia benar-benar melakukan janjinya tadi.” Setelah itu beliau menambahi, “Barangsiapa yang ingin melihat penghuni surga, maka lihatlah Orang (Badui) tadi.” (HR.Al-Bukhari dan Muslim, dari Thalhah ra.)
Kedua, Nabi Saw. lebih sering melontarkan pujian dalan bentuk doa. Ketika melihat minat dan ketekunan Ibn Abbas ra. dalam mendalami tafsir Al-Qur’an, Nabi Saw. tidak serta merta memujinya. Beliau lebih memilih untuk mendoakan Ibn Abbas ra.: “Ya Allah, jadikanlah dia ahli dalam ilmu agama dan ajarilah dia ilmu tafsir (Al-Qur’an).” (HR. Al-Hakim, dari Sa’id bin Jubair) Begitu pula, di saat Nabi Saw. melihat ketekunan Abu Hurairah ra. Dalam mengumpulkan hadits dan menghafalnya, beliau lantas berdoa agar Abu Hurairah ra. dikaruniai kemampuan untuk tidak lupa apa yang pernah dihapalnya. Doa inilah yang kemudian dikabulkan oleh Allah Swt. Dan menjadikan Abu Hurairah ra. sebagai Sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadits. Pujian yang dilontarkan orang lain terhadap diri kita, merupakan salah satu tantangan berat yang dapat merusak kepribadian kita. Pujian dapat membunuh karakter seseorang, tanpa ia sadari. Oleh karena itu, ketika seorang Sahabat memuji Sahabat yang lain secara langsung, Nabi Saw. menegurnya: “Kamu telah memenggal leher temanmu.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim, dari Abu Bakar ra.) Senada dengan hadits tersebut, Ali ra. berkata dalam ungkapan hikmahnya yang sangat populer, “Kalau ada yang memuji kamu di hadapanmu, akan lebih baik bila kamu melumuri mulutnya dengan debu, daripada kamu terbuai oleh pujiannya.” Namun ketika pujian sudah menjadi fenomena umum ditengah-tengah masyarakat kita, maka yang paling penting adalah bagaimana menyikapi setiap pujian secara sehat agar tidak sampai lupa daratan dan lepas kontrol; mengapresiasi setiap pujian hanya sebagai topeng dari sisi gelap kita yang tidak diketahui orang lain; serta terus berdoa kepada Allah Swt. agar dijadikan lebih baik dari apa yang tampak di mata orang. Selain itu, yang tidak kalah pentingnya, kalaupun perlu memuji seseorang adalah bagaimana bisa mengemas pujian secara sehat.. Toh memuji tidak mesti dengan kata-kata, tapi akan lebih berarti bila diekspresikan lewat dukungan dan doa. Sehingga dengan demikian, kita tidak sampai menjerumuskan orang yang kita puji.

(Ustadz Abdullah Hakam Syah, Lc Website: http://www.pesantrenvirtual.com)

Putri Rasulullah Shalallahu’alaihi wa sallam, Fatimah

Pemimpin wanita pada masanya ini adalah putri ke-4 dari anak-anak Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam, dan ibunya adalah Ummul Mukminin Khadijah binti Khuwalid. Sesungguhnya Allah Subhanahu wa ta’ala menghendaki kelahiran Fathimah yang mendekati tahun ke-5 sebelum Muhammad diangkat menjadi Rasul, bertepatan dengan peristiwa besar yaitu ditunjuknya Rasulullah sebagai menengah ketika terjadi perselisiha antara suku Quraisy tentang siapa yang berhak meletakan kembali Hajar Aswad setelah Ka’abah diperbaharui. Dengan kecerdasan akalnya beliau mampu memecahkan persoalan yang hampir menjadikan peperangan diantara kabilah-kabilah yang ada di Makkah.
Kelahiran Fahimah disambut gembira oleh Rasulullahu ‘alaihi wassalam dengan memberikan nama Fathimah dan julukannya Az-Zahra, sedangkan kunyahnya adalah Ummu Abiha (Ibu dari bapaknya).
Ia putri yang mirip dengan ayahnya, Ia tumbuh dewasa dan ketika menginjak usia 5 tahun terjadi peristiwa besar terhadap ayahnya yaitu turunnya wahyu dan tugas berat yang diemban oleh ayahnya. Dan ia juga menyaksikan kaum kafir melancarkan gangguan kepada ayahnya sampai cobaan yang berat dengan meninggal ibunya Khadijah. Ia sangat pun sedih dengan kematian ibunya.
Pada saat kaum muslimin hijrah ke madinah, Fathima dan kakaknya, Ummu Kulsum, tetap tinggal di Makkah sampai Nabi mengutus orang untuk menjemputnya. Setelah Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam menikah dengan Aisyah binti Abu Bakar, para sahabat berusaha meminang Fathimah. Abu Bakar dan Umar maju lebih dahulu untuk meminang tapi nabi menolak dengan lemah lembut. Lalu Ali bin Abi Thalib datang kepada Rasulullah untuk melamar, lalu ketika nabi bertanya, “Apakah engkau mempunyai sesuatu ?”, “Tidak ada ya Rasulullah,” jawabku. “Dimana pakaian perangmu yang hitam, yang saya berikan kepadamu,” tanya beliau. “Masih ada padaku wahai Rasulullah,” jawabku. “Berikan itu kepadanya (Fatihmah) sebagai mahar,” kata beliau.
Lalu Ali bergegas pulang dan membawa baju besinya, lalu Nabi menyuruh menjualnya dan baju besi itu dijual kepada Utsman bin Affat seharga 470 dirham, kemudian diberikan kepada Rasulullah dan diserahkan kepada Bilal untuk membeli perlengkapan pengantin.
Kaum muslim merasa gembira atas perkawinan Fathimah dan Ali bin Abi Thalib, setelah setahun menikah lalu dikaruniai anak bernama Al- Hasan dan saat Hasan genap berusia 1 tahun lahirlah Husein pada bulan Sya’ban tahun ke 4 H. Pada tahun kelima H, ia melahirkan anak perempuan bernama Zainab dan yang terakhir benama Ummu Kultsum.
Rasullah sangat menyayangi Fathimah, setelah Rasulullah bepergian ia lebih dulu menemui Fathimah sebelum menemui istri-istrinya. Aisyah berkata , ”aku tidak melihat seseorang yang perkataannya dan pembicaraannya yang menyerupai Rasulullah selain Fathimah, jika ia datang mengunjungi Rasulullah, Rasulullah berdiri lalu menciumnya dan menyambut dengan hangat, begitu juga sebaliknya yang diperbuat Fathimah bila Rasulullah dating mengunjunginya.”.
Rasulullah mengungkapkan rasa cintanya kepada putrinya takala di atas mimbar: ”Sungguh Fathima bagian dariku. Siapa yang membuatnya marah berarti membuat aku marah”. Dan dalam riwayat lain disebutkan, ”Fathimah bagian dariku, aku merasa terganggu bila ia diganggu dan aku merasa sakit jika ia disakiti.”
Setelah Rasulullah Shallallahu alaihi wasalam menjalankan haji wada’ dan ketika ia melihat Fathima, beliau menemuinya dengan ramah sambil berkata, ”selamat dating wahai putriku”. Lalu Beliau menyuruh duduk disamping kanannya dan membisikan sesuatu, sehingga Fathimah menangis dengan tangisan yang keras, tak kala Fathimah sedih lalu Beliau membisikan sesuatu kepadanya yang menyebabkan Fathimah tersenyum.
Takala Aisyah bertanya tentang apa yang dibisikan, lalu Fathimah menjawab, ”saya tak ingin membuka rahasia”. Setelah Rasulullah wafat, Aisyah bertanya lagi kepada Fathimah tentang apa yang dibisikan Rasulullah kepadanya sehingga membuat Fathimah menangis dan tersenyum. Lalu Fathimah menjawab, ”adapun yang Beliau kepada saya pertama kali adalah beliau memberitahu bahwa sesungguhnya Jibril telah membacakan al-Qur’an dengan hapalan kepada beliau setiap tahun sekali, sekarang dia membacakannya setahun 2 kali, lalu Beliau berkata, “Sungguh saya melihat ajalku telah dekat, maka bertakwalah dan bersabarlah, sebaik baiknya Salaf (pendahulu) untukmu adalah aku.” Maka akupun menangis yang engkau lihat saat kesedihanku. Dan saat Beliau membisikan yang kedua kali, Beliau berkata, ”wahai Fathimah, apakah engkau tidak suka menjadi penghulu wanita-wanita penghuni surga dan engkau adalah orang pertama dari keluargaku yang akan menyusulku”. Kemudian saya tertawa.
Takala 6 bulan sejak wafatnya Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam, Fathimah jatuh sakit, namun ia merasa gembira karena kabar gembira yang diterima dari ayahnya. Tak lama kemudian iapun beralih ke sisi Tuhannya pada malam selasa tanggal 13 Ramadhan tahun 11 H dalam usia 27 tahun.

Sumber : Sirah Shahabiyah karya Mahmud mahdi al Istambuli & Musthafa Abu an Nashr asy Syalabi, Penerbit Maktabah Salafy Press, Tahum 2006

DUNIA ADALAH KESENANGAN YANG MENIPU

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berpesan kepada Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma, sambil memegang pundak iparnya ini:

كُنْ فِي الدُّنْيَا كَأَنَّكَ غَرِيْبٌ أَوْ عَابِرُ سَبِيْلٍ

“Jadilah engkau di dunia ini seperti orang asing atau bahkan seperti orang yang sekedar lewat (musafir).” (Hadits Riwayat Al-Bukhari no. 6416)

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

اعْلَمُوا أَنَّمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَزِينَةٌ وَتَفَاخُرٌ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرٌ فِي اْلأَمْوَالِ وَاْلأَوْلاَدِ كَمَثَلِ غَيْثٍ أَعْجَبَ الْكُفَّارَ نَبَاتُهُ ثُمَّ يَهِيْجُ فَتَرَاهُ مُصْفَرًّا ثُمَّ يَكُوْنُ حُطَامًا وَفِي اْلآخِرَةِ عَذَابٌ شَدِيْدٌ وَمَغْفِرَةٌ مِنَ اللهِ وَرِضْوَانٌ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلاَّ مَتَاعُ الْغُرُوْرِ

“Ketahuilah oleh kalian, sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan sesuatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megahan di antara kalian serta berbangga-banggaan dengan banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang karenanya tumbuh tanam-tanaman yang membuat kagum para petani, kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning lantas menjadi hancur. Dan di akhirat nanti ada adzab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” (Al- Hadid: 20)

Bacalah berulang kalam dari Rabb yang mulia di atas berikut maknanya. Setelah itu, apa yang kita pahami dari kehidupan dunia? Masihkah dunia membuai kita? Masihkah angan-angan kita melambung untuk meraih gemerlapnya? Masihkah kita tertipu dengan kesenangannya?

Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullahu dalam Tafsir-nya, “Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabarkan tentang hakikat dunia dan apa yang ada di atasnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala terangkan akhir kesudahannya dan kesudahan penduduknya. Dunia adalah permainan dan sesuatu yang melalaikan. Mempermainkan tubuh dan melalaikan hati. Bukti akan hal ini didapatkan dan terjadi pada anak-anak dunia [1]. Engkau dapati mereka menghabiskan waktu-waktu dalam umur mereka dengan sesuatu yang melalaikan hati dan melengahkan dari berdzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Adapun janji (pahala dan surga) dan ancaman (adzab dan neraka) yang ada di hadapan, engkau lihat mereka telah menjadikan agama mereka sebagai permainan dan gurauan belaka. Berbeda halnya dengan orang yang sadar dan orang-orang yang beramal untuk akhirat. Hati mereka penuh disemarakkan dengan dzikrullah, mengenali dan mencintai-Nya. Mereka sibukkan waktu-waktu mereka dengan melakukan amalan yang dapat mendekatkan diri mereka kepada Allah daripada membuangnya untuk sesuatu yang manfaatnya sedikit.”

Asy-Syaikh rahimahullahu melanjutkan, “Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan permisalan bagi dunia dengan hujan yang turun di atas bumi. Suburlah karenanya tumbuh-tumbuhan yang dimakan oleh manusia dan hewan. Hingga ketika bumi telah memakai perhiasan dan keindahannya, dan para penanamnya, yang cita- cita dan pandangan mereka hanya sebatas dunia, pun terkagum-kagum karenanya. Datanglah perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala yang akhirnya tanaman itu layu, menguning, kering dan hancur. Bumi kembali kepada keadaannya semula, seakan- akan belum pernah ada tetumbuhan yang hijau di atasnya. Demikianlah dunia. Tatkala pemiliknya bermegah-megahan dengannya, apa saja yang ia inginkan dari tuntutan dunia dapat ia peroleh. Apa saja perkara dunia yang ia tuju, ia dapatkan pintu-pintunya terbuka. Namun tiba-tiba ketetapan takdir menimpanya berupa hilangnya dunianya dari tangannya. Hilangnya kekuasaannya… Jadilah ia meninggalkan dunia dengan tangan kosong, tidak ada bekal yang dibawanya kecuali kain kafan.” (Taisir Al-Karimirir Rahman, hal. 841)

Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma berkisah, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melewati pasar sementara orang-orang ada di sekitar beliau. Beliau melintasi bangkai seekor anak kambing yang kecil dan terputus telinganya (cacat). Beliau memegang telinga bangkai tersebut seraya berkata:

أَتُحِبُّوْنَ أَنَّهُ لَكُمْ؟ قَالُوا: وَاللهِ، لَوْ كَانَ حَيًّا كَانَ عَيْبًا فِيْهِ لِأَنَّهُ أَسَكُّ فَكَيْفَ وَهُوَ مَيِّتٌ؟ فَقَالَ:
فَوَاللهِ لَلدُّنْيَا أَهْوَنُ عَلَى اللهِ مِنْ هَذَا عَلَيْكُمْ أَيُّكُمْ يُحِبُّ أَنَّ هَذَا لَهُ بِدِرْهَمٍ؟ فَقَالُوا:
مَا نُحِبُّ أَنَّهُ لَنَا بِشَيْءٍ وَمَا نَصْنَعُ بِهِ؟ قَالَ:

“Siapa di antara kalian yang suka memiliki anak kambing ini dengan membayar seharga satu dirham?” Mereka menjawab, “Kami tidak ingin memilikinya dengan harga semurah apapun. Apa yang dapat kami perbuat dengan bangkai ini?”

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian berkata, “Apakah kalian suka bangkai anak kambing ini menjadi milik kalian?” “Demi Allah, seandainya pun anak kambing ini masih hidup, tetaplah ada cacat, kecil/terputus telinganya. Apatah lagi ia telah menjadi seonggok bangkai,” jawab mereka.

Beliau pun bersabda setelahnya, “Demi Allah, sungguh dunia ini lebih rendah dan hina bagi Allah daripada hinanya bangkai ini bagi kalian.” (HR. Muslim no.7344)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun pernah bersabda:

لَوْ كَانَتِ الدُّنْيَا تَعْدِلُ عِنْدَ اللهِ جَنَاحَ بَعُوْضَةٍ مَا سَقَى كَافِرًا مِنْهَا شَرْبَةَ مَاءٍ

"Seandainya dunia punya nilai di sisi Allah walau hanya menyamai nilai sebelah sayap nyamuk, niscaya Allah tidak akan memberi minum kepada orang kafir seteguk airpun.” (HR. At-Tirmidzi no. 2320, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Ash-Shahihah no. 686)

Tatkala orang-orang yang utama, mulia lagi berakal mengetahui bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menghinakan dunia, mereka pun enggan untuk tenggelam dalam kesenangannya. Apatah lagi mereka mengetahui bahwa Nabi mereka Shallallahu ‘alaihi wa sallam hidup di dunia penuh kezuhudan dan memperingatkan para shahabatnya dari fitnah dunia. Mereka pun mengambil dunia sekedarnya dan mengeluarkannya di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala sebanyak- banyaknya. Mereka ambil sekedar yang mencukupi dan mereka tinggalkan yang melalaikan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berpesan kepada Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma, sambil memegang pundak iparnya ini:

كُنْ فِي الدُّنْيَا كَأَنَّكَ غَرِيْبٌ أَوْ عَابِرُ سَبِيْلٍ

“Jadilah engkau di dunia ini seperti orang asing atau bahkan seperti orang yang sekedar lewat (musafir).” (HR. Al-Bukhari no. 6416)

Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma pun memegang teguh wasiat Nabinya baik dalam ucapan maupun perbuatan. Dalam ucapannya beliau berkata setelah menyampaikan hadits Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas, “Bila engkau berada di sore hati maka janganlah engkau menanti datangnya pagi. Sebaliknya bila engkau berada di pagi hari, janganlah menanti sore. Gunakanlah waktu sehatmu (untuk beramal ketaatan) sebelum datang sakitmu. Dan gunakan hidupmu (untuk beramal shalih) sebelum kematian menjemputmu.” Adapun dalam perbuatan, beliau radhiyallahu ‘anhuma merupakan shahabat yang terkenal dengan kezuhudan dan sifat qana’ahnya (merasa cukup walau dengan yang sedikit) terhadap dunia. Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu pernah berkata, “Pemuda Quraisy yang paling dapat menahan dirinya dari dunia adalah Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma.” (Siyar A’lamin Nubala`, hal. 3/211)

Ibnu Baththal rahimahullahu menjelaskan berkenaan dengan hadits Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma di atas, “Dalam hadits ini terdapat isyarat untuk mengutamakan sifat zuhud dalam kehidupan dunia dan mengambil perbekalan secukupnya. Sebagaimana musafir tidak membutuhkan bekal lebih dari apa yang dapat mengantarkannya sampai ke tujuan, demikian pula seorang mukmin di dunia ini, ia tidak butuh lebih dari apa yang dapat menyampaikannya ke tempat akhirnya.” (Fathul Bari, 11/282)

Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu berkata memberikan penjelasan terhadap hadits ini, “Janganlah engkau condong kepada dunia. Jangan engkau jadikan dunia sebagai tanah air (tempat menetap), dan jangan pula pernah terbetik di jiwamu untuk hidup kekal di dalamnya. Jangan engkau terpaut kepada dunia kecuali sekadar terkaitnya seorang asing pada selain tanah airnya, di mana ia ingin segera meninggalkan negeri asing tersebut guna kembali kepada keluarganya.” (Syarhu Al-Arba’in An- Nawawiyyah fil Ahadits Ash-Shahihah An-Nabawiyyah, hal. 105)

Suatu ketika Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidur di atas selembar tikar. Ketika bangkit dari tidurnya tikar tersebut meninggalkan bekas pada tubuh beliau. Berkatalah para shahabat yang menyaksikan hal itu, “Wahai Rasulullah, seandainya boleh kami siapkan untukmu kasur yang empuk!” Beliau menjawab:

مَا لِي وَمَا لِلدُّنْيَا، مَا أَنَا فِي الدُّنْيَا إِلاَّ كَرَاكِبٍ اسْتَظَلَّ تَحْتَ شَجَرَةٍ ثُمَّ رَاحَ وَتَرَكَهَا

“Ada kecintaan apa aku dengan dunia? Aku di dunia ini tidak lain kecuali seperti seorang pengendara yang mencari teteduhan di bawah pohon, lalu beristirahat, kemudian meninggalkannya.” (HR. At-Tirmidzi no. 2377, dishahihkan Asy-Syaikh Al- Albani rahimahullahu dalam Shahih At-Tirmidzi)

Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu pernah menangis melihat kesahajaan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai beliau hanya tidur di atas selembar tikar tanpa dialasi apapun. Umar radhiyallahu ‘anhu berkata:

وَقَيْصَرَ فِيْمَا هُمَا فِيْهِ وَأَنْتَ رَسُوْلُ اللهِ. فَقَالَ: أَمَا تَرْضَى أَنْ تَكُوْنَ لَهُمُ الدُّنْيَا وَلَنَا اْلآخِرَةُ؟ فَرَأَيْتُ أَثَرَ الْحَصِيْرِ فِي جَنْبِهِ فَبَكَيْتُ. فَقَالَ: مَا يُبْكِيْكَ؟ فَقُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، إِنَّ كِسْرَى

"Aku melihat bekas tikar di lambung/rusuk beliau, maka aku pun menangis, hingga mengundang tanya beliau, “Apa yang membuatmu menangis?” Aku menjawab, “Wahai Rasulullah, sungguh Kisra (raja Persia, –pent.) dan Kaisar (raja Romawi –pent.) berada dalam kemegahannya, sementara engkau adalah utusan Allah [2].” Beliau menjawab, “Tidakkah engkau ridha mereka mendapatkan dunia sedangkan kita mendapatkan akhirat?” (HR. Al-Bukhari no. 4913 dan Muslim no. 3676)

Dalam kesempatan yang sama, Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu berkata kepada Nabinya:

وَكَانَ مُتَّكِئًا فَقَالَ: أَوَفِي شَكٍّ أَنْتَ يَا ابْنَ الْخَطَّابِ، أُولَئِكَ قَوْمٌ عُجِّلَتْ لَهُمْ طَيِّبَاتُهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا
ادْعُ اللهَ فَلْيُوَسِّعْ عَلَى أُمَّتِكَ فَإِنَّ فَارِسَ وَالرُّوْمَ وُسِّعَ عَلَيْهِمْ وَأُعْطُوا الدُّنْيَا وَهُمْ لاَ يَعْبُدُوْنَ اللهَ.

“Mohon engkau wahai Rasulullah berdoa kepada Allah agar Allah memberikan kelapangan hidup bagi umatmu. Sungguh Allah telah melapangkan (memberi kemegahan) kepada Persia dan Romawi, padahal mereka tidak beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.” Rasulullah meluruskan duduknya, kemudian berkata, “Apakah engkau dalam keraguan, wahai putra Al-Khaththab? Mereka itu adalah orang-orang yang disegerakan kesenangan (kenikmatan hidup/rezeki yang baik- baik) mereka di dalam kehidupan dunia [3]?” (HR. Al-Bukhari no. 5191 dan Muslim no. 3679)

Demikianlah nilai dunia, wahai saudariku. Dan tergambar bagimu bagaimana orang- orang yang bertakwa lagi cendikia itu mengarungi dunia mereka. Mereka enggan untuk tenggelam di dalamnya, karena dunia hanyalah tempat penyeberangan. Di ujung sana menanti negeri keabadian yang keutamaannya tiada terbandingi dengan dunia. Al-Mustaurid bin Syaddad radhiyallahu ‘anhu berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَا الدُّنْيَا فِي اْلآخِرَةِ إِلاَّ مِثْلُ مَا يَجْعَلُ أَحَدُكُمْ إِصْبَعَهُ فِي الْيَمِّ فَلْيَنْظُرْ بِمَ تَرْجِعُ

“Tidaklah dunia bila dibandingkan dengan akhirat kecuali hanya semisal salah seorang dari kalian memasukkan sebuah jarinya ke dalam lautan. Maka hendaklah ia melihat apa yang dibawa oleh jari tersebut ketika diangkat?” (HR. Muslim no. 7126)

Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu menerangkan, “Makna hadits di atas adalah pendeknya masa dunia dan fananya kelezatannya bila dibandingkan dengan kelanggengan akhirat berikut kelezatan dan kenikmatannya, tidak lain kecuali seperti air yang menempel di jari bila dibandingkan dengan air yang masih tersisa di lautan.” (Al-Minhaj, 17/190)

Lihatlah demikian kecilnya perbendaharaan dunia bila dibandingkan dengan akhirat. Maka siapa lagi yang tertipu oleh dunia selain orang yang pandir, karena dunia takkan dapat menipu orang yang cerdas dan berakal. (Bahjatun Nazhirin, 1/531)

Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

CATATAN KAKI
[1] Mereka yang tertipu oleh dunia.
[2] Dalam riwayat lain yang diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim (no. 3675) disebutkan ucapan Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu: 

فَابْتَدَرَتْ عَيْنَايَ. قَالَ: مَا يُبْكِيْكَ، يَا ابْنَ الْخَطَّابِ؟ قُلْتُ: يَا نَبِيَّ اللهِ وَمَا لِي لاَ أَبْكِي وَهَذَا الْحَصِيْرُ قَدْ أَثَّرَ فِي جَنْبِكَ وَهَذِهِ خِزَانَتُكَ لاَ أَرَى فِيْهَا إِلاَّ مَا أَرَى، وَذَاكَ قَيْصَرُ وَكِسْرَى فِي الثِّمَارِ وَاْلأَنْهَارِ وَأَنْتَ رَسُوْلُ اللهِ وَصَفْوَتُهُ وَهَذِهِ خِزَانَتُكَ
 
“Maka bercucuranlah air mataku.” Melihat hal itu beliau bertanya, “Apa yang membuatmu menangis, wahai putra Al-Khaththab?” Aku menjawab, “Wahai Nabiyullah, bagaimana aku tidak menangis, aku menyaksikan tikar ini membekas pada rusukmu. Aku melihat lemarimu tidak ada isinya kecuali sekedar yang aku lihat. Sementara Kaisar dan Kisra dalam limpahan kemewahan dengan buah-buahan dan sungai-sungai yang mengalir. Padahal engkau (jauh lebih mulia daripada mereka) adalah utusan Allah dan manusia pilihan-Nya, dalam keadaan lemarimu hanya begini.”
[3] Adapun di akhirat kelak, mereka tidak mendapatkan apa-apa. Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman:

وَيَوْمَ يُعْرَضُ الَّذِيْنَ كَفَرُوا عَلَى النَّارِ أَذْهَبْتُمْ طَيِّبَاتِكُمْ فِي حَيَاتِكُمُ الدُّنْيَا وَاسْتَمْتَعْتُمْ بِهَا فَالْيَوْمَ تُجْزَوْنَ عَذَابَ الْهُوْنِ بِمَا كُنْتُمْ تَسْتَكْبِرُوْنَ فِي اْلأَرْضِ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَبِمَا كُنْتُمْ تَفْسُقُوْنَ 

“Dan ingatlah hari ketika orang-orang kafir dihadapkan ke neraka, kepada mereka dikatakan, ‘Kalian telah menghabiskan kesenangan hidup (rezeki yang baik-baik) kalian dalam kehidupan duniawi saja dan kalian telah bersenang-senang dengannya. Maka pada hari ini kalian dibalas dengan adzab yang menghinakan karena kalian telah menyombongkan diri di muka bumi tanpa haq dan karena kalian berbuat kefasikan’.” (Al-Ahqaf: 20) Sumber: Jangan Terpikat oleh Dunia Penulis: Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah.

Rabu, 16 Maret 2011

Kulit Putih Alami dan Cerah dengan Jeruk Nipis

Setiap orang memiliki warna kulit yang berbeda. Faktor genetik biasanya yang lebih dominan mempengaruhi warna kulit seseorang. Faktor lainnya bisa juga karena iklim dan cuaca.
Kulit wajah adlah bagian yang paling terpenting menurut kaum wanita. Cara membuat wajah agar tampak putih bersih dan menarik bisa dengan perawatan ke dokter, disalon kecantikan, maupun perawatan dirumah.
Dengan jeruk nipis kulit bisa menjadi lebih putih dan segar. Jeruk nipis juga kaya akan gizi seperti zat biflanid, minyak atsirilimonen, asam sitrat, linalin asetat, dan fellandren yang dapat menyembuhkan penyakit batuk, menurunkan demam, dan membuat suara merdu.Kandungan Vitamin C dalam jeruk nipis ini membuat kulit menjadi putih halus, kencang, dan mencerahkan kulit.
Caranya:
1. Bisa dengan mengkonsumsi jeruk nipis, agar vitamin C nya bisa diserap oleh tubuh secara maksimal.
2. Mengusap potongan jeruk nipis pada wajah atau kulit yang diinginkan secara rutih setiap hari.

Hukum Menggunakan Sepatu Berhak Tinggi

Pertanyaan: Apakah wanita dibolehkan menggunakan sepatu hak tinggi ?
Jawaban: Hal itu tidak diperkenankan. Hal ini dapat menyerupai wanita kafir atau wanita nakal. Hal seperti itu (memakai sepatu hak tinggi -shalihah) berasal dari kalangan wanita Yahudi sebelum Islam datang. Ketika salah seorang dari mereka menghadiri sebuah pertemuan dimana sang kekasihnya juga hadir, maka wanita itu menggunakan sepasang sepatu yang tinggi agar dapat dilihat oleh sang kekasih, menjadi lebih tinggi. Kemudian, sepatu tinggi itu berubah menjadi sepatu hak tinggi. Lebih lanjut, jenis sepatu ini dapat mengubah cara berjalan si wanita, membuatnya jalan bergoyang ke kiri dan ke kanan (berlenggak-lenggok -shalihah), dan oleh sebab itu, (wanita -shalihah) nakal dan lemah iman akan memilih tipe sepatu ini. Oleh karena itu, wanita yang menjalankan syari’at tidak seharusnya memakai sepatu berhak tinggi, terutama hal itu membuatnya berulang kali terjatuh!!

Sumber: www.troid.org, alih bahasa oleh Tim Shalihah

================================================ 

Teruntuk Saudariku


Setelah membaca fatwa di atas, wahai ukhtiy Shalihah, apa yang engkau pikirkan saat membaca kalimat “… membuatnya jalan bergoyang ke kiri dan ke kanan…” Terbayangkah bagaimana cara berjalan mereka yang menggunakan sepatu hak tinggi ini? Mereka berjalan berlenggak-lenggok. Cara berjalan seperti itu tentunya akan menarik perhatian orang lain terutama para lelaki.

Ingatkah ukhtiy sebuah hadits yang berkaitan tentang cara berjalan melenggak-lenggok ini? Ingatkah ukhtiy hadits di bawah ini?
صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُونَ بِهَا النَّاسَ وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مُمِيلاَتٌ مَائِلاَتٌ رُءُوسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ لاَ يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَلاَ يَجِدْنَ رِيحَهَا وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ كَذَا وَكَذَا
“Ada dua golongan dari penduduk neraka yang belum pernah aku lihat: Suatu kaum yang memiliki cambuk seperti ekor sapi untuk memukul manusia dan para wanita yang berpakaian tapi telanjang, berlenggak-lenggok, kepala mereka seperti punuk unta yang miring. Wanita seperti itu tidak akan masuk surga dan tidak akan mencium baunya, walaupun baunya tercium selama perjalanan sekian dan sekian.” [HR. Muslim no. 2128 dari Abu Hurairah radhiyallahu'anhu]
para wanita yang berpakaian tapi telanjang, berlenggak-lenggok, kepala mereka seperti punuk unta yang miring
Bukankah hadits ini menjadi penguat dalil bagi kita untuk meninggalkan pemakaian sepatu berhak tinggi?
Semoga kita tidak termasuk dua golongan dari penduduk neraka yang telah disebutkan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam.

www.shalihah.com

12 TANDA MATI YANG HUSNUL KHOTIMAH

Meninggalkan dunia yang fana ini dalam keadaan husnul khatimah merupakan dambaan setiap insan yang beriman, karena hal itu sebagai bisyarah, kabar gembira dengan kebaikan untuknya. Al-Imam Al-Albani rahimahullahu menyebutkan beberapa tanda husnul khatimah dalam kitabnya yang sangat bernilai Ahkamul Jana`iz wa Bida’uha.

Berikut ini kami nukilkan secara ringkas untuk pembaca yang mulia, disertai harapan dan doa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar kita termasuk orang-orang yang mendapatkan husnul khatimah dengan keutamaan dan kemurahan dari-Nya. Amin!

Pertama: Mengucapkan syahadat ketika hendak meninggal, dengan dalil hadits Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu, ia menyampaikan dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
مَنْ كَانَ آخِرُ كَلاَمِهِ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ دَخَلَ الْجَنَّةَ
“Siapa yang akhir ucapannya adalah kalimat ‘La ilaaha illallah’ ia akan masuk surga.” (HR. Al-Hakim dan selainnya dengan sanad yang hasan1)

Kedua: Meninggal dengan keringat di dahi.
Buraidah ibnul Hushaib radhiyallahu ‘anhu ketika berada di Khurasan menjenguk saudaranya yang sedang sakit. Didapatkannya saudaranya ini menjelang ajalnya dalam keadaan berkeringat di dahinya. Ia pun berkata, “Allahu Akbar! Aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَوْتُ الْمُؤْمِنِ بِعَرَقِ الْجَبِيْنِ
“Meninggalnya seorang mukmin dengan keringat di dahi.” (HR. Ahmad, An-Nasa`i, dll. Sanad An-Nasa`i shahih di atas syarat Al-Bukhari)

Ketiga: Meninggal pada malam atau siang hari Jum’at, dengan dalil hadits Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhuma, beliau menyebutkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَمُوْتُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ أَوْ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ إِلاَّ وَقَاهُ اللهُ فِتْنَةَ الْقَبْرِ
“Tidak ada seorang muslimpun yang meninggal pada hari Jum’at atau malam Jum’at, kecuali Allah akan menjaganya dari fitnah kubur.” (HR. Ahmad, At-Tirmidzi. Hadits ini memiliki syahid dari hadits Anas, Jabir bin Abdillah g dan selain keduanya, maka hadits ini dengan seluruh jalannya hasan atau shahih)

Keempat: Syahid di medan perang. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَلاَ تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ قُتِلُوا فِي سَبِيلِ اللهِ أَمْوَاتًا بَلْ أَحْيَاءٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُونَ. فَرِحِينَ بِمَا آتَاهُمُ اللهُ مِنْ فَضْلِهِ وَيَسْتَبْشِرُونَ بِالَّذِينَ لَمْ يَلْحَقُوا بِهِمْ مِنْ خَلْفِهِمْ أَلاَّ خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَ هُمْ يَحْزَنُونَ. يَسْتَبْشِرُونَ بِنِعْمَةٍ مِنَ اللهِ وَفَضْلٍ وَأَنَّ اللهَ لاَ يُضِيعُ أَجْرَ الْمُؤْمِنِينَ
“Dan janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati bahkan mereka hidup di sisi Rabb mereka dengan mendapatkan rizki. Mereka dalam keadaan gembira disebabkan karunia Allah yang diberikan-Nya kepada mereka dan mereka beriang hati terhadap orang-orang yang masih tinggal di belakang mereka (yang masih berjihad di jalan Allah) yang belum menyusul mereka. Ketahuilah tidak ada kekhawatiran atas mereka dan tidak pula mereka bersedih hati. Mereka bergembira dengan nikmat dan karunia yang besar dari Allah dan Allah tidak akan menyia-nyiakan pahala orang-orang yang beriman.” (Ali Imran: 169-171)

Dalam hal ini ada beberapa hadits:
1. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لِلشَّهِيْدِ عِنْدَ اللهِ سِتُّ خِصَالٍ: يُغْفَرُ لَهُ فِي أَوَّلِ دَفْعَةٍ مِنْ دَمِهِ، وَيُرَى مَقْعَدُهُ مِنَ الْجَنَّةِ، وَيُجَارُ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ، وَيَأْمَنُ الْفَزَعَ الْأَكْبَرَ، وَيُحَلَّى حِلْيَةَ الْإِيْمَانِ، وَيُزَوَّجُ مِنَ الْحُوْرِ الْعِيْنِ، وَيُشَفَّعُ فِي سَبْعِيْنَ إِنْسَانًا مِنْ أَقَارِبِهِ
“Bagi orang syahid di sisi Allah ia beroleh enam perkara, yaitu diampuni dosanya pada awal mengalirnya darahnya, diperlihatkan tempat duduknya di surga, dilindungi dari adzab kubur, aman dari kengerian yang besar (hari kiamat), dipakaikan perhiasan iman, dinikahkan dengan hurun ‘in (bidadari surga), dan diperkenankan memberi syafaat kepada tujuh puluh orang dari kalangan kerabatnya.” (HR. At-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad dengan sanad yang shahih)

2. Salah seorang sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan: Ada orang yang bertanya, “Wahai Rasulullah, kenapa kaum mukminin mendapatkan fitnah (ditanya) dalam kubur mereka kecuali orang yang mati syahid?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:
كَفَى بِبَارَقَةِ السُّيُوْفِ عَلَى رَأْسِهِ فِتْنَةً
“Cukuplah kilatan pedang di atas kepalanya sebagai fitnah (ujian).” (HR. An-Nasa`i dengan sanad yang shahih)

Kelima: Meninggal di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu menyampaikan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
مَا تَعُدُّوْنَ الشَّهِيْدَ فِيْكُمْ؟ قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ، مَنْ قُتِلَ فِي سَبِيْلِ اللهِ فَهُوَ شَهِيْدٌ. قَالَ: إِنَّ شُهَدَاءَ أُمَّتِي إِذًا لَقَلِيْلٌ. قَالُوْا: فَمَنْ هُمْ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: مَنْ قُتِلَ فِي سَبِيْلِ اللهِ فَهُوَ شَهِيْدٌ, وَمَنْ مَاتَ فِي سَبِيْلِ اللهِ فَهُوَ شَهِيْدٌ، وَمَنْ مَاتَ فيِ الطَّاعُوْنَ فَهُوَ شَهِيْدٌ، وَمَنْ مَاتَ فِي الْبَطْنِ فَهُوَ شَهِيْدٌ، وَالْغَرِيْقُ شَهِيْدٌ
“Siapa yang terhitung syahid menurut anggapan kalian?” Mereka menjawab, “Wahai Rasulullah, siapa yang terbunuh di jalan Allah maka ia syahid.” Beliau menanggapi, “Kalau begitu, syuhada dari kalangan umatku hanya sedikit.” “Bila demikian, siapakah mereka yang dikatakan mati syahid, wahai Rasulullah?” tanya para sahabat. Beliau menjawab, “Siapa yang terbunuh di jalan Allah maka ia syahid, siapa yang meninggal di jalan Allah maka ia syahid, siapa yang meninggal karena penyakit tha’un2 maka ia syahid, siapa yang meninggal karena penyakit perut maka ia syahid, dan siapa yang tenggelam ia syahid.” (HR. Muslim)

Keenam: Meninggal karena penyakit tha’un. Selain disebutkan dalam hadits di atas juga ada hadits dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الطَّاعُوْنُ شَهَادَةٌ لِكُلِّ مُسْلِمٍ
“Tha’un adalah syahadah bagi setiap muslim.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Aisyah radhiyallahu ‘anha pernah bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang tha’un, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan kepadanya:
إِنَّهُ كَانَ عَذَابًا يَبْعَثُهُ اللهُ عَلىَ مَنْ يَشَاءُ، فَجَعَلَهُ اللهُ رَحْمَةً لِلْمُؤْمِنِيْنَ، فَلَيْسَ مِنْ عَبْدٍ يَقَعُ الطَّاعُوْنُ فَيَمْكُثُ فِي بَلَدِهِ صَابِرًا يَعْلَمُ أَنَّهُ لَنْ يُصِيبَهُ إِلاَّ مَا كَتَبَ اللهُ لَهُ، إِلاَّ كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ الشَّهِيدِ
“Tha’un itu adalah adzab yang Allah kirimkan kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Maka Allah jadikan tha’un itu sebagai rahmat bagi kaum mukminin. Siapa di antara hamba (muslim) yang terjadi wabah tha’un di tempatnya berada lalu ia tetap tinggal di negerinya tersebut dalam keadaan bersabar, dalam keadaan ia mengetahui tidak ada sesuatu yang menimpanya melainkan karena Allah telah menetapkan baginya, maka orang seperti ini tidak ada yang patut diterimanya kecuali mendapatkan semisal pahala syahid.” (HR. Al-Bukhari)

Ketujuh: Meninggal karena penyakit perut, karena tenggelam, dan tertimpa reruntuhan, berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
الشُّهَدَاءُ خَمْسَةٌ: الْمَطْعُوْنُ وَالْمَبْطُوْنُ وَالْغَرِقُ وَصاَحِبُ الْهَدْمِ وَالشَّهِيْدُ فِي سَبِيْلِ اللهِ
“Syuhada itu ada lima, yaitu orang yang meninggal karena penyakit tha’un, orang yang meninggal karena penyakit perut, orang yang mati tenggelam, orang yang meninggal karena tertimpa reruntuhan, dan orang yang gugur di jalan Allah.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)

Kedelapan: meninggalnya seorang ibu dengan anak yang masih dalam kandungannya, berdasarkan hadits Ubadah ibnush Shamit radhiyallahu ‘anhu. Ia mengabarkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan beberapa syuhada dari umatnya di antaranya:
الْمَرْأَةُ يَقْتُلُهَا وَلَدُهَا جَمْعَاءَ شَهَادَةٌ، يَجُرُّهَا وَلَدُهَا بِسَرَرِهِ إِلَى الْجَنَّةِ
“Wanita yang meninggal karena anaknya yang masih dalam kandungannya adalah mati syahid, anaknya akan menariknya dengan tali pusarnya ke surga.” (HR. Ahmad, Ad-Darimi, dan Ath-Thayalisi dan sanadnya shahih)

Kesembilan: Meninggal dalam keadaan berjaga-jaga (ribath) fi sabilillah.
Salman Al-Farisi radhiyallahu ‘anhu menyebutkan hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
رِبَاطُ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ خَيْرٌ مِنْ صِيَامِ شَهْرٍ وَقِيَامِهِ، وَإِنْ مَاتَ جَرَى عَلَيْهِ عَمَلُهُ الَّذِي كَانَ يَعْمَلُهُ، وَأًُجْرِيَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ وَأَمِنَ الْفَتّاَنَ
“Berjaga-jaga (di jalan Allah) sehari dan semalam lebih baik daripada puasa sebulan dan shalat sebulan. Bila ia meninggal, amalnya yang biasa ia lakukan ketika masih hidup terus dianggap berlangsung dan diberikan rizkinya serta aman dari fitnah (pertanyaan kubur).” (HR. Muslim)

Kesepuluh: Meninggal dalam keadaan beramal shalih.
Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu menyampaikan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
مَنْ قَالَ: لاَ إِلهَ إِلاَّ الله ابْتِغَاءَ وَجْهِ اللهِ خُتِمَ لَهُ بِهَا دَخَلَ الْجَنَّةَ. وَمَنْ صَامَ يَوْمًا ابْتِغَاءَ وَجْهِ اللهِ خُتِمَ لَهُ بِهَا دَخَلَ الْجَنَّةَ. وَمَنْ تَصَدَّقَ بِصَدَقَةٍ ابْتِغَاءَ وَجْهِ اللهِ خُتِمَ لَهُ بِهَا دَخَلَ الْجَنَّةَ
“Siapa yang mengucapkan La ilaaha illallah karena mengharapkan wajah Allah yang ia menutup hidupnya dengan amal tersebut maka ia masuk surga. Siapa yang berpuasa sehari karena mengharapkan wajah Allah yang ia menutup hidupnya dengan amal tersebut maka ia masuk surga. Siapa yang bersedekah dengan satu sedekah karena mengharapkan wajah Allah yang ia menutup hidupnya dengan amal tersebut maka ia masuk surga.” (HR. Ahmad, sanadnya shahih)

Kesebelas: Meninggal karena mempertahankan hartanya yang ingin dirampas orang lain. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ قُتِلَ دُوْنَ مَالِهِ فَهُوَ شَهِيْدٌ
“Siapa yang terbunuh karena mempertahankan hartanya maka ia syahid.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhuma)

Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata: Datang seseorang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia berkata, “Wahai Rasulullah, apa pendapatmu bila datang seseorang ingin mengambil hartaku?” Beliau menjawab, “Jangan engkau berikan hartamu.” Ia bertanya lagi, “Apa pendapatmu jika orang itu menyerangku?” “Engkau melawannya,” jawab beliau. “Apa pendapatmu bila ia berhasil membunuhku?” tanya orang itu lagi. Beliau menjawab, “Kalau begitu engkau syahid.” “Apa pendapatmu jika aku yang membunuhnya?” tanya orang tersebut. “Ia di neraka,” jawab beliau. (HR. Muslim)

Keduabelas: Meninggal karena membela agama dan mempertahankan jiwa/membela diri.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
مَنْ قُتِلَ دُوْنَ مَالِهِ فَهُوَ شَهِيْدٌ، وَمَنْ قُتِلَ دُوْنَ أَهْلِهِ فَهُوَ شَهِيْدٌ، وَمَنْ قُتِلَ دُوْنَ دِيْنِهِ فَهُوَ شَهِيْدٌ، وَمَنْ قُتِلَ دُوْنَ دَمِهِ فَهُوَ شَهِيْدٌ
“Siapa yang meninggal karena mempertahankan hartanya maka ia syahid, siapa yang meninggal karena membela keluarganya maka ia syahid, siapa yang meninggal karena membela agamanya maka ia syahid, dan siapa yang meninggal karena mempertahankan darahnya maka ia syahid.” (HR. Abu Dawud, An-Nasa`i, dan At Tirmidzi dari Sa’id bin Zaid radhiyallahu ‘anhu dan sanadnya shahih)

Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

1 Penghukuman hadits ini dari Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam kitab yang sama.
2 Satu pendapat menyebutkan bahwa tha’un adalah luka-luka semacam bisul bernanah yang biasa muncul di siku, ketiak, tangan, jari-jari dan seluruh tubuh, disertai dengan bengkak serta sakit yang sangat. Luka-luka itu keluar disertai rasa panas dan menghitam daerah sekitarnya, atau menghijau ataupun memerah dengan merah lembayung (ungu) yang suram. Penyakit ini membuat jantung berdebar-debar dan memicu muntah. (Lihat Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim, 14/425)

Penjelasan lain tentang tha’un bisa dilihat dalam Fathul Bari, 10/222,223) -pent.
Dikutip dari http://www.asysyariah.com, Penulis : Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah, Judul: Tanda Husnul Khatimah

Sabtu, 19 Maret 2011

Hukum Wanita Memakai Celana Panjang

Diposting oleh Wanita Sholehah di 23.50 0 komentar
Syaikh Ibnu Jibrin rahimahullah ditanya, “Apa hukum memakai celana panjang bagi para wanita ketika bukan di hadapan suaminya?
Beliau rahimahullah menjawab,
Tidak boleh bagi seorang wanita di hadapan selain suaminya untuk mengenakan celana seperti itu karena jika ia mengenakan seperti itu maka itu akan menampakkan bentuk lekuk tubuhnya. Padahal para wanita diperintahkan untuk mengenakan pakaian yang menutupi seluruh badannya[1].  Wanita adalah biang fitnah (mudah menggoda yang lainnya). Segala sesuatu yang menampakkan bentuk lekuk tubuhnya diharamkan untuk ditampakkan pada pria atau pada wanita dan selainnya, kecuali pada suaminya. Suaminya boleh saja melihat dirinya, yaitu pada seluruh badannya. Wanita boleh saja menggunakan celana panjang yang longgar atau yang sempit sekali pun, atau semacamnya. Wallahu a’lam.
[Syaikh Ibnu Jibrin, An Nukhbah minal Fatawa An Nisaiyah[2]]
Syaikh Sulaiman bin ‘Abdillah Al Maajid ketika ditanya masalah ini menjawab,
“Jika celana tersebut longgar dan menutupi hingga lutut, maka boleh dikenakan di hadapan para wanita dan mahromnya. Adapun jika celana tersebut sempit, maka tidak boleh ditampakkan pada wanita lainnya kecuali pada suaminya saja. Wallahu a’lam.”[3]
***
Fatwa ini kami sertakan untuk menjawab pertanyaan Ummu Shafiyyah di kolom konsultasi Rumaysho.com di sini. Semoga bermanfaat.

Prepared after Zhuhur in Riyadh, KSA, 25 Dzulhijjah 1431 H (01/12/2010)
By: Muhammad Abduh Tuasikal


[1] Beda dengan pria, aurat pria mulai dari pusar hingga lutut. Sehingga tidak mengapa menggunakan celana panjang selama tidak terlalu ketat. Dalam hadits disebutkan, “Karena di antara pusar sampai lutut adalah aurat.” (HR. Ahmad 2/187, Al Baihaqi 2/229. Syaikh Syu’aib Al Arnauth menyatakan sanad hadits ini hasan) Sedangkan wanita diperintahkan untuk menutup auratnya seluruh tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangannya.

Bolehkah Menyemir Rambut Dengan Warna Hitam

Diposting oleh Wanita Sholehah di 23.47 0 komentar
Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Bagi yang sudah berusia senja atau mungkin saja masih muda tapi sudah beruban, sangat ingin sekali merubah warna rambutnya yang telah memutih dengan warna hitam. Inilah tanda ketidaksabaran dari sebagian orang dengan warna rambutnya itu. Namun bagaimanakah tuntunan Islam dalam hal ini? Bolehkah mewarnai rambut dengan warna hitam? Tulisan ini sebenarnya telah kami bahas dalam posting yang sudah lama kami muat di web ini. Silakan lihat di link berikut. Jadi tulisan ini hanya kembali mengingatkan kembali akan tidak bolehnya menggunakan warna hitam ketika menyemir rambut. Perhatikan tulisan berikut yang di dalamnya terdapat penjelasan dari ulama besar Saudi Arabia, Syaikh ‘Abdul Karim Khudair[1].
Bersabar dengan Uban
Kondisi beruban memang tidak menyenangkan bagi sebagian orang. Ada yang merasa gatal sehingga ingin mencabut uban tersebut dari kepalanya. Atau karena penampilan yang sudah terlihat tua, akhirnya ia pun ingin merubah uban dengan warna lain (terutama dengan warna hitam).
Padahal uban adalah cahaya seorang mukmin di hari kiamat. Perhatikan dalam hadits-hadits berikut.
Dari ‘Abdullah bin ‘Umar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الشيب نور المؤمن لا يشيب رجل شيبة في الإسلام إلا كانت له بكل شيبة حسنة و رفع بها درجة
Uban adalah cahaya bagi seorang mukmin. Tidaklah seseorang beruban –walaupun sehelai- dalam Islam melainkan setiap ubannya akan dihitung sebagai suatu kebaikan dan akan meninggikan derajatnya.[2]
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لا تنتفوا الشيب فإنه نور يوم القيامة ومن شاب شيبة في الإسلام كتب له بها حسنة وحط عنه بها خطيئة ورفع له بها درجة
Janganlah mencabut uban karena uban adalah cahaya pada hari kiamat nanti. Siapa saja yang beruban dalam Islam walaupun sehelai, maka dengan uban itu akan dicatat baginya satu kebaikan, dengan uban itu akan dihapuskan satu kesalahan, juga dengannya akan ditinggikan satu derajat.[3]
Dari ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَا تَنْتِفُوا الشَّيْبَ مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَشِيبُ شَيْبَةً فِي الْإِسْلَامِ إِلَّا كَانَتْ لَهُ نُورًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Janganlah mencabut uban. Tidaklah seorang muslim yang beruban dalam Islam walaupun sehelai, melainkan uban tersebut akan menjadi cahaya baginya pada hari kiamat nanti.”[4]
Sehingga kami nasehatkan di atas tadi, bersabar itu lebih utama. Jangan merasa gelisah atau risih dengan uban tersebut. Lihatlah balasan atau pahala yang Allah berikan kelak nanti. Cahaya di hari penuh kesulitan di hari kiamat, itu lebih utama dari gelisah dan tidak suka di dunia. Coba setiap yang beruban merenungkan hal ini. Namun hanya Allah lah yang beri taufik dan hidayah demi hidayah.
Diharamkan Menyemir Uban dengan Warna Hitam
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى لَا يَصْبُغُونَ فَخَالِفُوهُمْ
Sesungguhnya orang-orang Yahudi dan Nashrani tidak menyemir uban mereka, maka selisilah mereka.”[5]
Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, ”Pada hari penaklukan Makkah, Abu Quhafah (ayah Abu Bakar) datang dalam keadaan kepala dan jenggotnya telah memutih (seperti kapas, artinya beliau telah beruban). Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
غَيِّرُوا هَذَا بِشَيْءٍ وَاجْتَنِبُوا السَّوَادَ
Ubahlah uban ini dengan sesuatu, tetapi hindarilah warna hitam.”[6] Ulama besar Syafi’iyah, An Nawawi membawakan hadits ini dalam Bab “Dianjurkannya menyemir uban dengan shofroh (warna kuning), hamroh (warna merah) dan diharamkan menggunakan warna hitam”.
Ketika menjelaskan hadits di atas An Nawawi rahimahullah mengatakan, “Menurut madzhab kami (Syafi’iyah), menyemir uban berlaku bagi laki-laki maupun perempuan yaitu dengan shofroh (warna kuning) atau hamroh (warna merah) dan diharamkan menyemir uban dengan warna hitam menurut pendapat yang terkuat. Ada pula yang mengatakan bahwa hukumnya hanyalah makruh (makruh tanzih). Namun pendapat yang menyatakan haram lebih tepat berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “hindarilah warna hitam”. Inilah pendapat dalam madzhab kami.”
Bahan yang baik digunakan untuk menyemir uban tadi adalah inai dan pacar. Dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ أَحْسَنَ مَا غَيَّرْتُمْ بِهِ الشَّيْبَ الْحِنَّاءُ وَالْكَتَمُ
Sesungguhnya bahan yang terbaik yang kalian gunakan untuk menyemir uban adalah hinna’ (pacar) dan katm (inai).”[7]
Soal-Jawab Syaikh ‘Abdul Karim Khudair
Beliau hafizhahullah ditanya, “ Apa hukum mewarnai rambut dengan warna hitam?”
Jawaban dari beliau,
Hadits yang membicarakan masalah ini menyatakan,
وَجَنِّبُوهُ السَّوَادَ
Jauhilah menggunakan warna hitam.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika melihat Abu Qohafah dengan rambutnya yang beruban (warna putih),  beliau bersabda,
غَيِّرُوهُ وَجَنِّبُوهُ السَّوَادَ
Ubahlah uban tersebut dan jauhi warna hitam.” Namun hadits ini dikatakan mudroj (ada tambahan dari perowi) yang tidak bisa dijadikan hujjah dan tidak bisa dijadikan dalil. Akan tetapi, mewarnai rambut dengan hitam baik untuk laki-laki, perempuan, hukumnya haram. Termasuk pula bagi anak kecil atau orang dewasa, hukumnya sama, tetap haram.
Masih tersisa masalah, mengenai mengubah uban dengan warna selain hitam. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam katakan dalam hadits, “Ubahlah”. Minimal perintah ini adalah sunnah dan ada sebagian ulama katakan hukumnya adalah wajib untuk merubah uban (dengan warna selain hitam). Dan sahabat Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu sendiri merubah ubannya dengan hinna’ (pacar) dan katm (inai). Adapun sahabat ‘Umar radhiyallahu ‘anhu mengubah ubannya hinna’ (pacar) dan shorf.
Kita perhatikan sendiri bahwa kebanyakan orang yang berada di usia senja tidak mewarnai ubannya, karena dalam hal ini terasa sulit dan berat.
Intinya, melakukan perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk merubah uban (dengan warna selain hitam) sangat dituntut bagi seorang muslim. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri katakan, “Ubahlah uban tersebut”. Para ulama katakan bahwa mewarnai uban (dengan selain hitam) di sini hukumnya sunnah, bukan wajib. Akan tetapi, jika kita katakan demikian bahwa itu sunnah dan ada perintah dalam hal ini, lantas mengapa kita tidak tunaikan saja perintah Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam yang ada?”[8]
Inilah penjelasan dalam masalah menyemir rambut. Hal ini berlaku pula bagi yang tidak memiliki uban lantas ingin menyemirnya dengan warna hitam, sama saja tetap terlarang karena hadits yang membicarakan ini berlaku umum. Wallahu a’lam.
Jadi problema memang di sebagian salon atau tempat cukur rambut, di mana mereka melayani pelanggan yang ingin menyemir ubannya dengan warna hitam. Ini tentu saja masalah dan upahnya pun dari suatu usaha yang haram. Dalam hadits disebutkan,
وإن الله إذا حرم شيئا حرم ثمنه
Jika Allah mengharamkan sesuatu, Allah pun mengharamkan upahnya.[9] Berarti upah yang diperoleh dari menyemir uban dengan warna hitam adalah upah yang haram. So, ini berarti memakan harta orang dengan cara yang batil.
Demikian ulasan singkat kami dalam hal ini. Kami harapkan pembaca bisa membaca ulasan kami lainnya tentang mencabut uban dan menyemir uban di sini:
  1. Mencabut uban
  2. Menyembir rambut
Moga bermanfaat. Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmus sholihaat.

Riyadh-KSA, 10th Rabi’uts Tsani 1432 H (15/03/2011)


[1] Beliau adalah salah satu pengajar di Fakultas Ushulud-din Jami’ah Al Imam Muhammad bin Su’ud Al Islamiyah di Riyadh. Namun saat ini beliau berpindah mengajar di Jami’ah Malik Su’ud (King Saud University) di kota yang sama.
[2] HR. Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman. Syaikh Al Albani dalam Al Jami’ Ash Shogir mengatakan bahwa hadits ini hasan
[3] HR. Ibnu Hibban dalam Shahihnya. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan
[4] HR. Abu Daud dan An Nasa’i. Syaikh Al Albani dalam Al Jami’ Ash Shagir mengatakan bahwa hadits ini shahih
[5] Muttafaqun ‘alaihi, HR. Bukhari dan Muslim
[6] HR. Muslim
[7] HR. Abu Daud, Tirmidzi, Ibnu Majah, dan An Nasa’i. Syaikh Al Albani dalam As Silsilah Ash Shahihah mengatakan bahwa hadits ini shahih
[8] Diterjemahkan dari website pribadi Syaikh ‘Abdul Karim Khudair di link: http://www.khudheir.com/text/4304
[9] HR. Ibnu Hibban no. 4938. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih.

BAGAIMANA ISLAM MENYIKAPI MUSIBAH

Diposting oleh Wanita Sholehah di 00.59 0 komentar
Al Quraanul Karim telah menyebutkan beberapa sebab terjadinya musibah, dan juga Allah Subhaana wa Ta`aala menyebutkan bagaimana menghilangkan musibah tersebut dari hambanya. Diantaranya firman Allah Jalla wa `Alaa:
ذَلِكَ بِأَنّ اللّهَ لَمْ يَكُ مُغَيّراً نّعْمَةً أَنْعَمَهَا عَلَىَ قَوْمٍ حَتّىَ يُغَيّرُواْ مَا بِأَنْفُسِهِمْ
Artinya: “Yang demikian (siksaan) itu adalah karena sesungguhnya Allah sekali kali tidak akan merubah sesuatu ni`mat yang telah dianugerahkanNya kepada suatu kaum, hingga kaum itu merubah apa yang ada pada diri mereka sendiri.” Al Anfaal: (53)

Berkata al Imam as Sa’diy dalam menafsirkan ayat ini sebagai berikut: ذَلِكَ (yang demikian itu adalah) `adzab yang Allah Tabaaraka wa Ta`aala timpakan kepada ummat yang mendustakan para Rasul `Alaihimus Sholaatu was Salaam. Kemudian Allah hilangkan segala bentuk ni`mat dan kesenangan pada mereka disebabkan dosa-dosa mereka, dan dikarenakan perubahan perubahan yang mereka lakukan atas diri diri mereka sendiri, (sebab Allah tidak akan pernah merobah ni`mat yang telah dianugrahkan kepada suatu kaum), berupa keni`matan Din (Agama) dan dunia. Bahkan Allah Jalla wa `Alaa mengabadikannya serta menambahkan nikmat tersebut bagi mereka jikalau mereka mau bersyukur kepadaNya, sebagaimana Allah Subhaana wa Ta`aala berkata:
وإذ تأذن ربكم لئن شكرتم لأزيدنكم ولئن كفرتم إن عذابي لشديد
Artinya: Dan ingatlah juga, takkala Rabbmu memaklumkan: “Sesungguhnya jika kalian bersyukur , pasti Saya akan menambah ni`mat kepada kalian, dan jika kalian mengingkari ni`matKu, maka sesungguhnya `adzabKu sangatlah pedih.” Ibrahim : (7).

Al Imam `Abdurrahmaan as Sa`diy berkata: “Allah Ta`aala berkata pada mereka- memotivasi mereka untuk mensyukuri ni`mat ni`matNya-: (Dan ingatlah takkala Rabbmu mema`lumkan), maksudnya : beritahukanlah dan janjikanlah, (Sesungguhnya jika kalian bersyukur, pasti Saya akan menambahkan kepada kalian), bentuk ni`mat ni`matKu, (dan jika kalian mengingkari ni`matKu, maka sesungguhnya `adzabku sangatlah pedih), diantaranya, akan dihilangkan atau dicabut dari mereka ni`mat tersebut, yang telah dianugrahkanNya atas mereka. Yang dimaksud dengan bersyukur ialah pengakuan hati dengan ni`mat Allah tersebut, lalu memuji muji Allah `Azza wa Jalla, kemudian membelanjakannya pada jalan jalan yang diredhoi Allah Ta`aala. Sedangkan kufur ni`mat sebaliknya. (1)
حتى يغيروا ما بأنفسهم
(Hingga kaum itu merobah apa yang ada pada diri mereka sendiri), bentuk perobahan itu ialah : dari keta`atan berubah kepada ma`siat, sehingga mereka mengukufuri atau mengingkari ni`mat Allah, mereka ganti hal tersebut dengan kekufuran, maka Allah membalikan mereka atas ni`mat itu, dan merobah ni`mat tersebut atas mereka, sebagaimana mereka telah merobah apa yang ada pada diri mereka sendiri.

Dan Allah memiliki hikmah dalam hal itu, ke`adilan dan kebajikan yang diberikanNya kepada hamba-hambaNya. Dimana Allah Ta`aala tidak menimpakan `adzab atas suatu kaum, melainkan disebabkan kezholiman mereka sendiri, sekira kira Allah menarik hati wali waliNya untuk kembali kepadaNya, dengan cara merasakan kepada hamba-hambaNya malapetaka, bencana ketika mereka menyelisihi perintahNya. (2) Dan juga Allah berfirman:
وَمَآ أَصَابَكُمْ مّن مّصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُواْ عَن كَثِير
Artinya: ”Dan apa saja musibah yang menimpa kalian maka adalah disebabkan oleh perbuatan tangan kalian sendiri, dan Allah mema`afkan sebagian besar (dari kesalahan kesalahanmu.” Asy Syuuraa: (30).

Berkata al Imam as Sa’diy Rahimahullahu Ta`aala dalam menafsirkan ayat ini:
“Allah mengkhabarkan bahwa tidaklah menimpa hamba hamba tersebut satu mushibah, pada badan-badan mereka, harta-harta dan anak-anak mereka serta pada apa saja yang mereka cintai, itu adalah merupakan kemulian atas mereka, kecuali disebabkan oleh apa-apa yang telah dihasilkan oleh tangan-tangan mereka dari bentuk kejelekan, dan Allah telah banyak mengampuni kesalahan. Sesungguhnya Allah Tabaaraka wa Ta`aala tidak berbuat dzholim terhadap hamba-hambaNya, akan tetapi merekalah yang telah berbuat dzholim atas diri mereka sendiri.” Sebagaimana Allah Jalla wa `Alaa berfirman:
وَلَوْ يُؤَاخِذُ اللّهُ النّاسَ بِمَا كَسَبُواْ مَا تَرَكَ عَلَىَ ظَهْرِهَا مِن دَآبّةٍ
Artinya: “Dan kalau sekiranya Allah menyiksa manusia disebabkan apa yang mereka usahakan, niscaya Dia tidak akan meninggalkan di atas permukaan bumi suatu makhluk yang melatapun.” Al Faathir: (45)

“Bukanlah kelalaian dari Allah Ta`aala meng-akhirkan siksaan, dan tidak pula karena lemah.” (3) Dan Allah `Azza wa Jalla berkata:
وَضَرَبَ اللّهُ مَثَلاً قَرْيَةً كَانَتْ آمِنَةً مّطْمَئِنّةً يَأْتِيهَا رِزْقُهَا رَغَداً مّن كُلّ مَكَانٍ فَكَفَرَتْ بِأَنْعُمِ اللّهِ فَأَذَاقَهَا اللّهُ لِبَاسَ الْجُوعِ وَالْخَوْفِ بِمَا كَانُواْ يَصْنَعُونَ
Artinya: “Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tenteram, rezkinya datang kepadanya melimpah ruah dari segenap tempat, tetapi (penduduk)nya mengingkari ni`mat ni`mat Allah; karena itu Allah merasakan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang selalu mereka perbuat.” Al-Nahl: (112)

Berkata al Imam as Sa’diy Rahimahullahu ketika menafsirkan ayat ini:
Negeri ini adalah Makkah yang mulia, dulunya aman, tentram dan tidak ada seorangpun yang bangkit amarahnya didalam negeri Makkah tersebut. Orang-orang jahiliyah yang awampun menghormati Makkah. Sampai-sampai jika salah seorang dari mereka mendapatkan pembunuh bapaknya dan saudaranya, tidak akan bangkit kemarahannya bersamaan kuatnya egoisme pada mereka dan rasa cinta kesukuan `Arab (suku-isme). Itu merupakan hasil yang diperoleh dari negeri tersebut dalam bentuk keamanan yang sempurna, tidak akan terdapat pada negeri negeri lainnya, dalam bentuk rezqi yang amat luas. Padahal negeri Makkah tidak ada pertanian dan tidak pula pohon-pohonan akan tetapi Allah Jalla wa `Alaa mudahkan bagi negeri Makkah rezqi yang datang dari segala penjuru dunia.

Kemudian datanglah Rasulullahi Shollallahu `alaihi wa Sallam dari kalangan mereka sendiri, yang mereka sangat mengenal keamanahan dan kejujurannya, dia menyeru/mengajak mereka kepada perkara-perkara yang paling sempurna, serta mencegah mereka dari segala perkara yang jelek, akan tetapi mereka mendustakannya, dan mengingkari ni`mat-ni`mat Allah atas mereka, lalu Allah Subhaana wa Ta`aala rasakan atas mereka kebalikan apa-apa yang mereka ada padanya. Allah Ta`aala memakaikan pakaian lapar pada mereka, yang ia merupakan lawan dari rasa senang (kesenangan), rasa takut merupakan lawan dari rasa aman (keamanan), dan keseluruhan demikian disebabkan oleh perbuatan mereka sendiri dan kekufuran mereka, dan tidak bersyukurnya mereka atas ni`mat Allah Tabaaraka wa Ta`aala.
وما ظلمهم الله ولكن كانوا أنفسهم يظلمون
Artinya: “Tidaklah Allah menzholimi mereka akan tetapi mereka sendirilah yang berbuat zholim atas diri mereka.” Ali `Imraan (117). (4)

Berkata al Imam al Baghawiy ketika menafsirkan ayat ini : “(Tidaklah Allah menzholimi mereka)”, dengan demikian, “(akan tetapi mereka sendirilah yang berbuat zholim atas diri mereka)”, disebabkan karena kekufuran dan ma`shiyat. (5) Dan juga Allah berfirman disurat yang lain:
Artinya: “Telah tampak kerusakan di daratan dan di lautan disebabkan karena perbuatan tangan-tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali kepada jalan yang benar.” Ar Ruum : (41).

As Syaikh `Abdurrahmaan as Sa`diy berkata dalam menafsirkan ayat ini, “Maksudnya: Telah jelas kerusakan di daratan dan di lautan, artinya : rusaknya kehidupan mereka dan kurangnya, dan diliputi oleh musibah-musibah. Pada diri mereka dalam bentuk penyakit serta penyakit menular, dan selainnya. Kesemua itu disebabkan oleh perbuatan tangan-tangan mereka, dalam bentuk perbuatan-perbuatan yang rusak dan merusak, pada dasarnya. Ini disebutkan:
ليذيقهم بعض الذي عملوا
“supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka”, maksudnya: agar mereka mengetahui bahwa akan dibalas atas perbuatan-perbuatan mereka, maka disegerakan atas mereka balasan itu sebagai contoh, dari bentuk balasan perbuatan mereka di dunia.
لعلهم يرجعون
“semoga mereka kembali kepada jalan yang benar.” Maksudnya; dari perbuatan-perbuatan mereka, telah menghasilkan dari bentuk kerusakan apa-apa yang telah dihasilkan oleh perbuatan itu. Supaya baik dan tenang keadaan mereka. Maha Suci Dzat yang sangat Penyayang dengan cobaanNya, yang Maha Pemberi keutamaan pada musibah-musibahNya, kalau tidak demikian, kalau seandainya Allah Subhaana wa Ta`aala menimpakan musibah atas mereka, dikarenakan apa-apa yang telah mereka lakukan, sudah tentu Allah `Azza wa Jalla tidak akan menyisakan seekor hewanpun di permukaan bumi ini.” (6)

Ayat ayat yang mulia ini memberi pengertian kepada kita bahwa Allah adalah Maha `Adil dan Maha Bijaksana. Ia tidak akan menurunkan bala dan bencana atas suatu kaum kecuali karena perbuatan ma`shiat, dosa serta pelanggaran mereka terhadap perintah-perintah Allah, lebih-lebih karena jauhnya mereka dari Tauhid serta tersebar luasnya berbagai perbuatan syirik di banyak negara-negara Islam. Hal inilah yang menyebabkan timbulnya banyak fitnah, cobaan, ujian dan berbagai musibah yang diturunkan Allah Tabaaraka wa Ta`aala atas mereka. Kesemua itu tidak akan hilang kecuali mereka kembali mentauhidkan Allah Jalla wa `Alaa-dengan ber`ibadat kepadaNya saja serta meninggalkan seluruh bentuk kesyirikan, bid`ah, khurafat-khurafat dan tahayul serta ma`shiat-ma`shiat. Dan juga menegakkan syari`at-syari`atNYA baik terhadap pribadi maupun masyarakat.

Al Quran juga menjelaskan keadaan orang-orang musyrik yang berdo’a kepada Allah dengan meng EsakanNya sa`at mereka ditimpa musibah dan kesempitan. Namun ketika Allah Jalla dzikruHu menyelamatkan mereka dari musibah dan kesempitan tersebut, mereka kembali lagi kepada perbuatan-perbuatan syirik mereka, dan berdo`a kepada selain Allah Tabaaraka wa Ta`aala diwaktu senang dan lapang. Sedangkan diwaktu sempit mereka betul-betul meng-ikhlashkan seluruh bentuk per`ibadatan mereka kepada Allah `Azza wa Jalla. Allah Tabaaraka wa Ta`aala berfirman:
فَإِذَا رَكِبُواْ فِي الْفُلْكِ دَعَوُاْ اللّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدّينَ فَلَمّا نَجّاهُمْ إِلَى الْبَرّ إِذَا هُمْ يُشْرِكُون)). العنكبوت
Artinya: “Maka apabila mereka naik kapal mereka mendo`a kepada Allah dengan memurnikan keta`atan kepadaNya; maka tatkkala Allah menyelamatkan mereka sampai ke daratan, tiba-tiba mereka (kembali) mempersekutukan Allah.” Al ’Ankabut : (65).

Berkata as Syaikh `Abdurrahmaan as Sa`diy rahimahullahu Ta`aala ketika menafsirkan ayat ini: “Kemudian melazimkan Allah Ta`aala, terhadap orang-orang musyrik keikhlashan mereka kepada Allah, dalam situasi sangat terdesak, takkala mereka menaiki kapal di lautan, gelombangnya mulai saling berbenturan sama lain, timbul rasa takut mereka untuk binasa, maka ketika itulah mereka meninggalkan seluruh sekutu-sekutu mereka, lantas mereka mengikhlashkan do`a semata-mata hanya kepada Allah saja tidak ada sekutu baginya. Seketika hilang rasa kesusahan, dan selamat orang-orang yang mengikhlashkan do`a bagiNya kedaratan, lalu mereka kembali melakukan kesyirikan dengan meng`ibadati yang sama sekali tidak menyelamatkan mereka dari kesusahan, dan tidak sanggup menghilangkan dari mereka kesempitan.

Kenapa mereka tidak meng-ikhlashkan do`a kepada Allah Tabaaraka wa Ta`aala dalam keadaan senang dan susah, lapang dan sempit, supaya mereka betul menjadi orang mu`minin sebenarnya, yang akan berhak mendapatkan balasanNya, Allah akan menjauhkan dari mereka `adzabNya. Akan tetapi kesyirikan yang mereka lakukan setelah ni`mat Kami atas mereka, dalam bentuk keselamatan dari lautan, akibatnya, kufur dengan apa yang telah Kami berikan pada mereka, ditukar keni`matan dengan kejelekan, supaya sempurna kesenangan-kesenangan yang mereka ni`mati di dunia, sebagaimana bersenang-senangnya binatang ternak, tidak ada bagi mereka kepentingan kecuali hanya untuk perut dan kemaluan mereka.” (7)

Kebanyakan dari ummat Islam pada hari ini, manakala ditimpa musibah, mereka memohon pertolongan kepada selain Allah Subhaana wa Ta`aala, mereka menyeru ya Rasulallahi!, ya as Syaikh Jailani!, ya as Syaikh Rifaa`iiy!, ya as Syaikh Marghaniy!, ya as Syaikh Badawiy!, ya as Syaikh `Arob!…” dan sebagainya. Mereka menyekutukan Allah Tabaaraka wa Ta`aala diwaktu sempit dan lapang, sangat berbeda sekali dengan ummat jahiliyah di zaman Nabi Shollallahu `alaihi wa Sallam, dimana mereka melakukan kesyirikan kepada Allah `Azza wa Jalla diwaktu lapang saja; sedangkan diwaktu sempit dan terjepit mereka betul-betul meng-ikhlashkan per`ibadatan mereka kepadaNya saja, sebagaimana yang kita saksikan pada ayat yang di atas (al `Ankabuut 65). Mereka menyelisihi perkataan Rabb mereka dan perkataan Rasul mereka Shollallahu `alaihi wa Sallam!

Sesungguhnya kaum muslimiin para shohabat ketika diserang balik oleh kaum musyrikin diperang Uhud adalah disebabkan oleh sebahagian para pemanah yang tidak menta`ati perintah pemimpin mereka;- Rasulullahi Shollallahu `alaihi wa Sallam, mereka heran atas kekalahan yang mereka derita, maka dengan tegas Allah Jalla wa `Alaa menjawab rasa ta`ajjub mereka tersebut:
قُلْ هُوَ مِنْ عِندِ أَنْفُسِكُم)). آل عمران (165).ْ قلتم أنى هذا
Artinya : “Kalian berkata : dari mana datangnya kekalahan ini?” Katakanlah, itu dari (kesalahan)diri kalian sendiri”. ( Ali’Imran : (165).

As Syaikh `Abdurrahmaan as Sa`diy berkata dalam menafsirkan ayat ini : “Maksudnya; dari mana menimpa kami apa-apa yang telah menimpa dan dikalahkannya kami ini?”,
قل هو من عند أنفسكم
“Katakanlah : itu dari (kesalahan diri kalian sendiri.” Ketika kalian berselisih, dan melakukan ma`shiat dengan menyelisihi perintah Nabi kalian Shollallahu `alaihi wa Sallam, setelah diperlihatkan kepada kalian apa-apa yang kalian cintai, maka kembalikanlah celaan itu atas diri-diri kalian, dan hati-hatilah dari sebab-sebab yang merusak.” (8)

Dan demikian juga dipeperangan Hunein ketika berkata sebahagian kaum muslimiin: “Sekali-kali kita tidak akan dikalahkan oleh jumlah yang sedikit.” Maka terjadilah serangan kuat dari musuh, Allah Tabaaraka wa Ta`aala juga mencela mereka atas perbuatan tersebut dengan perkataanNya :
يوم حنين إذ أعجبتكم كثرتكم فلم تغن عنكم شيئا
Artinya : “Dan ingatlah peperangan Hunein, yaitu diwaktu kalian menjadi congkak karena banyaknya jumlah kalian, maka jumlah yang banyak itu tidak akan memberikan manfa`at kepada kalian sedikitpun.” At Taubah : (25).

As Syaikh `Abdurrahmaan as Sa`diy berkata : “Maksudnya; tidak akan memberi manfa`at kepada kalian sedikitpun atau banyak.” (9)

`Umar bin al Khatthaab radhiallahu `anhu pernah menulis kepada pimpinan perang Sa`ad bin Abi Waqqash di al `Iraaq : “Janganlah kalian mengatakan sesungguhnya musuh kita lebih jelek dari kita maka sekali-kali tidak akan berkuasa atas kita, kadang-kadang bisa jadi dikuasakan atas satu qaum seseorang yang lebih jelek dari mereka, sebagaimana dikuasakan atas bani Israaiil kuffarul majuusi takkala mereka telah melakukan ma`aashiy (ma`shiat-ma`shiat), mintalah pertolongan kepada Allah atas diri-diri kalian, sebagaimana kalian minta pertolongan kepadaNya dari musuh kalian.”

Abul Mundzir-Dzul Akmal as Salafiy, Rajab 1428H
Sumber bacaan kitab : “Minhaajul Firqatun Naajiyah,” oleh as Syaikh Muhammad bin Jamiil Zainu.

Footnote:
(1-9) “Taisiirul Kariimir Rahmaan fi Tafsiiri Kalaamil Mannaan,” oleh as Syaikh `Abdurrahmaan as Sa`diy.
(5) “Tafsiirul Baghawiy (Ma`aalimut Tanziil)”, oleh al Imam Muhyis Sunnah Abu Muhammad al Husein bin Mas`uud al Baghawiy, 516H, (1/408).
Dikutip dari http://www.thullabul-ilmiy.or.id/blog/?p=121, Penulis: Al Ustadz Abul Mundzir Dzul Akmal as Salafiy Lc, Judul: Sebab-Sebab Terjadinya Musibah Dan Cara Mengatasinya.

Batasan Kufu dalam Pernikahan

Diposting oleh Wanita Sholehah di 00.55 0 komentar

Penulis: Pengasuh Rubrik Muslimah Bertanya
Apakah batasan kufu dalam pernikahan? Apakah adanya kecocokan hati, perasaan, cara berpikir, cara pandang dan kefaqihan dalam agama termasuk dalam kekufuan?
Dianwati
ummuyusuf@myquran.com
Jawab:
Para ahli fiqih (fuqaha) berbeda pendapat tentang kafa’ah (kufu) dalam pernikahan, namun yang benar sebagaimana dijelaskan Ibnul Qayyim dalam Zaadul Ma‘ad (4/22), yang teranggap dalam kafa’ah adalah perkara dien (agama). Beliau rahimahullah berkata tentang permasalahan ini diawali dengan menyebutkan beberapa ayat Al Qur’an, di antaranya:
“Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari laki-laki dan perempuan dan Kami jadikan kalian bersuku-suku dan berkabilah-kabilah agar kalian saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah yang paling bertakwa.” (Al Hujurat: 13)
“Orang-orang beriman itu adalah bersaudara.” (Al Hujurat: 10)
“Kaum mukminin dan kaum mukminat sebagian mereka adalah wali bagi sebagian yang lain.” (At Taubah: 71)
“Wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik…” (An Nur: 26)
Kemudian beliau lanjutkan dengan beberapa hadits, di antaranya sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Tidak ada keutamaan orang Arab dibanding orang ajam (non Arab) dan tidak ada keutamaan orang ajam dibanding orang Arab. Tidak pula orang berkulit putih dibanding orang yang berkulit hitam dan sebaliknya orang kulit hitam dibanding orang kulit putih, kecuali dengan takwa. Manusia itu dari turunan Adam dan Adam itu diciptakan dari tanah.”
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Bani Bayadlah: “Nikahkanlah wanita kalian dengan Abu Hindun.”
Maka merekapun menikahkannya sementara Abu Hindun ini profesinya sebagai tukang bekam.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri pernah menikahkan Zainab bintu Jahsyin Al Qurasyiyyah, seorang wanita bangsawan, dengan Zaid bin Haritsah bekas budak beliau. Dan menikahkan Fathimah bintu Qais Al Fihriyyah dengan Usamah bin Zaid, juga menikahkan Bilal bin Rabah dengan saudara perempuan Abdurrahman bin `Auf.
Dari dalil yang ada dipahami bahwasanya penetapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam masalah kufu adalah dilihat dari sisi agama. Sebagaimana tidak boleh menikahkan wanita muslimah dengan laki-laki kafir, tidak boleh pula menikahkan wanita yang menjaga kehormatan dirinya dengan laki-laki yang fajir (jahat/jelek).
Al Qur’an dan As Sunnah tidak menganggap dalam kafa’ah kecuali perkara agama, adapun perkara nasab (keturunan), profesi dan kekayaan tidaklah teranggap. Karena itu boleh seorang budak menikahi wanita merdeka dari turunan bangsawan yang kaya raya apabila memang budak itu seorang yang ‘afif (menjaga kehormatan dirinya) dan muslim. Dan boleh pula wanita Quraisy menikah dengan laki-laki selain suku Quraisy, wanita dari Bani Hasyim boleh menikah dengan laki-laki selain dari Bani Hasyim. (Zaadul Ma‘ad, 4/22) .

Jumat, 18 Maret 2011

Tips Memuji dan Dipuji dalam Islam

Diposting oleh Wanita Sholehah di 02.04 0 komentar
Di antara fenomena umum yang kita temui dalam kehidupan sehari-hari, adalah fenomena pujian.

Secara garis besar, pujian bisa diklasifikasikan dalam 3 bentuk :
1.Pujian yang diucapkan untuk menjilat,
2.Pujian yang sifatnya hanya basa-basi belaka,
3.Pjian yang diucapkan sebagai ekspresi kekaguman.

Bila disikapi secara sehat dan proporsional, pujian bisa menjadi modal positif yang dapat memotivasi kita agar terus meningkatkan diri. Namun, kenyataannya, pujian justru lebih sering membuat kita lupa daratan, lepas kontrol, dan seterusnya. Semakin sering orang lain memuji kita, maka semakin besar potensi kita untuk terlena, besar kepala, serta hilang kendali diri. Padahal Allah Swt. mengingatkan dalam firmanNya: "Maka janganlah kamu menganggap dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui siapa orang yang bertakwa.” (Qs. Al-Najm; 32)
Agar dapat menyikapi pujian secara sehat, Nabi Saw. memberikan 3 kiat yang sangat menarik untuk diteladani.
Pertama, selalu mawas diri supaya tidak sampai terbuai oleh pujian yang dikatakan orang. Oleh karena itu, setiap kali ada yang memuji beliau, Nabi Saw. menanggapinya dengan doa: “Ya Allah, janganlah Engkau hukum aku karena apa yang dikatakan oleh orang-orang itu.” (HR. Al-Bukhari)
Lewat doa ini, Nabi Saw. mengajarkan bahwa pujian adalah perkataan orang lain yang potensial menjerumuskan kita. Ibaratnya, orang lain yang mengupas nangka, tapi kita yang kena getahnya. Orang lain yang melontarkan ucapan, tapi malah kita yang terjerumus menjadi besar kepala dan lepas kontrol.
Kedua, menyadari hakikat pujian sebagai topeng dari sisi gelap kita yang tidak diketahui orang lain. Karena, sebenarnya, setiap manusia pasti memiliki sisi gelap. Dan ketika ada seseorang yang memuji kita, maka itu lebih karena faktor ketidaktahuan dia akan belang serta sisi gelap kita. Oleh sebab itu, kiat Nabi Saw. dalam menanggapi pujian adalah dengan berdoa: “Dan ampunilah aku dari apa yang tidak mereka ketahui (dari diriku)”. (HR. Al-Bukhari)
Ketiga, kalaupun sisi baik yang dikatakan orang lain tentang kita adalah benar adanya, Nabi Saw. mengajarkan kita agar memohon kepada Allah Swt. untuk dijadikan lebih baik dari apa yang tampak di mata orang lain. Maka kalau mendengar pujian seperti ini, Nabi Saw. kemudian berdoa: “Dan jadikanlah aku lebih baik dari apa yang mereka kira”. (HR. Al-Bukhari)

Selain memberikan teladan kiat menyikapi pujian, Nabi Saw. Dalam keseharian beliau juga memberikan contoh bagaimana mengemas pujian yang baik. Intinya, jangan sampai pujian yang terkadang secara spontan keluar dari bibir kita, malah menjerumuskan dan merusak kepribadian sahabat yang kita puji.

Ada beberapa teladan yang dapat disarikan dari kehidupan Nabi Saw., yaitu di antaranya :

Pertama
, Nabi Saw. tidak memuji di hadapan orang yang bersangkutan secara langsung, tapi di depan orang-orang lain dengan tujuan memotivasi mereka. Suatu hari, seorang Badui yang baru masuk Islam bertanya tentang Islam. Nabi menjawab bahwa Islam adalah shalat lima waktu, puasa, dan zakat. Maka Orang Badui itupun berjanji untuk menjalankan ketiganya dengan konsisten, tanpa menambahi atau menguranginya. Setelah Si Badui pergi, Nabi Saw. memujinya di hadapan para Sahabat, “Sungguh beruntung kalau ia benar-benar melakukan janjinya tadi.” Setelah itu beliau menambahi, “Barangsiapa yang ingin melihat penghuni surga, maka lihatlah Orang (Badui) tadi.” (HR.Al-Bukhari dan Muslim, dari Thalhah ra.)
Kedua, Nabi Saw. lebih sering melontarkan pujian dalan bentuk doa. Ketika melihat minat dan ketekunan Ibn Abbas ra. dalam mendalami tafsir Al-Qur’an, Nabi Saw. tidak serta merta memujinya. Beliau lebih memilih untuk mendoakan Ibn Abbas ra.: “Ya Allah, jadikanlah dia ahli dalam ilmu agama dan ajarilah dia ilmu tafsir (Al-Qur’an).” (HR. Al-Hakim, dari Sa’id bin Jubair) Begitu pula, di saat Nabi Saw. melihat ketekunan Abu Hurairah ra. Dalam mengumpulkan hadits dan menghafalnya, beliau lantas berdoa agar Abu Hurairah ra. dikaruniai kemampuan untuk tidak lupa apa yang pernah dihapalnya. Doa inilah yang kemudian dikabulkan oleh Allah Swt. Dan menjadikan Abu Hurairah ra. sebagai Sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadits. Pujian yang dilontarkan orang lain terhadap diri kita, merupakan salah satu tantangan berat yang dapat merusak kepribadian kita. Pujian dapat membunuh karakter seseorang, tanpa ia sadari. Oleh karena itu, ketika seorang Sahabat memuji Sahabat yang lain secara langsung, Nabi Saw. menegurnya: “Kamu telah memenggal leher temanmu.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim, dari Abu Bakar ra.) Senada dengan hadits tersebut, Ali ra. berkata dalam ungkapan hikmahnya yang sangat populer, “Kalau ada yang memuji kamu di hadapanmu, akan lebih baik bila kamu melumuri mulutnya dengan debu, daripada kamu terbuai oleh pujiannya.” Namun ketika pujian sudah menjadi fenomena umum ditengah-tengah masyarakat kita, maka yang paling penting adalah bagaimana menyikapi setiap pujian secara sehat agar tidak sampai lupa daratan dan lepas kontrol; mengapresiasi setiap pujian hanya sebagai topeng dari sisi gelap kita yang tidak diketahui orang lain; serta terus berdoa kepada Allah Swt. agar dijadikan lebih baik dari apa yang tampak di mata orang. Selain itu, yang tidak kalah pentingnya, kalaupun perlu memuji seseorang adalah bagaimana bisa mengemas pujian secara sehat.. Toh memuji tidak mesti dengan kata-kata, tapi akan lebih berarti bila diekspresikan lewat dukungan dan doa. Sehingga dengan demikian, kita tidak sampai menjerumuskan orang yang kita puji.

(Ustadz Abdullah Hakam Syah, Lc Website: http://www.pesantrenvirtual.com)

Putri Rasulullah Shalallahu’alaihi wa sallam, Fatimah

Diposting oleh Wanita Sholehah di 02.02 0 komentar
Pemimpin wanita pada masanya ini adalah putri ke-4 dari anak-anak Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam, dan ibunya adalah Ummul Mukminin Khadijah binti Khuwalid. Sesungguhnya Allah Subhanahu wa ta’ala menghendaki kelahiran Fathimah yang mendekati tahun ke-5 sebelum Muhammad diangkat menjadi Rasul, bertepatan dengan peristiwa besar yaitu ditunjuknya Rasulullah sebagai menengah ketika terjadi perselisiha antara suku Quraisy tentang siapa yang berhak meletakan kembali Hajar Aswad setelah Ka’abah diperbaharui. Dengan kecerdasan akalnya beliau mampu memecahkan persoalan yang hampir menjadikan peperangan diantara kabilah-kabilah yang ada di Makkah.
Kelahiran Fahimah disambut gembira oleh Rasulullahu ‘alaihi wassalam dengan memberikan nama Fathimah dan julukannya Az-Zahra, sedangkan kunyahnya adalah Ummu Abiha (Ibu dari bapaknya).
Ia putri yang mirip dengan ayahnya, Ia tumbuh dewasa dan ketika menginjak usia 5 tahun terjadi peristiwa besar terhadap ayahnya yaitu turunnya wahyu dan tugas berat yang diemban oleh ayahnya. Dan ia juga menyaksikan kaum kafir melancarkan gangguan kepada ayahnya sampai cobaan yang berat dengan meninggal ibunya Khadijah. Ia sangat pun sedih dengan kematian ibunya.
Pada saat kaum muslimin hijrah ke madinah, Fathima dan kakaknya, Ummu Kulsum, tetap tinggal di Makkah sampai Nabi mengutus orang untuk menjemputnya. Setelah Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam menikah dengan Aisyah binti Abu Bakar, para sahabat berusaha meminang Fathimah. Abu Bakar dan Umar maju lebih dahulu untuk meminang tapi nabi menolak dengan lemah lembut. Lalu Ali bin Abi Thalib datang kepada Rasulullah untuk melamar, lalu ketika nabi bertanya, “Apakah engkau mempunyai sesuatu ?”, “Tidak ada ya Rasulullah,” jawabku. “Dimana pakaian perangmu yang hitam, yang saya berikan kepadamu,” tanya beliau. “Masih ada padaku wahai Rasulullah,” jawabku. “Berikan itu kepadanya (Fatihmah) sebagai mahar,” kata beliau.
Lalu Ali bergegas pulang dan membawa baju besinya, lalu Nabi menyuruh menjualnya dan baju besi itu dijual kepada Utsman bin Affat seharga 470 dirham, kemudian diberikan kepada Rasulullah dan diserahkan kepada Bilal untuk membeli perlengkapan pengantin.
Kaum muslim merasa gembira atas perkawinan Fathimah dan Ali bin Abi Thalib, setelah setahun menikah lalu dikaruniai anak bernama Al- Hasan dan saat Hasan genap berusia 1 tahun lahirlah Husein pada bulan Sya’ban tahun ke 4 H. Pada tahun kelima H, ia melahirkan anak perempuan bernama Zainab dan yang terakhir benama Ummu Kultsum.
Rasullah sangat menyayangi Fathimah, setelah Rasulullah bepergian ia lebih dulu menemui Fathimah sebelum menemui istri-istrinya. Aisyah berkata , ”aku tidak melihat seseorang yang perkataannya dan pembicaraannya yang menyerupai Rasulullah selain Fathimah, jika ia datang mengunjungi Rasulullah, Rasulullah berdiri lalu menciumnya dan menyambut dengan hangat, begitu juga sebaliknya yang diperbuat Fathimah bila Rasulullah dating mengunjunginya.”.
Rasulullah mengungkapkan rasa cintanya kepada putrinya takala di atas mimbar: ”Sungguh Fathima bagian dariku. Siapa yang membuatnya marah berarti membuat aku marah”. Dan dalam riwayat lain disebutkan, ”Fathimah bagian dariku, aku merasa terganggu bila ia diganggu dan aku merasa sakit jika ia disakiti.”
Setelah Rasulullah Shallallahu alaihi wasalam menjalankan haji wada’ dan ketika ia melihat Fathima, beliau menemuinya dengan ramah sambil berkata, ”selamat dating wahai putriku”. Lalu Beliau menyuruh duduk disamping kanannya dan membisikan sesuatu, sehingga Fathimah menangis dengan tangisan yang keras, tak kala Fathimah sedih lalu Beliau membisikan sesuatu kepadanya yang menyebabkan Fathimah tersenyum.
Takala Aisyah bertanya tentang apa yang dibisikan, lalu Fathimah menjawab, ”saya tak ingin membuka rahasia”. Setelah Rasulullah wafat, Aisyah bertanya lagi kepada Fathimah tentang apa yang dibisikan Rasulullah kepadanya sehingga membuat Fathimah menangis dan tersenyum. Lalu Fathimah menjawab, ”adapun yang Beliau kepada saya pertama kali adalah beliau memberitahu bahwa sesungguhnya Jibril telah membacakan al-Qur’an dengan hapalan kepada beliau setiap tahun sekali, sekarang dia membacakannya setahun 2 kali, lalu Beliau berkata, “Sungguh saya melihat ajalku telah dekat, maka bertakwalah dan bersabarlah, sebaik baiknya Salaf (pendahulu) untukmu adalah aku.” Maka akupun menangis yang engkau lihat saat kesedihanku. Dan saat Beliau membisikan yang kedua kali, Beliau berkata, ”wahai Fathimah, apakah engkau tidak suka menjadi penghulu wanita-wanita penghuni surga dan engkau adalah orang pertama dari keluargaku yang akan menyusulku”. Kemudian saya tertawa.
Takala 6 bulan sejak wafatnya Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam, Fathimah jatuh sakit, namun ia merasa gembira karena kabar gembira yang diterima dari ayahnya. Tak lama kemudian iapun beralih ke sisi Tuhannya pada malam selasa tanggal 13 Ramadhan tahun 11 H dalam usia 27 tahun.

Sumber : Sirah Shahabiyah karya Mahmud mahdi al Istambuli & Musthafa Abu an Nashr asy Syalabi, Penerbit Maktabah Salafy Press, Tahum 2006

DUNIA ADALAH KESENANGAN YANG MENIPU

Diposting oleh Wanita Sholehah di 01.59 0 komentar
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berpesan kepada Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma, sambil memegang pundak iparnya ini:

كُنْ فِي الدُّنْيَا كَأَنَّكَ غَرِيْبٌ أَوْ عَابِرُ سَبِيْلٍ

“Jadilah engkau di dunia ini seperti orang asing atau bahkan seperti orang yang sekedar lewat (musafir).” (Hadits Riwayat Al-Bukhari no. 6416)

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

اعْلَمُوا أَنَّمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَزِينَةٌ وَتَفَاخُرٌ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرٌ فِي اْلأَمْوَالِ وَاْلأَوْلاَدِ كَمَثَلِ غَيْثٍ أَعْجَبَ الْكُفَّارَ نَبَاتُهُ ثُمَّ يَهِيْجُ فَتَرَاهُ مُصْفَرًّا ثُمَّ يَكُوْنُ حُطَامًا وَفِي اْلآخِرَةِ عَذَابٌ شَدِيْدٌ وَمَغْفِرَةٌ مِنَ اللهِ وَرِضْوَانٌ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلاَّ مَتَاعُ الْغُرُوْرِ

“Ketahuilah oleh kalian, sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan sesuatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megahan di antara kalian serta berbangga-banggaan dengan banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang karenanya tumbuh tanam-tanaman yang membuat kagum para petani, kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning lantas menjadi hancur. Dan di akhirat nanti ada adzab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” (Al- Hadid: 20)

Bacalah berulang kalam dari Rabb yang mulia di atas berikut maknanya. Setelah itu, apa yang kita pahami dari kehidupan dunia? Masihkah dunia membuai kita? Masihkah angan-angan kita melambung untuk meraih gemerlapnya? Masihkah kita tertipu dengan kesenangannya?

Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullahu dalam Tafsir-nya, “Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabarkan tentang hakikat dunia dan apa yang ada di atasnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala terangkan akhir kesudahannya dan kesudahan penduduknya. Dunia adalah permainan dan sesuatu yang melalaikan. Mempermainkan tubuh dan melalaikan hati. Bukti akan hal ini didapatkan dan terjadi pada anak-anak dunia [1]. Engkau dapati mereka menghabiskan waktu-waktu dalam umur mereka dengan sesuatu yang melalaikan hati dan melengahkan dari berdzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Adapun janji (pahala dan surga) dan ancaman (adzab dan neraka) yang ada di hadapan, engkau lihat mereka telah menjadikan agama mereka sebagai permainan dan gurauan belaka. Berbeda halnya dengan orang yang sadar dan orang-orang yang beramal untuk akhirat. Hati mereka penuh disemarakkan dengan dzikrullah, mengenali dan mencintai-Nya. Mereka sibukkan waktu-waktu mereka dengan melakukan amalan yang dapat mendekatkan diri mereka kepada Allah daripada membuangnya untuk sesuatu yang manfaatnya sedikit.”

Asy-Syaikh rahimahullahu melanjutkan, “Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan permisalan bagi dunia dengan hujan yang turun di atas bumi. Suburlah karenanya tumbuh-tumbuhan yang dimakan oleh manusia dan hewan. Hingga ketika bumi telah memakai perhiasan dan keindahannya, dan para penanamnya, yang cita- cita dan pandangan mereka hanya sebatas dunia, pun terkagum-kagum karenanya. Datanglah perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala yang akhirnya tanaman itu layu, menguning, kering dan hancur. Bumi kembali kepada keadaannya semula, seakan- akan belum pernah ada tetumbuhan yang hijau di atasnya. Demikianlah dunia. Tatkala pemiliknya bermegah-megahan dengannya, apa saja yang ia inginkan dari tuntutan dunia dapat ia peroleh. Apa saja perkara dunia yang ia tuju, ia dapatkan pintu-pintunya terbuka. Namun tiba-tiba ketetapan takdir menimpanya berupa hilangnya dunianya dari tangannya. Hilangnya kekuasaannya… Jadilah ia meninggalkan dunia dengan tangan kosong, tidak ada bekal yang dibawanya kecuali kain kafan.” (Taisir Al-Karimirir Rahman, hal. 841)

Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma berkisah, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melewati pasar sementara orang-orang ada di sekitar beliau. Beliau melintasi bangkai seekor anak kambing yang kecil dan terputus telinganya (cacat). Beliau memegang telinga bangkai tersebut seraya berkata:

أَتُحِبُّوْنَ أَنَّهُ لَكُمْ؟ قَالُوا: وَاللهِ، لَوْ كَانَ حَيًّا كَانَ عَيْبًا فِيْهِ لِأَنَّهُ أَسَكُّ فَكَيْفَ وَهُوَ مَيِّتٌ؟ فَقَالَ:
فَوَاللهِ لَلدُّنْيَا أَهْوَنُ عَلَى اللهِ مِنْ هَذَا عَلَيْكُمْ أَيُّكُمْ يُحِبُّ أَنَّ هَذَا لَهُ بِدِرْهَمٍ؟ فَقَالُوا:
مَا نُحِبُّ أَنَّهُ لَنَا بِشَيْءٍ وَمَا نَصْنَعُ بِهِ؟ قَالَ:

“Siapa di antara kalian yang suka memiliki anak kambing ini dengan membayar seharga satu dirham?” Mereka menjawab, “Kami tidak ingin memilikinya dengan harga semurah apapun. Apa yang dapat kami perbuat dengan bangkai ini?”

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian berkata, “Apakah kalian suka bangkai anak kambing ini menjadi milik kalian?” “Demi Allah, seandainya pun anak kambing ini masih hidup, tetaplah ada cacat, kecil/terputus telinganya. Apatah lagi ia telah menjadi seonggok bangkai,” jawab mereka.

Beliau pun bersabda setelahnya, “Demi Allah, sungguh dunia ini lebih rendah dan hina bagi Allah daripada hinanya bangkai ini bagi kalian.” (HR. Muslim no.7344)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun pernah bersabda:

لَوْ كَانَتِ الدُّنْيَا تَعْدِلُ عِنْدَ اللهِ جَنَاحَ بَعُوْضَةٍ مَا سَقَى كَافِرًا مِنْهَا شَرْبَةَ مَاءٍ

"Seandainya dunia punya nilai di sisi Allah walau hanya menyamai nilai sebelah sayap nyamuk, niscaya Allah tidak akan memberi minum kepada orang kafir seteguk airpun.” (HR. At-Tirmidzi no. 2320, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Ash-Shahihah no. 686)

Tatkala orang-orang yang utama, mulia lagi berakal mengetahui bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menghinakan dunia, mereka pun enggan untuk tenggelam dalam kesenangannya. Apatah lagi mereka mengetahui bahwa Nabi mereka Shallallahu ‘alaihi wa sallam hidup di dunia penuh kezuhudan dan memperingatkan para shahabatnya dari fitnah dunia. Mereka pun mengambil dunia sekedarnya dan mengeluarkannya di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala sebanyak- banyaknya. Mereka ambil sekedar yang mencukupi dan mereka tinggalkan yang melalaikan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berpesan kepada Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma, sambil memegang pundak iparnya ini:

كُنْ فِي الدُّنْيَا كَأَنَّكَ غَرِيْبٌ أَوْ عَابِرُ سَبِيْلٍ

“Jadilah engkau di dunia ini seperti orang asing atau bahkan seperti orang yang sekedar lewat (musafir).” (HR. Al-Bukhari no. 6416)

Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma pun memegang teguh wasiat Nabinya baik dalam ucapan maupun perbuatan. Dalam ucapannya beliau berkata setelah menyampaikan hadits Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas, “Bila engkau berada di sore hati maka janganlah engkau menanti datangnya pagi. Sebaliknya bila engkau berada di pagi hari, janganlah menanti sore. Gunakanlah waktu sehatmu (untuk beramal ketaatan) sebelum datang sakitmu. Dan gunakan hidupmu (untuk beramal shalih) sebelum kematian menjemputmu.” Adapun dalam perbuatan, beliau radhiyallahu ‘anhuma merupakan shahabat yang terkenal dengan kezuhudan dan sifat qana’ahnya (merasa cukup walau dengan yang sedikit) terhadap dunia. Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu pernah berkata, “Pemuda Quraisy yang paling dapat menahan dirinya dari dunia adalah Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma.” (Siyar A’lamin Nubala`, hal. 3/211)

Ibnu Baththal rahimahullahu menjelaskan berkenaan dengan hadits Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma di atas, “Dalam hadits ini terdapat isyarat untuk mengutamakan sifat zuhud dalam kehidupan dunia dan mengambil perbekalan secukupnya. Sebagaimana musafir tidak membutuhkan bekal lebih dari apa yang dapat mengantarkannya sampai ke tujuan, demikian pula seorang mukmin di dunia ini, ia tidak butuh lebih dari apa yang dapat menyampaikannya ke tempat akhirnya.” (Fathul Bari, 11/282)

Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu berkata memberikan penjelasan terhadap hadits ini, “Janganlah engkau condong kepada dunia. Jangan engkau jadikan dunia sebagai tanah air (tempat menetap), dan jangan pula pernah terbetik di jiwamu untuk hidup kekal di dalamnya. Jangan engkau terpaut kepada dunia kecuali sekadar terkaitnya seorang asing pada selain tanah airnya, di mana ia ingin segera meninggalkan negeri asing tersebut guna kembali kepada keluarganya.” (Syarhu Al-Arba’in An- Nawawiyyah fil Ahadits Ash-Shahihah An-Nabawiyyah, hal. 105)

Suatu ketika Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidur di atas selembar tikar. Ketika bangkit dari tidurnya tikar tersebut meninggalkan bekas pada tubuh beliau. Berkatalah para shahabat yang menyaksikan hal itu, “Wahai Rasulullah, seandainya boleh kami siapkan untukmu kasur yang empuk!” Beliau menjawab:

مَا لِي وَمَا لِلدُّنْيَا، مَا أَنَا فِي الدُّنْيَا إِلاَّ كَرَاكِبٍ اسْتَظَلَّ تَحْتَ شَجَرَةٍ ثُمَّ رَاحَ وَتَرَكَهَا

“Ada kecintaan apa aku dengan dunia? Aku di dunia ini tidak lain kecuali seperti seorang pengendara yang mencari teteduhan di bawah pohon, lalu beristirahat, kemudian meninggalkannya.” (HR. At-Tirmidzi no. 2377, dishahihkan Asy-Syaikh Al- Albani rahimahullahu dalam Shahih At-Tirmidzi)

Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu pernah menangis melihat kesahajaan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai beliau hanya tidur di atas selembar tikar tanpa dialasi apapun. Umar radhiyallahu ‘anhu berkata:

وَقَيْصَرَ فِيْمَا هُمَا فِيْهِ وَأَنْتَ رَسُوْلُ اللهِ. فَقَالَ: أَمَا تَرْضَى أَنْ تَكُوْنَ لَهُمُ الدُّنْيَا وَلَنَا اْلآخِرَةُ؟ فَرَأَيْتُ أَثَرَ الْحَصِيْرِ فِي جَنْبِهِ فَبَكَيْتُ. فَقَالَ: مَا يُبْكِيْكَ؟ فَقُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، إِنَّ كِسْرَى

"Aku melihat bekas tikar di lambung/rusuk beliau, maka aku pun menangis, hingga mengundang tanya beliau, “Apa yang membuatmu menangis?” Aku menjawab, “Wahai Rasulullah, sungguh Kisra (raja Persia, –pent.) dan Kaisar (raja Romawi –pent.) berada dalam kemegahannya, sementara engkau adalah utusan Allah [2].” Beliau menjawab, “Tidakkah engkau ridha mereka mendapatkan dunia sedangkan kita mendapatkan akhirat?” (HR. Al-Bukhari no. 4913 dan Muslim no. 3676)

Dalam kesempatan yang sama, Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu berkata kepada Nabinya:

وَكَانَ مُتَّكِئًا فَقَالَ: أَوَفِي شَكٍّ أَنْتَ يَا ابْنَ الْخَطَّابِ، أُولَئِكَ قَوْمٌ عُجِّلَتْ لَهُمْ طَيِّبَاتُهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا
ادْعُ اللهَ فَلْيُوَسِّعْ عَلَى أُمَّتِكَ فَإِنَّ فَارِسَ وَالرُّوْمَ وُسِّعَ عَلَيْهِمْ وَأُعْطُوا الدُّنْيَا وَهُمْ لاَ يَعْبُدُوْنَ اللهَ.

“Mohon engkau wahai Rasulullah berdoa kepada Allah agar Allah memberikan kelapangan hidup bagi umatmu. Sungguh Allah telah melapangkan (memberi kemegahan) kepada Persia dan Romawi, padahal mereka tidak beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.” Rasulullah meluruskan duduknya, kemudian berkata, “Apakah engkau dalam keraguan, wahai putra Al-Khaththab? Mereka itu adalah orang-orang yang disegerakan kesenangan (kenikmatan hidup/rezeki yang baik- baik) mereka di dalam kehidupan dunia [3]?” (HR. Al-Bukhari no. 5191 dan Muslim no. 3679)

Demikianlah nilai dunia, wahai saudariku. Dan tergambar bagimu bagaimana orang- orang yang bertakwa lagi cendikia itu mengarungi dunia mereka. Mereka enggan untuk tenggelam di dalamnya, karena dunia hanyalah tempat penyeberangan. Di ujung sana menanti negeri keabadian yang keutamaannya tiada terbandingi dengan dunia. Al-Mustaurid bin Syaddad radhiyallahu ‘anhu berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَا الدُّنْيَا فِي اْلآخِرَةِ إِلاَّ مِثْلُ مَا يَجْعَلُ أَحَدُكُمْ إِصْبَعَهُ فِي الْيَمِّ فَلْيَنْظُرْ بِمَ تَرْجِعُ

“Tidaklah dunia bila dibandingkan dengan akhirat kecuali hanya semisal salah seorang dari kalian memasukkan sebuah jarinya ke dalam lautan. Maka hendaklah ia melihat apa yang dibawa oleh jari tersebut ketika diangkat?” (HR. Muslim no. 7126)

Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu menerangkan, “Makna hadits di atas adalah pendeknya masa dunia dan fananya kelezatannya bila dibandingkan dengan kelanggengan akhirat berikut kelezatan dan kenikmatannya, tidak lain kecuali seperti air yang menempel di jari bila dibandingkan dengan air yang masih tersisa di lautan.” (Al-Minhaj, 17/190)

Lihatlah demikian kecilnya perbendaharaan dunia bila dibandingkan dengan akhirat. Maka siapa lagi yang tertipu oleh dunia selain orang yang pandir, karena dunia takkan dapat menipu orang yang cerdas dan berakal. (Bahjatun Nazhirin, 1/531)

Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

CATATAN KAKI
[1] Mereka yang tertipu oleh dunia.
[2] Dalam riwayat lain yang diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim (no. 3675) disebutkan ucapan Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu: 

فَابْتَدَرَتْ عَيْنَايَ. قَالَ: مَا يُبْكِيْكَ، يَا ابْنَ الْخَطَّابِ؟ قُلْتُ: يَا نَبِيَّ اللهِ وَمَا لِي لاَ أَبْكِي وَهَذَا الْحَصِيْرُ قَدْ أَثَّرَ فِي جَنْبِكَ وَهَذِهِ خِزَانَتُكَ لاَ أَرَى فِيْهَا إِلاَّ مَا أَرَى، وَذَاكَ قَيْصَرُ وَكِسْرَى فِي الثِّمَارِ وَاْلأَنْهَارِ وَأَنْتَ رَسُوْلُ اللهِ وَصَفْوَتُهُ وَهَذِهِ خِزَانَتُكَ
 
“Maka bercucuranlah air mataku.” Melihat hal itu beliau bertanya, “Apa yang membuatmu menangis, wahai putra Al-Khaththab?” Aku menjawab, “Wahai Nabiyullah, bagaimana aku tidak menangis, aku menyaksikan tikar ini membekas pada rusukmu. Aku melihat lemarimu tidak ada isinya kecuali sekedar yang aku lihat. Sementara Kaisar dan Kisra dalam limpahan kemewahan dengan buah-buahan dan sungai-sungai yang mengalir. Padahal engkau (jauh lebih mulia daripada mereka) adalah utusan Allah dan manusia pilihan-Nya, dalam keadaan lemarimu hanya begini.”
[3] Adapun di akhirat kelak, mereka tidak mendapatkan apa-apa. Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman:

وَيَوْمَ يُعْرَضُ الَّذِيْنَ كَفَرُوا عَلَى النَّارِ أَذْهَبْتُمْ طَيِّبَاتِكُمْ فِي حَيَاتِكُمُ الدُّنْيَا وَاسْتَمْتَعْتُمْ بِهَا فَالْيَوْمَ تُجْزَوْنَ عَذَابَ الْهُوْنِ بِمَا كُنْتُمْ تَسْتَكْبِرُوْنَ فِي اْلأَرْضِ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَبِمَا كُنْتُمْ تَفْسُقُوْنَ 

“Dan ingatlah hari ketika orang-orang kafir dihadapkan ke neraka, kepada mereka dikatakan, ‘Kalian telah menghabiskan kesenangan hidup (rezeki yang baik-baik) kalian dalam kehidupan duniawi saja dan kalian telah bersenang-senang dengannya. Maka pada hari ini kalian dibalas dengan adzab yang menghinakan karena kalian telah menyombongkan diri di muka bumi tanpa haq dan karena kalian berbuat kefasikan’.” (Al-Ahqaf: 20) Sumber: Jangan Terpikat oleh Dunia Penulis: Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah.

Rabu, 16 Maret 2011

Kulit Putih Alami dan Cerah dengan Jeruk Nipis

Diposting oleh Wanita Sholehah di 23.40 0 komentar
Setiap orang memiliki warna kulit yang berbeda. Faktor genetik biasanya yang lebih dominan mempengaruhi warna kulit seseorang. Faktor lainnya bisa juga karena iklim dan cuaca.
Kulit wajah adlah bagian yang paling terpenting menurut kaum wanita. Cara membuat wajah agar tampak putih bersih dan menarik bisa dengan perawatan ke dokter, disalon kecantikan, maupun perawatan dirumah.
Dengan jeruk nipis kulit bisa menjadi lebih putih dan segar. Jeruk nipis juga kaya akan gizi seperti zat biflanid, minyak atsirilimonen, asam sitrat, linalin asetat, dan fellandren yang dapat menyembuhkan penyakit batuk, menurunkan demam, dan membuat suara merdu.Kandungan Vitamin C dalam jeruk nipis ini membuat kulit menjadi putih halus, kencang, dan mencerahkan kulit.
Caranya:
1. Bisa dengan mengkonsumsi jeruk nipis, agar vitamin C nya bisa diserap oleh tubuh secara maksimal.
2. Mengusap potongan jeruk nipis pada wajah atau kulit yang diinginkan secara rutih setiap hari.

Hukum Menggunakan Sepatu Berhak Tinggi

Diposting oleh Wanita Sholehah di 23.35 0 komentar
Pertanyaan: Apakah wanita dibolehkan menggunakan sepatu hak tinggi ?
Jawaban: Hal itu tidak diperkenankan. Hal ini dapat menyerupai wanita kafir atau wanita nakal. Hal seperti itu (memakai sepatu hak tinggi -shalihah) berasal dari kalangan wanita Yahudi sebelum Islam datang. Ketika salah seorang dari mereka menghadiri sebuah pertemuan dimana sang kekasihnya juga hadir, maka wanita itu menggunakan sepasang sepatu yang tinggi agar dapat dilihat oleh sang kekasih, menjadi lebih tinggi. Kemudian, sepatu tinggi itu berubah menjadi sepatu hak tinggi. Lebih lanjut, jenis sepatu ini dapat mengubah cara berjalan si wanita, membuatnya jalan bergoyang ke kiri dan ke kanan (berlenggak-lenggok -shalihah), dan oleh sebab itu, (wanita -shalihah) nakal dan lemah iman akan memilih tipe sepatu ini. Oleh karena itu, wanita yang menjalankan syari’at tidak seharusnya memakai sepatu berhak tinggi, terutama hal itu membuatnya berulang kali terjatuh!!

Sumber: www.troid.org, alih bahasa oleh Tim Shalihah

================================================ 

Teruntuk Saudariku


Setelah membaca fatwa di atas, wahai ukhtiy Shalihah, apa yang engkau pikirkan saat membaca kalimat “… membuatnya jalan bergoyang ke kiri dan ke kanan…” Terbayangkah bagaimana cara berjalan mereka yang menggunakan sepatu hak tinggi ini? Mereka berjalan berlenggak-lenggok. Cara berjalan seperti itu tentunya akan menarik perhatian orang lain terutama para lelaki.

Ingatkah ukhtiy sebuah hadits yang berkaitan tentang cara berjalan melenggak-lenggok ini? Ingatkah ukhtiy hadits di bawah ini?
صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُونَ بِهَا النَّاسَ وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مُمِيلاَتٌ مَائِلاَتٌ رُءُوسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ لاَ يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَلاَ يَجِدْنَ رِيحَهَا وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ كَذَا وَكَذَا
“Ada dua golongan dari penduduk neraka yang belum pernah aku lihat: Suatu kaum yang memiliki cambuk seperti ekor sapi untuk memukul manusia dan para wanita yang berpakaian tapi telanjang, berlenggak-lenggok, kepala mereka seperti punuk unta yang miring. Wanita seperti itu tidak akan masuk surga dan tidak akan mencium baunya, walaupun baunya tercium selama perjalanan sekian dan sekian.” [HR. Muslim no. 2128 dari Abu Hurairah radhiyallahu'anhu]
para wanita yang berpakaian tapi telanjang, berlenggak-lenggok, kepala mereka seperti punuk unta yang miring
Bukankah hadits ini menjadi penguat dalil bagi kita untuk meninggalkan pemakaian sepatu berhak tinggi?
Semoga kita tidak termasuk dua golongan dari penduduk neraka yang telah disebutkan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam.

www.shalihah.com

12 TANDA MATI YANG HUSNUL KHOTIMAH

Diposting oleh Wanita Sholehah di 23.26 0 komentar
Meninggalkan dunia yang fana ini dalam keadaan husnul khatimah merupakan dambaan setiap insan yang beriman, karena hal itu sebagai bisyarah, kabar gembira dengan kebaikan untuknya. Al-Imam Al-Albani rahimahullahu menyebutkan beberapa tanda husnul khatimah dalam kitabnya yang sangat bernilai Ahkamul Jana`iz wa Bida’uha.

Berikut ini kami nukilkan secara ringkas untuk pembaca yang mulia, disertai harapan dan doa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar kita termasuk orang-orang yang mendapatkan husnul khatimah dengan keutamaan dan kemurahan dari-Nya. Amin!

Pertama: Mengucapkan syahadat ketika hendak meninggal, dengan dalil hadits Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu, ia menyampaikan dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
مَنْ كَانَ آخِرُ كَلاَمِهِ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ دَخَلَ الْجَنَّةَ
“Siapa yang akhir ucapannya adalah kalimat ‘La ilaaha illallah’ ia akan masuk surga.” (HR. Al-Hakim dan selainnya dengan sanad yang hasan1)

Kedua: Meninggal dengan keringat di dahi.
Buraidah ibnul Hushaib radhiyallahu ‘anhu ketika berada di Khurasan menjenguk saudaranya yang sedang sakit. Didapatkannya saudaranya ini menjelang ajalnya dalam keadaan berkeringat di dahinya. Ia pun berkata, “Allahu Akbar! Aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَوْتُ الْمُؤْمِنِ بِعَرَقِ الْجَبِيْنِ
“Meninggalnya seorang mukmin dengan keringat di dahi.” (HR. Ahmad, An-Nasa`i, dll. Sanad An-Nasa`i shahih di atas syarat Al-Bukhari)

Ketiga: Meninggal pada malam atau siang hari Jum’at, dengan dalil hadits Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhuma, beliau menyebutkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَمُوْتُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ أَوْ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ إِلاَّ وَقَاهُ اللهُ فِتْنَةَ الْقَبْرِ
“Tidak ada seorang muslimpun yang meninggal pada hari Jum’at atau malam Jum’at, kecuali Allah akan menjaganya dari fitnah kubur.” (HR. Ahmad, At-Tirmidzi. Hadits ini memiliki syahid dari hadits Anas, Jabir bin Abdillah g dan selain keduanya, maka hadits ini dengan seluruh jalannya hasan atau shahih)

Keempat: Syahid di medan perang. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَلاَ تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ قُتِلُوا فِي سَبِيلِ اللهِ أَمْوَاتًا بَلْ أَحْيَاءٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُونَ. فَرِحِينَ بِمَا آتَاهُمُ اللهُ مِنْ فَضْلِهِ وَيَسْتَبْشِرُونَ بِالَّذِينَ لَمْ يَلْحَقُوا بِهِمْ مِنْ خَلْفِهِمْ أَلاَّ خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَ هُمْ يَحْزَنُونَ. يَسْتَبْشِرُونَ بِنِعْمَةٍ مِنَ اللهِ وَفَضْلٍ وَأَنَّ اللهَ لاَ يُضِيعُ أَجْرَ الْمُؤْمِنِينَ
“Dan janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati bahkan mereka hidup di sisi Rabb mereka dengan mendapatkan rizki. Mereka dalam keadaan gembira disebabkan karunia Allah yang diberikan-Nya kepada mereka dan mereka beriang hati terhadap orang-orang yang masih tinggal di belakang mereka (yang masih berjihad di jalan Allah) yang belum menyusul mereka. Ketahuilah tidak ada kekhawatiran atas mereka dan tidak pula mereka bersedih hati. Mereka bergembira dengan nikmat dan karunia yang besar dari Allah dan Allah tidak akan menyia-nyiakan pahala orang-orang yang beriman.” (Ali Imran: 169-171)

Dalam hal ini ada beberapa hadits:
1. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لِلشَّهِيْدِ عِنْدَ اللهِ سِتُّ خِصَالٍ: يُغْفَرُ لَهُ فِي أَوَّلِ دَفْعَةٍ مِنْ دَمِهِ، وَيُرَى مَقْعَدُهُ مِنَ الْجَنَّةِ، وَيُجَارُ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ، وَيَأْمَنُ الْفَزَعَ الْأَكْبَرَ، وَيُحَلَّى حِلْيَةَ الْإِيْمَانِ، وَيُزَوَّجُ مِنَ الْحُوْرِ الْعِيْنِ، وَيُشَفَّعُ فِي سَبْعِيْنَ إِنْسَانًا مِنْ أَقَارِبِهِ
“Bagi orang syahid di sisi Allah ia beroleh enam perkara, yaitu diampuni dosanya pada awal mengalirnya darahnya, diperlihatkan tempat duduknya di surga, dilindungi dari adzab kubur, aman dari kengerian yang besar (hari kiamat), dipakaikan perhiasan iman, dinikahkan dengan hurun ‘in (bidadari surga), dan diperkenankan memberi syafaat kepada tujuh puluh orang dari kalangan kerabatnya.” (HR. At-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad dengan sanad yang shahih)

2. Salah seorang sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan: Ada orang yang bertanya, “Wahai Rasulullah, kenapa kaum mukminin mendapatkan fitnah (ditanya) dalam kubur mereka kecuali orang yang mati syahid?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:
كَفَى بِبَارَقَةِ السُّيُوْفِ عَلَى رَأْسِهِ فِتْنَةً
“Cukuplah kilatan pedang di atas kepalanya sebagai fitnah (ujian).” (HR. An-Nasa`i dengan sanad yang shahih)

Kelima: Meninggal di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu menyampaikan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
مَا تَعُدُّوْنَ الشَّهِيْدَ فِيْكُمْ؟ قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ، مَنْ قُتِلَ فِي سَبِيْلِ اللهِ فَهُوَ شَهِيْدٌ. قَالَ: إِنَّ شُهَدَاءَ أُمَّتِي إِذًا لَقَلِيْلٌ. قَالُوْا: فَمَنْ هُمْ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: مَنْ قُتِلَ فِي سَبِيْلِ اللهِ فَهُوَ شَهِيْدٌ, وَمَنْ مَاتَ فِي سَبِيْلِ اللهِ فَهُوَ شَهِيْدٌ، وَمَنْ مَاتَ فيِ الطَّاعُوْنَ فَهُوَ شَهِيْدٌ، وَمَنْ مَاتَ فِي الْبَطْنِ فَهُوَ شَهِيْدٌ، وَالْغَرِيْقُ شَهِيْدٌ
“Siapa yang terhitung syahid menurut anggapan kalian?” Mereka menjawab, “Wahai Rasulullah, siapa yang terbunuh di jalan Allah maka ia syahid.” Beliau menanggapi, “Kalau begitu, syuhada dari kalangan umatku hanya sedikit.” “Bila demikian, siapakah mereka yang dikatakan mati syahid, wahai Rasulullah?” tanya para sahabat. Beliau menjawab, “Siapa yang terbunuh di jalan Allah maka ia syahid, siapa yang meninggal di jalan Allah maka ia syahid, siapa yang meninggal karena penyakit tha’un2 maka ia syahid, siapa yang meninggal karena penyakit perut maka ia syahid, dan siapa yang tenggelam ia syahid.” (HR. Muslim)

Keenam: Meninggal karena penyakit tha’un. Selain disebutkan dalam hadits di atas juga ada hadits dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الطَّاعُوْنُ شَهَادَةٌ لِكُلِّ مُسْلِمٍ
“Tha’un adalah syahadah bagi setiap muslim.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Aisyah radhiyallahu ‘anha pernah bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang tha’un, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan kepadanya:
إِنَّهُ كَانَ عَذَابًا يَبْعَثُهُ اللهُ عَلىَ مَنْ يَشَاءُ، فَجَعَلَهُ اللهُ رَحْمَةً لِلْمُؤْمِنِيْنَ، فَلَيْسَ مِنْ عَبْدٍ يَقَعُ الطَّاعُوْنُ فَيَمْكُثُ فِي بَلَدِهِ صَابِرًا يَعْلَمُ أَنَّهُ لَنْ يُصِيبَهُ إِلاَّ مَا كَتَبَ اللهُ لَهُ، إِلاَّ كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ الشَّهِيدِ
“Tha’un itu adalah adzab yang Allah kirimkan kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Maka Allah jadikan tha’un itu sebagai rahmat bagi kaum mukminin. Siapa di antara hamba (muslim) yang terjadi wabah tha’un di tempatnya berada lalu ia tetap tinggal di negerinya tersebut dalam keadaan bersabar, dalam keadaan ia mengetahui tidak ada sesuatu yang menimpanya melainkan karena Allah telah menetapkan baginya, maka orang seperti ini tidak ada yang patut diterimanya kecuali mendapatkan semisal pahala syahid.” (HR. Al-Bukhari)

Ketujuh: Meninggal karena penyakit perut, karena tenggelam, dan tertimpa reruntuhan, berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
الشُّهَدَاءُ خَمْسَةٌ: الْمَطْعُوْنُ وَالْمَبْطُوْنُ وَالْغَرِقُ وَصاَحِبُ الْهَدْمِ وَالشَّهِيْدُ فِي سَبِيْلِ اللهِ
“Syuhada itu ada lima, yaitu orang yang meninggal karena penyakit tha’un, orang yang meninggal karena penyakit perut, orang yang mati tenggelam, orang yang meninggal karena tertimpa reruntuhan, dan orang yang gugur di jalan Allah.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)

Kedelapan: meninggalnya seorang ibu dengan anak yang masih dalam kandungannya, berdasarkan hadits Ubadah ibnush Shamit radhiyallahu ‘anhu. Ia mengabarkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan beberapa syuhada dari umatnya di antaranya:
الْمَرْأَةُ يَقْتُلُهَا وَلَدُهَا جَمْعَاءَ شَهَادَةٌ، يَجُرُّهَا وَلَدُهَا بِسَرَرِهِ إِلَى الْجَنَّةِ
“Wanita yang meninggal karena anaknya yang masih dalam kandungannya adalah mati syahid, anaknya akan menariknya dengan tali pusarnya ke surga.” (HR. Ahmad, Ad-Darimi, dan Ath-Thayalisi dan sanadnya shahih)

Kesembilan: Meninggal dalam keadaan berjaga-jaga (ribath) fi sabilillah.
Salman Al-Farisi radhiyallahu ‘anhu menyebutkan hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
رِبَاطُ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ خَيْرٌ مِنْ صِيَامِ شَهْرٍ وَقِيَامِهِ، وَإِنْ مَاتَ جَرَى عَلَيْهِ عَمَلُهُ الَّذِي كَانَ يَعْمَلُهُ، وَأًُجْرِيَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ وَأَمِنَ الْفَتّاَنَ
“Berjaga-jaga (di jalan Allah) sehari dan semalam lebih baik daripada puasa sebulan dan shalat sebulan. Bila ia meninggal, amalnya yang biasa ia lakukan ketika masih hidup terus dianggap berlangsung dan diberikan rizkinya serta aman dari fitnah (pertanyaan kubur).” (HR. Muslim)

Kesepuluh: Meninggal dalam keadaan beramal shalih.
Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu menyampaikan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
مَنْ قَالَ: لاَ إِلهَ إِلاَّ الله ابْتِغَاءَ وَجْهِ اللهِ خُتِمَ لَهُ بِهَا دَخَلَ الْجَنَّةَ. وَمَنْ صَامَ يَوْمًا ابْتِغَاءَ وَجْهِ اللهِ خُتِمَ لَهُ بِهَا دَخَلَ الْجَنَّةَ. وَمَنْ تَصَدَّقَ بِصَدَقَةٍ ابْتِغَاءَ وَجْهِ اللهِ خُتِمَ لَهُ بِهَا دَخَلَ الْجَنَّةَ
“Siapa yang mengucapkan La ilaaha illallah karena mengharapkan wajah Allah yang ia menutup hidupnya dengan amal tersebut maka ia masuk surga. Siapa yang berpuasa sehari karena mengharapkan wajah Allah yang ia menutup hidupnya dengan amal tersebut maka ia masuk surga. Siapa yang bersedekah dengan satu sedekah karena mengharapkan wajah Allah yang ia menutup hidupnya dengan amal tersebut maka ia masuk surga.” (HR. Ahmad, sanadnya shahih)

Kesebelas: Meninggal karena mempertahankan hartanya yang ingin dirampas orang lain. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ قُتِلَ دُوْنَ مَالِهِ فَهُوَ شَهِيْدٌ
“Siapa yang terbunuh karena mempertahankan hartanya maka ia syahid.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhuma)

Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata: Datang seseorang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia berkata, “Wahai Rasulullah, apa pendapatmu bila datang seseorang ingin mengambil hartaku?” Beliau menjawab, “Jangan engkau berikan hartamu.” Ia bertanya lagi, “Apa pendapatmu jika orang itu menyerangku?” “Engkau melawannya,” jawab beliau. “Apa pendapatmu bila ia berhasil membunuhku?” tanya orang itu lagi. Beliau menjawab, “Kalau begitu engkau syahid.” “Apa pendapatmu jika aku yang membunuhnya?” tanya orang tersebut. “Ia di neraka,” jawab beliau. (HR. Muslim)

Keduabelas: Meninggal karena membela agama dan mempertahankan jiwa/membela diri.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
مَنْ قُتِلَ دُوْنَ مَالِهِ فَهُوَ شَهِيْدٌ، وَمَنْ قُتِلَ دُوْنَ أَهْلِهِ فَهُوَ شَهِيْدٌ، وَمَنْ قُتِلَ دُوْنَ دِيْنِهِ فَهُوَ شَهِيْدٌ، وَمَنْ قُتِلَ دُوْنَ دَمِهِ فَهُوَ شَهِيْدٌ
“Siapa yang meninggal karena mempertahankan hartanya maka ia syahid, siapa yang meninggal karena membela keluarganya maka ia syahid, siapa yang meninggal karena membela agamanya maka ia syahid, dan siapa yang meninggal karena mempertahankan darahnya maka ia syahid.” (HR. Abu Dawud, An-Nasa`i, dan At Tirmidzi dari Sa’id bin Zaid radhiyallahu ‘anhu dan sanadnya shahih)

Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

1 Penghukuman hadits ini dari Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam kitab yang sama.
2 Satu pendapat menyebutkan bahwa tha’un adalah luka-luka semacam bisul bernanah yang biasa muncul di siku, ketiak, tangan, jari-jari dan seluruh tubuh, disertai dengan bengkak serta sakit yang sangat. Luka-luka itu keluar disertai rasa panas dan menghitam daerah sekitarnya, atau menghijau ataupun memerah dengan merah lembayung (ungu) yang suram. Penyakit ini membuat jantung berdebar-debar dan memicu muntah. (Lihat Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim, 14/425)

Penjelasan lain tentang tha’un bisa dilihat dalam Fathul Bari, 10/222,223) -pent.
Dikutip dari http://www.asysyariah.com, Penulis : Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah, Judul: Tanda Husnul Khatimah