Sabtu, 16 April 2011

Awas! Uang Haram Dari Klik Iklan Dalam Situs

Ada sebagian situs yang menyewakan sebagian halaman situsnya itu mengiklankan situs lain. Apakah ada persyaratan kejelasan tentang status sewa, misalnya: satu tahun, ataukah diperbolehkan jika tanpa kejelasan batas akhir masa sewa? Bolehkah jika uang sewanya berubah-ubah mengikuti jumlah pengunjung yang meng-klik iklan tersebut, semisal satu real untuk setiap setiap klik-nya?

Di antara syarat sah transaksi ijarah (sewa) adalah adanya kejelasan masa sewa dan kejelasan besaran uang sewa.
Ibnu Qudamah Al-Hambali mengatakan, “Tidak ada perbedaan pendapat di antara para ulama mengenai bolehnya menyewakan tanah atau bangunan. Ibnul Mundzir mengatakan, "Semua ulama, yang kami ketahui, bersepakat bahwa menyewakan rumah atau hewan tunggangan itu hukumnya boleh, namun sewa itu tidaklah diperbolehkan melainkan dalam jangka waktu penyewaan yang jelas." (Al-Mughni, 5:260)

Ibnu Qudamah juga mengatakan, “Dalam sewa-menyewa, jangka waktunya haruslah jelas, semisal satu bulan atau satu tahun. Kami tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat di antara para ulama mengenai hal ini.” (Al-Mughni, 5:251)

Dalam transaksi sewa diperbolehkan adanya kesepakatan bahwa biaya sewa per hari atau per bulan adalah sekian, tanpa adanya penetapan batas akhir masa sewa. Dalam Al-Mughni, Ibnu Qudamah menguraikan, “Siapa saja yang menyewa kuda selama masa peperangan, dengan ketentuan bahwa biaya sewa per hari adalah sebesar satu dirham, transaksi sewanya itu sah, menurut perkataan tegas dari Imam Ahmad dalam fatwanya. Alasannya, karena Ali pernah mempekerjakan dirinya untuk menimba air per hari dengan upah buah-buahan. Demikian pula, ada salah seorang sahabat (dari kalangan) Anshar yang melakukan hal semisal itu, dan Nabi tidak melarangnya.”

Berdasarkan uraian di atas, Anda bisa menentukan batas akhir masa sewa dengan situs tersebut, (yaitu) sebulan atau setahun penuh. Jika tidak, Anda bisa membuat kesepakat mengenai uang sewa per hari, misalnya, meski tanpa ada pembatasan masa akhir sewa.

Terkait dengan besaran uang sewa yang ditentukan berdasarkan banyaknya orang yang meng-klik iklan, insya Allah, hal tersebut diperbolehkan. Dengan syarat, adanya kesepakatan mengenai uang yang didapatkan per-"satu klik" iklan dan tidak adanya kecurangan, semisal menggunakan program tertentu untuk menambah jumlah pengunjung atau menyewa individu tertentu untuk meng-klik iklan.

Transaksi di atas serupa dengan riwayat dari sebagian sahabat yang bekerja menimba air, dengan ketentuan bahwa satu ember air berupah satu butir kurma.

فعن كعب بن عجرة قال : سقيت يهودي كل دلو بتمرة ، فجمعتُ تمراً فأتيت به النبي صلى الله عليه وسلم ... .

Dari Ka’ab bin ‘Ujrah, “Aku menimba air untuk orang Yahudi, dengan ketentuan upah: setiap ember air berupah satu butir kurma. Aku pun bisa mengumpulkan kurma dalam jumlah yang cukup banyak, lalu kubawa kurma-kurma tersebut ke hadapan Nabi ...." (Al-Haitsami mengatakan, “Hadits riwayat Ath-Thabrani dalam Mu’jam Ausath, dan sanadnya jayyid."; dinilai hasan oleh Al-Albani dalam Shahih Targhib wa Tarhib, no. 3271)

Berkaitan dengan tidak diketahuinya jumlah pengunjung ketika transaksi sewa diadakan, hal itu tidaklah mempengaruhi keabsahan transaksi, karena pada akhirnya, jumlah pengunjung juga akhirnya diketahui.

Kesimpulannya, jika Anda menyewakan halaman situs Anda untuk situs-situs yang isinya mubah, dengan uang sewa yang jelas setiap bulan atau setiap tahunnya, maka hukum persewaan halaman situs tersebut adalah mubah.

Andai kata transaksi sewa itu bergantung pada jumlah pengunjung yang meng-klik iklan di situs Anda maka hal ini hukumnya juga boleh, dengan dua syarat:
1. Adanya nominal yang jelas yang Anda dapatkan untuk setiap klik-nya.
2. Syarat kedua yang tidak kalah penting adalah: Anda tidak melakukan kecurangan, (misalnya) dengan memanfaatkan program tertentu yang bisa menyebabkan banyaknya jumlah kunjungan ke situs Anda, atau dengan menyewa situs lain atau individu lain untuk meng-klik iklan yang ada di situs Anda. Ini semua dilakukan dalam rangka meningkatkan pendapatan Anda dari situs yang beriklan di situs Anda tersebut.

Jika Anda melanggar persyaratan kedua maka Anda berdosa dan uang yang Anda dapatkan dari situs yang beriklan di situs Anda adalah uang yang haram. Anda berkewajiban untuk memulangkan uang tersebut kepada pihak pemilik situs yang beriklan di situs Anda.

(Kabarislam.com)
Diterjemahkan dengan beberapa peringkasan dari http://islamqa.com/ar/ref/98527
Ust. Aris Munandar, S.S., M.A.

Disangka Wanita Muslim, Biarawati Diusir dari Pesawat

Inilah akibatnya jika sikap kebencian dan paranoid terhadap Muslim. Seorang biarawati Katolik diusir dari pesawat karena disangka seoerang Muslimah yang menggunakan jilbab. Adalah Suster Cora-Ann, biarawati Katolik dari Biara Our Lady of Grace di Dayton, Ohio mendapat kejutan dalam hidupnya, ketika ia diminta untuk meninggalkan pesawat yang barusaja dia tumpangi di Bandara Internasional Omaha."Aku baru saja duduk di kursiku dan mulai berterima kasih pada Tuhan dan tengah membaca doa dalam bahasa Latin,"  dia ingat, ketika salah seorang penumpang yang duduk di sampingnya memanggil seorang pramugari. Penumpang itu bernama Elizabeth Bennet, dan kemudian mengatakan, "Bukannya kami berprasangka buruk, tapi dia memang tampak mencurigakan. Dia berpakaian dalam jubah Muslim dan tepat sebelum pesawat lepas landas, dia mulai menggumamkan sesuatu dalam bahasa yang terdengar seperti bahasa Arab atau bahasa Taliban. Apa yang harus aku lakukan?"

Damien Thorn adalah penumpang yang diduk dikursi berdampingan mengatakan; "Saya tahu ada sesuatu menyeramkan mengenainya, saat dia masuk ke pesawat, dia memakai pakaian burqa sebagaimana Anda melihat wanita Iran, dia hanya hanya membawa sebuat tas kecil.” Pramugari akhirnya menanggapi panggilan dan menanyakan pada Suster Cora namanya, boarding pass, foto identitasnya. Blanche Dubois seorang penumpang lain yang tengah duduk di dekat Suster Cora-Ann ikut menjelaskan, "Setelah aku mendengar namanya terdengar seperti al-Qur'an, aku menjadi merasa khawatir. Itu bukan berarti ada yang salah denganku kan? Aku hanya tidak mau mati. Aku sangat takut sehingga langsung meneriakkan namanya ke semua penumpang." Baggins, seorang sering bepergian, mengatakan, dia pernah mendengar bahwa kaum Muslim tidak makan daging. "Aku tidak mengira bahwa dia adalah Muslim dan untuk membantunya, aku menyodorkan beberapa dendeng milikku dan meminta wanita itu memakannya untuk membuktikan bahwa dia bukan Muslim."


Namun Suster Cora-Ann menolak dengan sopan dendeng tersebut dan mengingatkan penumpang lain bahwa itu adalah pra-paskah, di mana umat Katolik sering berpantang makan daging. Kerusuhan di pesawat terus berkembang, karena sebagian besar penumpang sekarang yakin bahwa Suster Cora-Ann adalah seorang Muslim mereka akhirnya menuntut Suster Cora-Ann segera meninggalkan pesawat.
"Saya tidak ingin menimbulkan penderitaan terhadap sesama manusia apapun, jadi aku meninggalkan pesawat," katanya. "Kami sangat senang bisa melanjutkan perjalanan," ujar Baggins. "Setelah dia turun dari pesawat, beban besar rasanya seperti terangkat dari pundak kami," tambahnya.
Rupanya, di dalam pesawat memang ada seorang penumpang Muslim dengan nama Abdullah Abdullah, yang duduk di deret belakang no 23. "Tentu saja aku tahu bahwa dia adalah seorang suster Katolik dan bukan Muslim, karena aku pernah pergi ke sekolah Katolik dan guru kesayangan saya adalah beberapa biarawati Katolik."


Abdullah melanjutkan, "Tapi jujur, jika kau seorang Muslim di dalam pesawat dan seseorang diminta untuk turun, hal terbaik yang dapat dilakukan adalah tetap diam dan nikmati pertunjukan!". Nah, beginilah akibatnya jika sikap kebencian terhadap kaum Muslim berlebih-lebihan.*
Foto ilustrasi: pakaian biarawati yang mirip baju muslimah

Pribadi Wanita Muslimah Sebagaimana Yang Dikehendaki Islam

Kita sangat perlu untuk membahas materi ini karena beberapa alasan. Diantara alasan tersebut adalah apa yang kita saksikan dalam kehidupan sebagian wanita muslimah di zaman ini. Kehidupan dengan segala bentuk ‘keanehannya’. Dalam beberapa hal begitu serius, tapi dalam hal-hal yang lain sangat kurang dan jauh dari nilai-nilai agama.

Sebagai contoh, kita bisa menyaksikan seorang wanita muslimah yang shalehah, melaksanakan syiar-syiar Islam. Namun, tidak menghiraukan kesehatan dan kebersihan mulut dan dirinya. Tidak peduli dengan kesehatan dan aroma yang keluar dari mulut atau tubuhnya. Atau sebaliknya, begitu besar perhatiannya terhadap kesehatan dan kebersihan dirinya tapi melalaikan ibadah dan pelaksanaan syiar-syiar Islam. Contoh lain, kita dapati ada seorang muslimah mencurahkan perhatiannya pada ibadah tapi tidak memiliki pandangan yang benar tentang Islam yang menyeluruh, ‘bagaimana Islam menyikapi alam, kehidupan dan manusia.’

Ada yang semangat belajar Islamnya baik. Antusias menghadiri majelis-majelis ilmu, tapi tidak menjaga lisannya dari ghibah (menggunjing) dan namimah (mengadu domba). Ada yang hubungan pribadinya dengan Alloh Subhanahu wa Ta’ala baik, tapi tidak menjaga hubungan baik dengan tetangga dan teman-temannya.
Ada Yang hubungannya dengan teman-teman dan tetangganya baik tapi tidak melaksanakan dengan baik hak-hak orang tua. Kurang-kalau tidak dikatakan sama sekali tidak-mereka dalam berbakti kepada kedua orang tuanya.Ada yang berbakti kepada kedua orang tuanya tetapi tidak memenuhi hak-hak suaminya. Tampil dengan dandanan indah saat menghadiri pertemuan-pertemuan dengan para wanita tetapi tidak pernah memperbaiki penampilannya di depan suaminya.

Ada yang berbakti kepada suaminya tetapi tidak membantu suaminya untuk berbakti kepada kedua orang tuanya. Atau tidak mendukung suaminya untuk berbuat kebajikan, bertakwa dan beramal shaleh.Ada yang berbakti kepada suaminya tapi kurang memperhatikan pembinaan dan pembentukan kepribadian anak-anaknya. Kurang memperatikan perkembangan kejiwaaan dan akal mereka. Kurang memperhatikan lingkungan sekitarnya yang memberikan pengaruh kepada putra-puterinya.Ada yang memperhatikan itu semua terapi kurang silaturahimnya kepada saudara-saudaranya.

Ada yang silaturahim terhadap keluarganya baik, tapi hubungannya dengan lingkungan sekitarnya tidak baik. Sibuk dengan urusan pribadinya. Tidak peduli dengan persoalan kaum muslimin dan muslimat.Ada yang memperhatikan persoalan pribadi dan umat islam tetapi kurang memperhatikan pengembangan pengetahuannya. Tidak menambah pengetahuannya dengan belajar dan terus membaca.Ada yang sibuk dengan belajar tetapi mengabaikan urusan rumah tangga, putera puterinya dan suaminya.Kalau kita merasa heran dari ini semua, keheranan kita akan bertambah ketika kita mengetahui bahwa itu semua muncul dari para wanita muslimah yang memiliki tingkat kesadaran yang cukup baik terhadap agama ini. Dari para wanita muslimah yang tumbuh dalam lingkungan Islam dan memiliki bekal pengetahuan agama yang tidak sedikit! Ini kadang-kadang dikarenakan tidak peduli atau tidak memiki pandangan yang utuh yang telah diajarkan Islam. Pandangan yang menyeluruh tentang manusia, kehidupan, dan alam sekelilingnya. Pandangan yang mendorong seseorang untuk melihat segala sesuatu dengan seimbang. Tidak memprioritaskan satu aspek dengan mengorbankan aspek lain.

Orang yang memperhatikan dengan cermat ayat-ayat Qur’an dan hadits-hadits akan mendapati begitu banyaknya  dalil yang menjelaskan perilaku yang seharusnya dimiliki wanita muslimah dalam hubungannya dengan Rabbnya, pembentukan pribadinya dan hubungannya dengan orang lain. Tatanan hidup yang mengatur segala sesuatu dari yang besar sampai yang kecil. Semua nash tersebut akan memberikan rambu-rambu yang mengantarkan pada kehidupan yang terarah dan seimbang. Kehidupan yang menjamin kebahagiaan, kesuksesan di dunia dan dan keberuntungan yang sangat besar di hari kemudian. Semua ini yang telah digariskan oleh Islam dalam Al-Qur’an  dan sunnah akan mengantarkan seorang wanita muslimah mendapatkan kepribadiannya yang asli. Kepribadian yang sejalan dengan fitrahnya. Sehingga melahirkan wanita muslimah yang unggul, mulia dan istimewa dalam perasaan, pemikiran, prilaku dan hubungannya.

Mencapai tingkat tersebut sangatlah  penting bagi kehidupan umat manusia secara umum karena wanita memiliki pengaruh yang sangat besar bagi kehidupan generasi mendatang, mencetak para pejuang, menanamkan nilai-nilai, menghiasi kehidupan dengan cinta, kasih sayang dan keindahan serta memenuhi rumah tangga dengan rasa aman, tenang, tentram dan damai. Wanita muslimah adalah satu-satunya wanita yang sanggup menerangi dunia wanita modern yang telah jenuh dengan filsafat materialisme dan pola hidup jahiliyah yang mendominasi kehidupan masa kini. Hal itu dengan mengenalkan dirinya, menghadapkan dirinya pada sumber permikiran yang murni untuk kemudian menata kembali kepribadiannya yang asli yaitu kepribadian yang telah dibentuk oleh Al-Qur’an dan As Sunnah.

Mudah-mudahan Allah Subhaanahu Wata’aala memberikan taufiq pada kita semua untuk istiqamah dalam agama yang telah dibawa Rasul-Nya shallallaahu ‘alaihi wa sallam.

(Sumber Rujukan: Jati Diri Wanita Muslimah oleh Syaikh Ali Al-Hasyimi)

Rabu, 13 April 2011

Prancis Larang Cadar

Sejak Senin (11/4), Prancis resmi memberlakukan larangan memakai cadar bagi warganya saat berada di tempat umum. Penerapan UU ini menuai protes kaum muslim Eropa, salah satunya di London, Inggris.
Dengan larangan itu, wanita yang memakai cadar di tempat umum bisa dipanggil ke kantor polisi dan diminta untuk melepas penutup wajahnya atau membayar denda. Kenza Drider adalah wanita pertama yang diamankan polisi Prancis. Pascal Le Segretain/Getty Images.
Kenza Drider diamankan polisi saat memprotes pemberlakuan undang-undang baru ini di depan Gereja Notre Dame, Senin (11/4). Pascal Le Segretain/Getty Images.
Larangan memakai cadar ini juga menuai protes dari muslimah London, Inggris. Peter Macdiarmid/Getty Images.
Mereka berunjuk rasa di depan Kedutaan Prancis di London. Peter Macdiarmid/Getty Images.
Dalam aksinya mereka mengecam presiden Prancis. Mereka juga membentangkan poster, salah satunya bertuliskan "Nicolas Sarkozy go to hellfire". Peter Macdiarmid/Getty Images
Anger: Muslim women in full burka demonstrate against the new law outside the French Embassy in London
Hate preacher: Abu Izzadeen, who has previously been jailed for incitement, speaks during the London protest

Perjalanan Menuju Akhirat

Hari akhirat, hari setelah kematian yang wajib diyakini kebenarannya oleh setiap orang yang beriman kepada Allah ta’ala dan kebenaran agama-Nya. Hari itulah hari pembalasan semua amal perbuatan manusia, hari perhitungan yang sempurna, hari ditampakkannya semua perbuatan yang tersembunyi sewaktu di dunia, hari yang pada waktu itu orang-orang yang melampaui batas akan berkata dengan penuh penyesalan. 

يَا لَيْتَنِي قَدَّمْتُ لِحَيَاتِي

Duhai, alangkah baiknya kiranya aku dahulu mengerjakan (amal saleh) untuk hidupku ini.”
  (Qs. Al Fajr: 24)

Maka seharusnya setiap muslim yang mementingkan keselamatan dirinya benar-benar memberikan perhatian besar dalam mempersiapkan diri dan mengumpulkan bekal untuk menghadapi hari yang kekal abadi ini. Karena pada hakikatnya, hari inilah masa depan dan hari esok manusia yang sesungguhnya, yang kedatangan hari tersebut sangat cepat seiring dengan cepat berlalunya usia manusia. Allah ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Qs. Al Hasyr: 18)

Dalam menafsirkan ayat di atas Imam Qotadah berkata: “Senantiasa tuhanmu (Allah) mendekatkan (waktu terjadinya) hari kiamat, sampai-sampai Dia menjadikannya seperti besok.” (Dinukil oleh Ibnul Qayyim dalam kitab beliau Ighaatsatul Lahfan (hal. 152 – Mawaaridul Amaan). Beliau (Abu Qatadah) adalah Qotadah bin Di’aamah As Saduusi Al Bashri (wafat setelah tahun 110 H), imam besar dari kalangan tabi’in yang sangat terpercaya dan kuat dalam meriwayatkan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. (lihat kitab Taqriibut Tahdziib, hal. 409)

Semoga Allah ta’ala meridhai sahabat yang mulia Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu yang mengingatkan hal ini dalam ucapannya yang terkenal: “Hisab-lah (introspeksilah) dirimu (saat ini) sebelum kamu di-hisab (diperiksa/dihitung amal perbuatanmu pada hari kiamat), dan timbanglah dirimu (saat ini) sebelum (amal perbuatan)mu ditimbang (pada hari kiamat), karena sesungguhnya akan mudah bagimu (menghadapi) hisab besok (hari kiamat) jika kamu (selalu) mengintrospeksi dirimu saat ini, dan hiasilah dirimu (dengan amal shaleh) untuk menghadapi (hari) yang besar (ketika manusia) dihadapkan (kepada Allah ta’ala):

يَوْمَئِذٍ تُعْرَضُونَ لا تَخْفَى مِنْكُمْ خَافِيَةٌ

“Pada hari itu kamu dihadapkan (kepada Allah), tiada sesuatupun dari keadaanmu yang tersembunyi (bagi-Nya).” (Qs. Al Haaqqah: 18). (Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam kitab beliau Az Zuhd (hal. 120), dengan sanad yang hasan)

Senada dengan ucapan di atas sahabat yang mulia Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata: “Sesungguhnya dunia telah pergi meninggalkan (kita) sedangkan akhirat telah datang di hadapan (kita), dan masing-masing dari keduanya (dunia dan akhirat) memiliki pengagum, maka jadilah kamu orang yang mengagumi/mencintai akhirat dan janganlah kamu menjadi orang yang mengagumi dunia, karena sesungguhnya saat ini (waktunya) beramal dan tidak ada perhitungan, adapun besok (di akhirat) adalah (saat) perhitungan dan tidak ada (waktu lagi untuk) beramal.” (Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Az Zuhd (hal. 130) dan dinukil oleh Imam Ibnu Rajab Al Hambali dalam kitab beliau Jaami’ul ‘uluumi wal hikam (hal. 461)).

Jadilah kamu di dunia seperti orang asing…

Dunia tempat persinggahan sementara dan sebagai ladang akhirat tempat kita mengumpulkan bekal untuk menempuh perjalanan menuju negeri yang kekal abadi itu. Barangsiapa yang mengumpulkan bekal yang cukup maka dengan izin Allah dia akan sampai ke tujuan dengan selamat, dan barang siapa yang bekalnya kurang maka dikhawatirkan dia tidak akan sampai ke tujuan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kepada kita sikap yang benar dalam kehidupan di dunia dalam sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Jadilah kamu di dunia seperti orang asing atau orang yang sedang melakukan perjalanan.” (HR. Al Bukhari no. 6053)

Hadits ini merupakan bimbingan bagi orang yang beriman tentang bagaimana seharusnya dia menempatkan dirinya dalam kehidupan di dunia. Karena orang asing (perantau) atau orang yang sedang melakukan perjalanan adalah orang yang hanya tinggal sementara dan tidak terikat hatinya kepada tempat persinggahannya, serta terus merindukan untuk kembali ke kampung halamannya. Demikianlah keadaan seorang mukmin di dunia yang hatinya selalu terikat dan rindu untu kembali ke kampung halamannya yang sebenarnya, yaitu surga tempat tinggal pertama kedua orang tua kita, Adam ‘alaihis salam dan istrinya Hawa, sebelum mereka berdua diturunkan ke dunia. Dalam sebuah nasehat tertulis yang disampaikan Imam Hasan Al Bashri kepada Imam Umar bin Abdul Azizi, beliau berkata: “…Sesungguhnya dunia adalah negeri perantauan dan bukan tempat tinggal (yang sebenarnya), dan hanyalah Adam ‘alaihis salam diturunkan ke dunia ini untuk menerima hukuman (akibat perbuatan dosanya)…” (Dinukil oleh Ibnul Qayyim dalam kitab beliau Ighaatsatul Lahfaan (hal. 84 – Mawaaridul Amaan))

Dalam mengungkapkan makna ini Ibnul Qayyim berkata dalam bait syairnya:

Marilah (kita menuju) surga ‘adn (tempat menetap) karena sesungguhnya itulah
Tempat tinggal kita yang pertama, yang di dalamnya terdapat kemah (yang indah)
Akan tetapi kita (sekarang dalam) tawanan musuh (setan), maka apakah kamu melihat
Kita akan (bisa) kembali ke kampung halaman kita dengan selamat?
(Miftaahu Daaris Sa’aadah (1/9-10), juga dinukil oleh Ibnu Rajab dalam kitab beliau Jaami’ul ‘Uluumi Wal Hikam (hal. 462))

Sikap hidup ini menjadikan seorang mukmin tidak panjang angan-angan dan terlalu muluk dalam menjalani kehidupan dunia, karena “barangsiapa yang hidup di dunia seperti orang asing, maka dia tidak punya keinginan kecuali mempersiapkan bekal yang bermanfaat baginya ketika kembali ke kampung halamannya (akhirat), sehingga dia tidak berambisi dan berlomba bersama orang-orang yang mengejar dunia dalam kemewahan (dunia yang mereka cari), karena keadaanya seperti seorang perantau, sebagaimana dia tidak merasa risau dengan kemiskinan dan rendahnya kedudukannya di kalangan mereka.” (Ucapan Imam Ibnu Rajab dalam kitab beliau Jaami’ul ‘Uluumi Wal Hikam (hal. 461), dengan sedikit penyesuaian)

Makna inilah yang diisyaratkan oleh sahabat yang meriwayatkan hadits di atas, Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu ketika beliau berkata: “Jika kamu (berada) di waktu sore maka janganlah tunggu datangnya waktu pagi, dan jika kamu (berada) di waktu pagi maka janganlah tunggu datangnya waktu sore, serta gunakanlah masa sehatmu (dengan memperbanyak amal shaleh sebelum datang) masa sakitmu, dan masa hidupmu (sebelum) kematian (menjemputmu).” (Diriwayatkan oleh imam Al Bukhari dalam kitab Shahihul Bukhari, no. 6053).

Bahkan inilah makna zuhud di dunia yang sesungguhnya, sebagaimana ucapan Imam Ahmad bin Hambal ketika beliau ditanya: Apakah makna zuhud di dunia (yang sebenarnya)? Beliau berkata: “(Maknanya adalah) tidak panjang angan-angan, (yaitu) seorang yang ketika dia (berada) di waktu pagi dia berkata: Aku (khawatir) tidak akan (bisa mencapai) waktu sore lagi.” (Dinukil oleh oleh Ibnu Rajab dalam kitab beliau Jaami’ul ‘Uluumi Wal Hikam (hal. 465))

وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوى

Berbekallah, dan sungguh sebaik-baik bekal adalah takwa

Sebaik-baik bekal untuk perjalanan ke akhirat adalah takwa, yang berarti “menjadikan pelindung antara diri seorang hamba dengan siksaan dan kemurkaan Allah yang dikhawatirkan akan menimpanya, yaitu (dengan) melakukan ketaatan dan menjauhi perbuatan maksiat kepada-Nya.” (Ucapan Imam Ibnu Rajab dalam kitab Jaami’ul ‘Uluumi Wal Hikam (hal. 196))

Maka sesuai dengan keadaan seorang hamba di dunia dalam melakukan ketaatan kepada Allah dan meninggalkan perbuatan maksiat, begitu pula keadaannya di akhirat kelak. Semakin banyak dia berbuat baik di dunia semakin banyak pula kebaikan yang akan di raihnya di akhirat nanti, yang berarti semakin besar pula peluangnya untuk meraih keselamatan dalam perjalanannya menuju surga. Inilah diantara makna yang diisyaratkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabda beliau: “Setiap orang akan dibangkitkan (pada hari kiamat) sesuai dengan (keadaannya) sewaktu dia meninggal dunia.” 
(HR. Muslim, no. 2878). Artinya: Dia akan mendapatkan balasan pada hari kebangkitan kelak sesuai dengan amal baik atau buruk yang dilakukannya sewaktu di dunia. (Lihat penjelasan Al Munaawi dalam kitab beliau Faidhul Qadiir (6/457))

Landasan utama takwa adalah dua kalimat syahadat: Laa ilaaha illallah dan Muhammadur Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu, sebaik-baik bekal yang perlu dipersiapkan untuk selamat dalam perjalanan besar ini adalah memurnikan tauhid (mengesakan Allah ta’ala dalam beribadah dan menjauhi perbuatan syirik) yang merupakan inti makna syahadat Laa ilaaha illallah dan menyempurnakan al ittibaa’ (mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menjauhi perbuatan bid’ah) yang merupakan inti makna syahadat Muhammadur Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Maka dari itu, semua peristiwa besar yang akan dialami manusia pada hari kiamat nanti, Allah akan mudahkan bagi mereka dalam menghadapinya sesuai dengan pemahaman dan pengamalan mereka terhadap dua landasan utama Islam ini sewaktu di dunia. Fitnah (ujian keimanan) dalam kubur yang merupakan peristiwa besar pertama yang akan dialami manusia setelah kematiannya, mereka akan ditanya oleh dua malaikat: Munkar dan Nakir (Sebagaimana yang disebutkan dalam hadits riwayat At Tirmidzi (no. 1083) dan dinyatakan shahih oleh Syaikh Al Albani dalam Ash Shahiihah, no. 1391) dengan tiga pertanyaan: Siapa Tuhanmu?, apa agamamu? dan siapa nabimu? (Sebagaimana yang disebutkan dalam hadits shahih riwayat Ahmad (4/287-288), Abu Dawud, no. 4753 dan Al Hakim (1/37-39), dinyatakan shahih oleh Al Hakim dan disepakati oleh Adz Dzahabi.). Allah hanya menjanjikan kemudahan dan keteguhan iman ketika mengahadapi ujian besar ini bagi orang-orang yang memahami dan mengamalkan dua landasan Islam ini dengan benar, sehingga mereka akan menjawab: Tuhanku adalah Allah, agamaku adalah Islam dan Nabiku adalah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Allah ta’ala berfirman:

يُثَبِّتُ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا بِالْقَوْلِ الثَّابِتِ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الْآخِرَةِ وَيُضِلُّ اللَّهُ الظَّالِمِينَ وَيَفْعَلُ اللَّهُ مَا يَشَاءُ

“Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ‘ucapan yang teguh’ dalam kehidupan di dunia dan di akhirat, dan Allah menyesatkan orang-orang yang zalim dan memperbuat apa yang Dia kehendaki.” (Qs. Ibrahim: 27)

Makna ‘ucapan yang teguh’ dalam ayat di atas ditafsirkan sendiri oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits shahih yang diriwayatkan oleh sahabat yang mulia Al Bara’ bin ‘Aazib radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Seorang muslim ketika ditanya di dalam kubur (oleh Malaikat Munkar dan Nakir) maka dia akan bersaksi bahwa tidak ada sembahan yang benar kecuali Allah (Laa Ilaaha Illallah) dan bahwa Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah utusan Allah (Muhammadur Rasulullah), itulah (makna) firman-Nya: Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ‘ucapan yang teguh’ dalam kehidupan di dunia dan di akhirat.” (HR.Al Bukhari (no. 4422), hadits yang semakna juga diriwayatkan oleh Imam Muslim (no. 2871))

Termasuk peristiwa besar pada hari kiamat, mendatangi telaga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang penuh kemuliaan, warna airnya lebih putih daripada susu, rasanya lebih manis daripada madu, dan baunya lebih harum daripada minyak wangi misk (kesturi), barangsiapa yang meminum darinya sekali saja maka dia tidak akan kehausan selamanya (Semua ini disebutkan dalam hadits yang shahih riwayat imam Al Bukhari (no. 6208) dan Muslim (no. 2292). Semoga Allah menjadikan kita semua termasuk orang-orang yang dimudahkan minum darinya). Dalam hadits yang shahih (Riwayat Imam Al Bukhari (no. 6211) dan Muslim (no. 2304) dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu) juga disebutkan bahwa ada orang-orang yang dihalangi dan diusir dari telaga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ini. Karena mereka sewaktu di dunia berpaling dari petunjuk dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada pemahaman dan perbuatan bid’ah, sehingga di akhirat mereka dihalangi dari kemuliaan meminum air telaga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagai balasan yang sesuai dengan perbuatan mereka.

Imam Ibnu Abdil Barr berkata: “Semua orang yang melakukan perbuatan bid’ah yang tidak diridhai Allah dalam agama ini akan diusir dari telaga Rasululah shallallahu ‘alaihi wa sallam (pada hari kiamat nanti), dan yang paling parah di antara mereka adalah orang-orang (ahlul bid’ah) yang menyelisihi (pemahaman) jama’ah kaum muslimin, seperti orang-orang khawarij, Syi’ah Rafidhah dan para pengikut hawa nafsu, demikian pula orang-orang yang berbuat zhalim yang melampaui batas dalam kezhaliman dan menentang kebenaran, serta orang-orang yang melakukan dosa-dosa besar secara terang-terangan, semua mereka ini dikhawatirkan termasuk orang-orang yang disebutkan dalam hadits ini (yang diusir dari telaga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam). (Kitab Syarh Az Zarqaani ‘Ala Muwaththa-il Imaami Maalik, 1/65)

Beliau (Ibnu Abdil Barr) adalah Yusuf bin Abdullah bin Muhammad bin Abdul Barr An Namari Al Andalusi (wafat 463 H), syaikhul Islam dan imam besar ahlus Sunnah dari wilayah Magrib, penulis banyak kitab hadits dan fikih yang sangat bermanfaat. Biografi beliau dalam kitab Tadzkiratul Huffaazh (3/1128). Demikian pula termasuk peristiwa besar pada hari kiamat, melintasi ash shiraath (jembatan) yang dibentangkan di atas permukaan neraka Jahannam, di antara surga dan neraka. Dalam hadits yang shahih (Riwayat imam Al Bukhari (no. 7001) dan Muslim (no. 183) dari Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu ‘anhu) disebutkan bahwa keadaan orang yang melintasi jembatan tersebut bermacam-macam sesuai dengan amal perbuatan mereka sewaktu di dunia. “Ada yang melintasinya secepat kerdipan mata, ada yang secepat kilat, ada yang secepat angin, ada yang secepat kuda pacuan yang kencang, ada yang secepat menunggang onta, ada yang berlari, ada yang berjalan, ada yang merangkak, dan ada yang disambar dengan pengait besi kemudian dilemparkan ke dalam neraka Jahannam” – na’uudzu billahi min daalik – (Ucapan syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam kitab beliau Al Aqiidah al Waasithiyyah, hal. 20) .

Syaikh Muhammad bin Shaleh Al ‘Utsaimin ketika menjelaskan sebab perbedaan keadaan orang-orang yang melintasi jembatan tersebut, beliau berkata: “Ini semua (tentu saja) bukan dengan pilihan masing-masing orang, karena kalau dengan pilihan (sendiri) tentu semua orang ingin melintasinya dengan cepat, akan tetapi (keadaan manusia sewaktu) melintasi (jembatan tersebut) adalah sesuai dengan cepat (atau lambatnya mereka) dalam menerima (dan mengamalkan) syariat Islam di dunia ini; barangsiapa yang bersegera dalam menerima (petunjuk dan sunnah) yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka diapun akan cepat melintasi jembatan tersebut, dan (sebaliknya) barangsiapa yang lambat dalam hal ini, maka diapun akan lambat melintasinya; sebagai balasan yang setimpal, dan balasan (perbuatan manusia) adalah sesuai dengan jenis perbuatannya.” (Kitab Syarhul Aqiidatil Waasithiyyah, 2/162)

وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِينَ

Balasan akhir yang baik (yaitu Surga) bagi orang-orang yang bertakwa

Akhirnya, perjalanan manusia akan sampai pada tahapan akhir; surga yang penuh kenikmatan, atau neraka yang penuh dengan siksaan yang pedih. Di sinilah Allah ta’ala akan memberikan balasan yang sempurna bagi manusia sesuai dengan amal perbuatan mereka di dunia. Allah ta’ala berfirman:

فَأَمَّا مَنْ طَغَى وَآثَرَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا فَإِنَّ الْجَحِيمَ هِيَ الْمَأْوَى، وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَى فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَى

“Adapun orang-orang yang melampaui batas, dan lebih mengutamakan kehidupan dunia, maka sesungguhnya nerakalah tempat tinggal(nya). Adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Rabbnya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal(nya)” (Qs.  An Naazi’aat: 37-41).

Maka balasan akhir yang baik hanyalah Allah peruntukkan bagi orang-orang yang bertakwa dan membekali dirinya dengan ketaatan kepada-Nya, serta menjauhi perbuatan yang menyimpang dari agama-Nya. Allah ta’ala berfirman:

تِلْكَ الدَّارُ الْآخِرَةُ نَجْعَلُهَا لِلَّذِينَ لا يُرِيدُونَ عُلُوّاً فِي الْأَرْضِ وَلا فَسَاداً وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِينَ

“Negeri akhirat itu, Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan (maksiat) di (muka) bumi, dan kesudahan (yang baik) itu (surga) adalah bagi orang-orang yang bertakwa.” (Qs. Al Qashash: 83)

Syaikh Abdurrahman As Sa’di berkata: “…Jika mereka (orang-orang yang disebutkan dalam ayat ini) tidak mempunyai keinginan untuk menyombongkan diri dan berbuat kerusakan (maksiat) di (muka) bumi, maka konsekwensinya (berarti) keinginan mereka (hanya) tertuju kepada Allah, tujuan mereka (hanya mempersiapkan bekal untuk) negeri akhirat, dan keadan mereka (sewaktu di dunia): selalu merendahkan diri kepada hamba-hamba Allah, serta selalu berpegang kepada kebenaran dan mengerjakan amal shaleh, mereka itulah orang-orang bertakwa yang akan mendapatkan balasan akhir yang baik (surga dari Allah ta’ala).” (Taisiirul Kariimir Rahmaan fi Tafsiiri Kalaamil Mannaan, hal. 453)

Penutup

Setelah kita merenungi tahapan-tahapan perjalanan besar ini, marilah kita bertanya kepada diri kita sendiri: sudahkah kita mempersiapkan bekal yang cukup supaya selamat dalam perjalanan tersebut? Kalau jawabannya: belum, maka jangan putus asa, masih ada waktu untuk berbenah diri dan memperbaiki segala kekurangan kita -dengan izin Allah ta’ala- . Caranya, bersegeralah untuk kembali dan bertobat kepada Allah, serta memperbanyak amal shaleh pada sisa umur kita yang masih ada. Dan semua itu akan mudah bagi orang yang Allah berikan taufik dan kemudahan baginya.

Imam Fudhail bin ‘Iyaadh pernah menasehati seseorang lelaki, beliau berkata: “Berapa tahun usiamu (sekarang)”? Lelaki itu menjawab: Enam puluh tahun. Fudhail berkata: “(Berarti) sejak enam puluh tahun (yang lalu) kamu menempuh perjalanan menuju Allah dan (mungkin saja) kamu hampir sampai”. Lelaki itu menjawab: Sesungguhnya kita ini milik Allah dan akan kembali kepada-Nya. Maka Fudhail berkata: “Apakah kamu paham arti ucapanmu? Kamu berkata: Aku (hamba) milik Allah dan akan kembali kepada-Nya, barangsiapa yang menyadari bahwa dia adalah hamba milik Allah dan akan kembali kepada-Nya, maka hendaknya dia mengetahui bahwa dia akan berdiri (di hadapan-Nya pada hari kiamat nanti), dan barangsiapa yang mengetahui bahwa dia akan berdiri (di hadapan-Nya) maka hendaknya dia mengetahui bahwa dia akan dimintai pertanggungjawaban (atas perbuatannya selama di dunia), dan barangsiapa yang mengetahui bahwa dia akan dimintai pertanggungjawaban (atas perbuatannya) maka hendaknya dia mempersiapkan jawabannya.” Maka lelaki itu bertanya: (Kalau demikian) bagaimana caranya (untuk menyelamatkan diri ketika itu)? Fudhail menjawab: “(Caranya) mudah.” Leleki itu bertanya lagi: Apa itu? Fudhail berkata: “Engkau memperbaiki (diri) pada sisa umurmu (yang masih ada), maka Allah akan mengampuni (perbuatan dosamu) di masa lalu, karena jika kamu (tetap) berbuat buruk pada sisa umurmu (yang masih ada), kamu akan di siksa (pada hari kiamat) karena (perbuatan dosamu) di masa lalu dan pada sisa umurmu.” (Dinukil oleh Imam Ibnu Rajab dalam kitab Jaami’ul ‘Uluumi Wal Hikam, hal. 464)

Beliau (Fudhail bin ‘Iyaadh) adalah Fudhail bin ‘Iyaadh bin Mas’uud At Tamimi (wafat 187 H), seorang imam besar dari dari kalangan atba’ut tabi’in yang sangat terpercaya dalam meriwayatkan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan seorang ahli ibadah (lihat kitab Taqriibut Tahdziib, hal. 403)
Akhirnya, kami menutup tulisan ini dengan doa dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (dalam HR. Muslim, no. 2720) dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu) untuk kebaikan agama, dunia dan akhirat kita:

Ya Allah, perbaikilah agamaku yang merupakan penentu (kebaikan) semua urusanku, dan perbaikilah (urusan) duniaku yang merupakan tempat hidupku, serta perbaikilah akhiratku yang merupakan tempat kembaliku (selamanya), jadikanlah (masa) hidupku sebagai penambah kebaikan bagiku, dan (jadikanlah) kematianku sebagai penghalang bagiku dari semua keburukan.

وَصَلَّى اللهُ وَسَلَّمَ وَبَارَكَ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَآلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ، وَآخِرُ دَعْوَانَا أَنِ الْحَمْدُ لِلّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ

Kota Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, 20 Shafar 1430 H
***

Penulis: Ustadz  Abdullah bin Taslim Al Buthoni, M.A.

HUKUM HIPNOTIS


Oleh : Lajnah Da’imah Lil Buhuts Al-Ilmiah wal Ifta’

Pertanyaan

Lajnah Da’imah Lil Buhuts Al-Ilmiah wal Ifta’ ditanya : Bagaimana hukum terhadap hipnotis dimana dengannya kemampuan pelakunya bisa bertambah kuat untuk menerawangkan fikiran korban, berikut mengendalikan dirinya dan membuatnya bisa meninggalkan sesuatu yang diharamkan, sembuh dari penyakit tegang otot atau melakukan pebuatan yang dimintanya tersebut?

Jawaban

Lembaga Tetap menjawab hal ini sebagai berikut.
Pertama : Ilmu tentang hal-hal yang ghaib merupakan hak mutlak Allah Ta’ala , tidak ada seorang pun dari makhluk-Nya yang mengetahui, baik itu jin atau pun selain mereka kecuali wahyu yang disampaikan oleh Allah kepada orang yang dikehedaki-Nya seperti kepada para malaikat atau para rasul-Nya. Dalam hal ini, Allah Ta’ala berfirman.

“Katakanlah. Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah” [An-Naml : 65]

Dia juga berfirman berkenaan dengan Nabi Sulaiman dan kemampuannya menguasai bangsa jin.
“Maka tatkala Kami telah menetapkan kematian Sulaiman, tidak ada yang menunjukkan kepada mereka kematiannya itu kecuali rayap yang memakan tongkatnya. Maka tatkala ia telah tersungkur, tahulah jin itu bahwa kalau sekiranya ,mereka mengetahui yang ghaib tentulah mereka tidak tetap dalam siksa yang menghinakan” [Saba : 14]
Demikian pula firman-Nya.

“(Dia adalah Rabb) Yang Mengetahui yang baik, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorangpun tentang yang ghaib itu. Kecuali kepada rasul yang diridhai-Nya, maka sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di muka dan dibelakangnya” [Al-Jin : 26-27]
Dalam sebuah hadits yang shahih dari An-Nuwas bin Sam’an Radhiyallahu ‘anhu dia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Bila Allah ingin mewahyukan suatu hal, Dia berbicara melalui wahyu, lalu lelangit menjadi gemetar –dalam riwayat lain : gemetar yang amat sangat seperti disambar petir- hal itu sebagai refleksi rasa takut mereka kepada Allah. Bila hal itu didengarkan oleh para penghuni lelangit, mereka pun pingsan dan bersimpuh sujud kepada Allah. Lalu yang pertama berani mengangkat kepalanya adalah Jibril, maka Allah berbicara kepadanya dari wahyu yang diinginkan-Nya kemudian Jibril berkata, ‘Allah telah berfirman dengan al-haq dan Dialah Yang Maha Tinggi Lagi Maha Besar”. Semua mereka pun mengatakan hal yang sama seperti yang telah dikatakan oleh Jibril. Lantas selesailah wahyu melalui Jibril hingga kepada apa yang diperintahkan oleh Allah Ta’ala terhadapnya” [1]
Di dalam hadits Shahih yang lain dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda :

“Bila Allah telah memutuskan perkara dilangit, para malaikat merentangkan sayap-sayapnya sebagai (refleksi) ketundukan terhadap firman-Nya ibarat rantai di atas batu besar yang licin yang menembus mereka. Maka bila rasa takut itu sudah hilang dari hati mereka, mereka berkata ‘Apa yang telah difirmankan oleh Rabb kalian?’.

Mereka yang lain berkata malaikat (Jibril) yang mengatakan Allah telah berfirman dengan yang Hak dan Dialah Maha Tinggi Lagi Maha Besar’. Lalu hal itu didengar oleh para pencuri dengar (penguping) dan para pencuri dengan lainnya, demikian satu di atas yang lainnya. (Sufyan, periwayat hadits ini sembari menjelaskan spesifikasinya dengan tangannya ; merenggangkan jemari tangan kanannya, menegakkan sebagian ke atas sebagian yang lain).

Barangkali setelah itu, anak panah telah mengenai si pendengar tersebut sebelum mengenai temannya lantas membuatnya terbakar, dan barangkali pula tidak mengenainya sehingga mengenai setelahnya yang berada di posisi lebih bawah darinya lalu mereka melemparkannya (anak panah tersebut) ke bumi –dan barangkali Sufyan berkata, ‘hingga sampai ke bumi’-, lantas ia terlempar ke mulut tukang sihir, maka diapun berdusta dengan seribu dusta karenanya, namun ucapannya malah dibenarkan, maka mereka pun berkata, ‘Bukankah dia telah memberitahukan kepada kita pada hari anu dan anu terjadi begini dan begitu, maka ternyata, kita telah mendapatkan hal itu benar adanya persis seperti kata yang didengar dari langit tersebut” [2]

Maka berdasarkan hal ini, tidak boleh meminta pertolongan kepada jin dan para makhluk selain mereka untuk mengetahui hal-hal ghaib, baik dengan cara memohon dan mendekatkan diri kepada mereka, memasang kayu gaharu ataupun lainnya. Bahkan itu adalah perbuatan syirik karena ia merupakan jenis ibadah padahal Allah telah memberitahukan kepada para hamba-Nya agar mengkhususkan ibadah hanya untuk-Nya semata, yaitu agar mereka mengatakan, “Hanya kepada-Mu kami menyembah (beribadah) dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan”.

Juga telah terdapat hadits yang shahih dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya beliau berkata kepada Ibnu Abbas, “Bila engkau meminta, maka mintalah kepada Allah dan bila engkau memohon pertolongan, maka mohonlah pertolongan kepada Allah” [3] Kedua : Hipnotis merupakan salah satu jenis sihir (perdukunan) yang mempergunakan jin sehingga si pelaku dapat menguasai diri korban, lalu berbicaralah dia melalui ucapannya dan mendapatkan kekuatan untuk melakukan sebagian pekerjaan setelah dikuasainya dirinya tersebut.

Hal ini bisa terkadi, jika si korban benar-benar serius bersamanya dan patuh. Sebaliknya, ini dilakukan si pelaku karena adanya imbalan darinya terhadap hal yang dijadikannya taqarrub tersebut. Jin tersebut membuat si korban berada di bawah kendali si pelaku untuk melakukan pekerjaan atau berita yang dimintanya. Bantuan tersebut diberikan oleh jin bila ia memang serius melakukannya bersama si pelaku.
Atas dasar ini, menggunakan hipnotis dan menjadikannya sebagai cara atau sarana untuk menunjukkan lokasi pencurian, benda yang hilang, mengobati pasien atau melakukan pekerjaan lain melalui si pelaku ini tidak boleh hukumnya.

Bahkan, ini termasuk syirik karena alasan di atas dan karena hal itu termasuk berlindung kepada selain Allah terhadap hal yang merupakan sebab-sebab biasa dimana Allah Ta’ala menjadikannya dapat dilakukan oleh para makhluk dan membolehkannya bagi mereka.

Wa Shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammad Wa Alihi Wa Shahbihi Wa Sallam

[Kumpulan Fatwa Lembaga Tetap Untuk Pengakjian Ilmiah Dan Penggodokan Fatwa, Juz 11, hal-400-402]
[Disalin dari. Kitab Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, Penyusun Khalid Al-Juraisy, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Penerjemah Musthofa Aini dkk, Penerbit Darul Haq]
________
Footnotes
[1]. As-Sunnah, Ibnu Abi Ashim, hal. 515; Shahih Ibnu Khuzaimah, kitab At-Tauhid, Juz I hal. 348-349, Al-Asma wa Ash-Shifat,Al-Baihaqy, hal.435, dan pengarang selain mereka. Dan didalam sanadnya terdapat periwayat bernama Nu’aim bin Hammad, dia seoran Mudallis (suka menyamarkan berita) dan dia meriwayatkannya dengan metode periwayatan an-an (mengatakan : dari si fulan, dari si fulan)
[2]. Shahih Al-Bukhari, Kitab At-Tafsir, no. 4701
[3]. HR Ahmad, no. 3699, 273, 2804 –versi analisis Syaikh Ahmad Syakir-, Sunan At-Turmudzi, kitab Shifah Al-Qiyamah, no. 2518

Senin, 11 April 2011

kehangatan di sela santapan

(Ummu 'Abdirrahman bintu 'Imran)

Siapa yang tak ingin anak-anaknya menjadi qurratul 'ain, penyejuk mata, penyenang hati? Qurratul 'ain berarti menyaksikan mereka selalu beramal shalih. Siapa pun yang menginginkan hal ini tentu harus berupaya untuk mewujudkannya dengan membiasakan anak-anak untuk melakukan amal shalih dan adab-adab yang mulia

Begitu pula yang dikatakan oleh sahabat yang mulia, 'Ali bin Abi Thalib :

أَدِّبُوْهُمْ، عَلِّمُوْهُمْ
“Ajarilah mereka adab dan ajarilah mereka ilmu.”

Di antara adab yang penting diketahui oleh anak-anak adalah adab makan. Bagaimana tidak. Dengan menerapkan adab ketika makan, mereka akan mendapatkan banyak kebaikan. Di antaranya akan terjauhkan dari musuh utama manusia, yaitu setan, juga akan terbiasa hidup dengan tuntunan Rasulullah n. Dengan ittiba' ini, kita berharap mereka akan mendapat kebahagiaan di akhirat nanti.

Makan bersama

Membiasakan anak-anak makan bersama dalam satu hidangan akan menumbuhkan suasana hangat dan akrab di antara mereka. Lebih bagus lagi jika kita bisa menyertai mereka makan. Akan terbina kedekatan kita dengan mereka. Selain itu, saat-saat ini adalah saat yang tepat untuk mengajarkan adab makan kepada mereka secara langsung dalam pengamalan. Kita pun akan melihat langsung jika ada kekeliruan yang mereka lakukan dalam adab-adab makan, sehingga dapat memberikan teguran sesegera mungkin. Pengajaran dan peringatan secara langsung seperti ini, diharapkan akan lebih mengena dan tertanam dalam pribadi mereka.

Lebih dari itu, makan bersama lebih berbarakah. Dikisahkan pula oleh Wahsyi bin Harb :

أَنَّ أَصْحَابَ رَسُولِ اللهِ n قَالُوا: يَا رَسُوْلَ اللهِ، إِنَّا نَأْكُلُ وَلاَ نَشْبَعُ؟ قَالَ: فَلَعَلَّكُمْ تَفْتَرِقُوْنَ. قَالُوا: نَعَمْ. قَالَ: فَاجْتَمِعُوا عَلَى طَعَامِكُمْ ، وَاذْكُرُوا اسْمَ اللهِ ، يُبَارَكْ لَكُمْ فِيْهِ

“Para sahabat Rasulullah n mengeluh kepada beliau, ‘Wahai Rasulullah, kami ini makan, tapi tidak merasa kenyang!’ ‘Barangkali kalian makan sendiri-sendiri,’ kata Rasulullah. ‘Iya,’ jawab mereka. Beliau pun mengatakan, ‘Berkumpullah pada makanan kalian dan sebutlah nama Allah, niscaya kalian akan diberkahi pada makanan itu’.” (HR. Abu Dawud no. 3764 dihasankan oleh Al-Imam Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud)

Dinukilkan pula oleh Abu Hurairah z bahwa Rasulullah n pernah bersabda:

طَعَامُ الْاِثْنَيْنِ كَافِي الثَّلاَثَةِ، وَطَعَامُ الثَّلاَثَةِ كَافِي الْأَرْبَعَةِ

“Makanan dua orang bisa mencukupi tiga orang, dan makanan tiga orang bisa mencukupi empat orang.” (HR. Al-Bukhari no. 5392 dan Muslim no. 2058)

Jabir bin ‘Abdillah c juga mengatakan bahwa Rasulullah n pernah bersabda:

طَعَامُ الْوَاحِدِ يَكْفِي الْاِثْنَيْنِ، وَطَعَامُ الْاِثْنَيْنِ يَكْفِي الْأَرْبَعَةَ، وَطَعَامُ الْأَرْبَعَةِ يَكْفِي الثَّمَانِيَةَ

“Makanan satu orang bisa mencukupi dua orang, makanan dua orang bisa mencukupi empat orang, dan makanan empat orang bisa mencukupi delapan orang.” (HR. Muslim no. 2059)

Mengucapkan basmalah ketika akan makan

Di awal kali ketika hendak makan, kita ingatkan anak-anak agar tidak lupa membaca basmalah. Ini merupakan satu hal penting yang harus diajarkan kepada anak. Rasulullah n sendiri mengajarkan hal ini kepada 'Umar bin Abi Salamah c, putra Ummu Salamah x yang ada dalam asuhan beliau. Saat itu 'Umar bin Abi Salamah sedang makan bersama Rasulullah n. Dia menceritakan:

كُنْتُ فِي حَجْرِ رَسُوْلِ اللهِ n وَكَانَتْ يَدِي تَطِيْشُ فِي الصَّحْفَةِ، فَقَالَ لِي: يَا غُلاَمُ، سَمِّ اللهَ وَكُلْ بِيَمِيْنِكَ وَكُلْ مِمَّا يَلِيْكَ

"Dulu aku berada dalam asuhan Rasulullah n. Ketika makan, tanganku berkeliling di piring. Lalu beliau mengatakan padaku, 'Nak, ucapkan bismillah, makanlah dengan tangan kananmu, dan makanlah makanan yang dekat denganmu!" (HR. Al-Bukhari no.5376 dan Muslim no.2022)

Demikianlah contoh pendidikan Rasulullah n. Beliau tak pernah meninggalkan satu kesempatan untuk memberikan pelajaran, kecuali pasti beliau berikan pengajaran. Sampaipun kepada seorang anak kecil. (Syarh Riyadhish Shalihin, 2/571) 

Hendaknya kita berikan pula penjelasan pada mereka bahwa jika seseorang mengucapkan basmalah ketika makan, maka setan tidak akan menyertainya makan. Berbeda dengan orang yang tidak mengucapkan basmalah, setan akan menyertainya makan. Dalam hadits yang disampaikan oleh Jabir z Rasulullah n bersabda:

إِذَا دَخَلَ الرَّجُلُ بَيْتَهُ فَذَكَرَ اللهَ عِنْدَ دُخُوْلِهِ وَعِنْدَ طَعَامِهِ، قَالَ الشَّيْطَانُ: لاَ مَبِيْتَ لَكُمْ وَلاَ عَشَاءَ. وَإِذَا دَخَلَ فَلَمْ يَذْكُرِ اللهَ عِنْدَ دُخُوْلِهِ، قَالَ الشَّيْطَانُ: أَدْرَكْتُمُ الْمَبِيْتَ. وَإِذَا لَمْ يَذْكُرِ اللهَ عِنْدَ طَعَامِهِ، قَالَ: أَدْرَكْتُمُ الْمَبِيْتَ وَالْعَشَاءَ

"Jika seseorang masuk rumahnya dan berdzikir kepada Allah saat masuk dan makannya, setan akan mengatakan pada teman-temannya, 'Tidak ada tempat bermalam dan makan malam bagi kalian.' Namun jika dia masuk rumah tanpa berdzikir kepada Allah ketika masuknya, setan akan mengatakan, 'Kalian mendapatkan tempat bermalam.' Jika dia tidak berdzikir kepada Allah ketika makan, setan akan mengatakan, 'Kalian mendapatkan tempat bermalam dan makan malam.' (HR. Muslim no. 2018)

Hudzaifah z juga pernah menceritakan:

كُنَّا إِذَا حَضَرْنَا مَعَ النَّبِيِّ n طَعَامًا لَمْ نَضَعْ أَيْدِيَنَا، حَتَّى يَبْدَأَ رَسُوْلُ اللهِ n فَيَضَعَ يَدَهُ. وَإِنَّا حَضَرْنَا مَعَهُ مَرَّةً طَعَامًا. فَجَاءَتْ جَارِيَةٌ كَأَنَّهَا تُدْفَعُ، فَذَهَبَتْ لِتَضَعَ يَدَهَا فِى الطَّعَامِ، فَأَخَذَ رَسُوْلُ اللهِ n بِيَدِهَا. ثُمَّ جَاءَ أَعْرَبِيٌّ كَأَنَّمَا يُدْفَعُ، فَأَخَذَ بِيَدِهِ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ n: إِنَّ الشَّيْطَانَ يَسْتَحِلُّ الطَّعَامَ أَنْ لاَ يُذْكَرَ اسْمُ اللهِ عَلَيْهِ، وَإِنَّهُ جَاءَ بِهَذِهِ الْجَارِيَةِ لِيَسْتَحِلَّ بِهَا. فَأَخَذْتُ بِيَدِهَا. فَجَاءَ بِهَذَا الْأَعْرَبِيِّ لِيَسْتَحِلَّ بِهِ فَأَخَذْتُ بِيَدِهِ، وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، إِنَّ يَدَهُ فِي يَدِي مَعَ يَدِهَا

"Biasanya kalau dihidangkan makanan di hadapan kami bersama Nabi n, kami tidak pernah meletakkan tangan kami (untuk menyentuh hidangan itu) sampai Rasulullah memulai meletakkan tangan beliau. Suatu ketika, dihidangkan makanan di hadapan kami bersama beliau. Tiba-tiba datang seorang budak perempuan, seakan-akan dia terdorong (karena cepatnya –pen), lalu meletakkan tangannya di hidangan itu. Rasulullah n langsung memegang tangannya. Setelah itu, datang seorang A'rabi, seakan-akan dia terdorong. Rasulullah n pun menahan tangannya. Kemudian beliau bersabda, 'Sesungguhnya setan menghalalkan makanan yang tidak disebut nama Allah atasnya. Tadi dia datang bersama budak perempuan itu untuk mendapatkan makanan dengannya, maka aku pegang tangannya. Lalu dia datang lagi bersama A'rabi tadi untuk mendapatkan makanan dengannya, maka aku pun memegang tangannya. Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, sungguh tangan setan berada dalam genggamanku bersama tangan jariyah itu.' " (HR. Muslim no. 2017) 

Jika ternyata anak lupa membaca basmalah ketika hendak makan, kita ajarkan untuk mengucapkan: 

بِسْمِ اللهِ أَوَّلَهُ وَآخِرَهُ
 
ketika dia ingat. Demikian yang diajarkan oleh Rasulullah n, sebagaimana dalam hadits yang disampaikan oleh 'Aisyah x, beliau bersabda:

إِذَا أَكَلَ أَحَدُكُمْ فَلْيَذْكُرِ اسْمَ اللهِ تَعَالَى، فَإِنْ نَسِيَ أَنْ يَذْكُرَ اسْمَ اللهِ تَعَالَى فِي أَوَّلِهِ، فَلْيَقُلْ: بِسْمِ اللهِ أَوَّلَهُ وَآخِرَهُ

"Jika salah seorang di antara kalian makan, hendaknya dia menyebut nama Allah. Jika dia lupa mengucapkan basmalah di awalnya, maka hendaknya dia ucapkan, 'Dengan nama Allah pada awal dan akhirnya'." (HR. Abu Dawud no. 3767, dishahihkan oleh Al-Imam Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud)

Makan dengan tangan kanan

Ini juga merupakan adab makan yang diajarkan oleh Rasulullah n kepada ‘Umar bin Abi Salamah z. Beliau mengatakan:

يَا غُلاَمُ، سَمِّ اللهَ وَكُلْ بِيَمِيْنِكَ وَكُلْ مِمَّا يَلِيْكَ
'Nak, ucapkan bismillah, makanlah dengan tangan kananmu, dan makanlah makanan yang dekat denganmu!" (HR. Al-Bukhari no. 5376 dan Muslim no. 2022)

Rasulullah n juga melarang makan dan minum dengan tangan kiri, karena ini merupakan kebiasaan setan. Dalam hadits dari ‘Abdullah bin ‘Umar c, beliau bersabda: 

إِذَا أَكَلَ أَحَدُكُمْ فَلْيَأْكُلْ بِيَمِيْنِهِ، وَإِذَا شَرِبَ فَلْيَشْرَبْ بِيَمِيْنِهِ، فَإِنَّ الشَّيْطَانَ يَأْكُلُ وَيَشْرَبُ بِشِمَالِهِ

“Jika salah seorang dari kalian makan, makanlah dengan tangan kanannya. Dan jika dia minum, minumlah dengan tangan kanannya, karena sesungguhnya setan itu makan dan minum dengan tangan kirinya.” (HR. Muslim no. 2020)

Kita ajari pula anak-anak untuk tidak meremehkan hal ini, karena biasanya anak-anak kurang memperhatikan dengan tangan apa mereka menyuapkan makanan. Kita ingatkan mereka bahwa meremehkan ajaran Rasulullah n akan membinasakan kita di dunia dan di akhirat. Untuk menguatkan pengajaran ini, kita sampaikan kisah yang terjadi di masa Rasulullah n yang disampaikan oleh Salamah ibnul Akwa’ z. Dia menuturkan:

أَنَّ رَجُلاً أَكَلَ عِنْدَ رَسُوْلِ اللهِ n بِشِمَالِهِ فَقَالَ: كُلْ بِيَمِيْنِكَ. قَالَ: لاَ أَسْتَطِيْعُ. قَالَ: لاَ اسْتَطَعْتَ. مَا مَنَعَهُ إِلاَّ الْكِبْرُ، فَمَا رَفَعَهَا إِلَى فِيْهِ

“Ada seseorang yang makan di sisi Rasulullah n dengan tangan kirinya, maka Rasulullah pun menegur, ‘Makanlah dengan tangan kananmu!’ ‘Aku tidak bisa!’ jawab orang tadi. Beliau bersabda, ‘Kamu benar-benar tidak bisa!’ Tidak ada yang menghalangi orang itu kecuali kesombongan. Maka dia pun tidak dapat mengangkat tangannya ke mulutnya.” (HR. Muslim no. 2021)

Makan dari yang dekat dengannya

Kadang anak tidak memperhatikan makanan mana yang dia ambil. Tangannya bisa berkelana mengambil bagian yang dekat dengan saudaranya. Hal ini terkadang bisa menimbulkan keributan di antara mereka, apalagi jika mereka masih kanak-kanak. 

Jika melihat ada di antara anak-anak yang melakukan seperti ini, kita hendaknya menegur dengan baik, bahwa termasuk adab makan adalah makan bagian makanan yang dekat dengannya. Begitulah yang diajarkan Rasulullah n kepada ‘Umar bin Abi Salamah ketika ‘Umar melakukan perbuatan seperti itu:

كُنْتُ فِي حَجْرِ رَسُوْلِ اللهِ n وَكَانَتْ يَدِي تَطِيْشُ فِي الصَّحْفَةِ، فَقَالَ لِي: يَا غُلاَمُ، سَمِّ اللهَ وَكُلْ بِيَمِيْنِكَ وَكُلْ مِمَّا يَلِيْكَ
"Dulu aku berada dalam asuhan Rasulullah n. Ketika makan, tanganku berkeliling di piring hidangan. Lalu beliau mengatakan padaku, 'Nak, ucapkan bismillah, makanlah dengan tangan kananmu, dan makanlah makanan yang dekat denganmu!" (HR. Al-Bukhari no. 5376 dan Muslim no. 2022)

Memungut makanan yang berjatuhan

Sering terjadi, makanan berjatuhan dan berceceran ketika anak makan. Baik karena ketidaksengajaan ataupun karena keterbatasan kemampuan si anak yang masih dalam tahap belajar makan sendiri. Kita yang melihat hal itu tidak selayaknya berdiam diri. Kita minta anak-anak untuk memunguti makanan yang berjatuhan itu, membersihkannya, lalu memakannya.

Begitu pula sisa-sisa makanan, butiran nasi, remah-remah makanan dan semacamnya yang tersisa di piring hidangan. Terkadang anak-anak enggan memunguti atau memakannya. Sebaiknyalah kita hasung mereka untuk membersihkan piring hidangan (Jawa: ngoreti –pen) dan memungut sisa makanan yang ada di situ, sembari diiringi penjelasan bahwa Rasulullah n memerintahkan demikian.

Sebagaimana dikatakan oleh Anas bin Malik z bahwa Rasulullah n bersabda:

إِذَا سَقَطَتْ لُقْمَةُ أَحَدِكُمْ فَلْيُمِطْ عَنْهَا الْأَذَى، وَلْيَأْكُلْهَا، وَلاَ يَدَعْهَا لِلشَّيْطَانِ. وَأَمَرَنَا أَنْ نَسْلُتَ الْقَصْعَةَ، قَالَ: فَإِنَّكُمْ لاَ تَدْرُوْنَ فِي أَيِّ طَعَامِكُمُ الْبَرَكَةُ

“Jika jatuh suapan salah seorang di antara kalian, hendaknya ia memungutnya dan membersihkan kotoran yang menempel padanya, lalu memakannya, dan jangan dia biarkan suapan itu untuk setan.” Beliau juga memerintahkan kami untuk membersihkan piring hidangan. Beliau mengatakan, “Sesungguhnya kalian tidak mengetahui di mana barakah makanan kalian.” (HR. Muslim no. 2034)

Tidak boleh mencela makanan

Namanya anak-anak, mereka memiliki selera makan tersendiri. Bisa jadi makanan yang tersaji tidak mereka sukai atau kurang mengundang selera mereka. Kadang spontan mereka memberi tanggapan, “Uh... makanannya tidak enak!” “Aku tidak suka makanan ini!” dan ucapan-ucapan serupa.

Menghadapi seperti ini, kita ingatkan anak-anak untuk bersyukur atas pemberian Allah l berupa makanan yang ada. Kita ingatkan pula bahwa mereka jauh lebih beruntung daripada saudara-saudara mereka yang tak memperoleh nikmat sebagaimana yang mereka dapatkan. Seharusnyalah mereka merasa cukup dengan pemberian Allah l. Rasulullah n pernah mengatakan dalam sabda beliau yang disampaikan oleh ‘Abdullah bin ‘Amr:

قَدْ أَفْلَحَ مَنْ أَسْلَمَ، وَرُزِقَ كَفَافًا، وَقَنَّعَهُ اللهُ بِمَا آتَاهُ

“Beruntunglah seseorang yang masuk Islam, lalu dia diberi rezeki yang cukup, kemudian Allah berikan pula rasa cukup atas pemberian-Nya.” 
 (HR. Muslim no. 1054)

Kita jelaskan, jika mereka tak menyukai suatu makanan, tidak boleh mencelanya dan cukup mereka tinggalkan. Demikian yang dicontohkan oleh Rasulullah n dan dituturkan hal ini oleh Abu Hurairah :

مَا عَابَ رَسُولُ اللهِ n طَعَامًا قَطُّ، إِنِ اشْتَهَاهُ أَكَلَهُ، وَإِنْ كَرِهَهُ تَرَكَهُ

“Rasulullah n tak pernah sama sekali mencela makanan. Jika beliau suka, maka beliau makan. Jika beliau tidak suka, maka beliau tinggalkan.”
(HR. Al-Bukhari no. 5409 dan Muslim no. 2064)

Jangan sampai kekenyangan

Makan di saat lapar, atau saat menghadapi hidangan yang disukai atau membuat berselera, kadang anak-anak lupa diri. Mereka makan hingga kekenyangan. Karena itu, perlulah kita ingatkan mereka agar tidak makan hingga kekenyangan. Rasulullah n pernah bersabda:

مَا مَلَأَ ابْنُ آدَمَ وِعَاءً شَرًّا مِنْ بَطْنِهِ، بِحَسْبِ ابْنُ آدَمَ أَكْلاَتٍ يُقِمْنَ صُلْبَهُ ، فَإِنْ لاَ مُحَالَةَ فَثُلُثٌ لِطَعَامِهِ وَثُلُثٌ لِشَرَابِهِ وَثُلُثٌ لِنَفَسِهِ
 
“Tidaklah anak Adam memenuhi bejana yang lebih jelek daripada perutnya. Cukuplah bagi anak Adam itu beberapa suapan yang dapat menegakkan tulang punggungnya. Jika itu tidak mungkin dia lakukan, maka sepertiga untuk makanannya, sepertiga untuk minumannya dan sepertiga untuk nafasnya.” (HR. At-Tirmidzi no. 2380, dishahihkan oleh Al-Imam Al-Albani dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi)

Menjilati jari-jemari setelah makan

Entah makan nasi, kue atau makanan lainnya, seringkali anak-anak merasa risih dengan sisa makanan yang menempel di jari-jemarinya. Kadang mereka segera mencuci tangan setelah selesai makan. Ada pula yang mengelapnya dengan serbet atau tisu, atau kadang anak yang lebih kecil cenderung mengibas-ngibaskan tangan atau mengusapnya di bajunya. 

Untuk itu, kita perlu membimbing mereka sehingga mendapatkan yang lebih baik daripada itu semua. Kita sampaikan bimbingan Rasulullah n yang dinukilkan oleh Abdullah bin ‘Abbas c. Beliau n bersabda:

إِذَا أَكَلَ أَحَدُكُمْ طَعَامًا، فَلاَ يَمْسَحْ أَصَابِعَهُ حَتَّى يَلْعَقَهَا أَوْ يُلْعِقَهَا

“Bila salah seorang di antara kalian makan, janganlah segera mengusap jari-jemarinya sampai dia jilat atau dia berikan pada orang lain untuk dijilat.” (HR. Al-Bukhari no. 5456 dan Muslim no. 2031)

Jangan minum dengan sekali teguk

Sesuatu yang lazim dilakukan anak-anak setelah makan adalah minum. Kadangkala didorong oleh rasa haus dan yang lainnya, anak-anak meneguk air di gelas tanpa henti hingga berakhir terengah-engah. Atau kalaupun bernapas, mereka enggan melepaskan mulut gelas dari mulutnya, sehingga napasnya terhembus di dalam gelas.

Karena itu, tidak sepantasnya hal-hal seperti ini luput dari perhatian kita. Kita ajari mereka contoh dari Rasulullah n, sebagaimana yang disampaikan oleh Anas bin Malik :

كَانَ رَسُولُ اللهِ n يَتَنَفَّسُ فِي الشَّرَابِ ثَلاَثًا، وَيَقُوْلُ: إِنَّهُ أَرْوَى وَأْبَرَأَ وَأَمْرَأَ. قَالَ أَنَسٌ: فَأَنَا أَتَنَفَّسُ فِي الشَّرَابِ ثَلاَثًا

“Rasulullah  biasa bernapas ketika minum sebanyak tiga kali, dan beliau mengatakan, ‘Sesungguhnya yang demikian itu lebih memuaskan, lebih menghilangkan dahaga, dan lebih mudah ditelan.’ Anas pun mengatakan, ‘Maka aku pun bernapas tiga kali ketika minum’.” (HR. Muslim no. 2028)

Tentu saja bernapas ini di luar gelas, karena beliau sendiri melarang untuk bernapas atau meniup di dalam gelas. Hal ini dituturkan oleh Abu Qatadah :
أَنَّ النَّبِيَّ n نَهَى أَنْ يُتَنَفَّسَ فِي الْإِنَاءِ
“Rasulullah n melarang bernapas di dalam bejana.”
(HR. Al-Bukhari no. 5630 dan Muslim no. 2035)

Hal ini disebutkan pula oleh Al-Imam An-Nawawi ketika memberikan bab pada hadits di atas: بَاب كَرَاهَةِ التَّنَفُّسِ فِي نَفْسِ الإِنَاءِ وَاسْتِحْبَابِ التَّنَفُّسِ ثَلاَثًا خَارِجَ الإِنَاءِ (Bab tentang dibencinya bernapas di dalam bejana dan disenanginya bernapas tiga kali di luar bejana).

Bersyukur dan memuji Allah ketika selesai makan

Usai bersantap, jangan lupa kita ingatkan anak-anak untuk bersyukur kepada Allah atas nikmat-Nya berupa makanan yang telah dinikmati. Ajarkan anak-anak untuk mengucapkan hamdalah sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah n.
Abu Umamah z meriwayatkan bahwa Nabi n jika telah diangkat hidangan, beliau mengucapkan:

الْحَمْدُ لِلهِ حَمْدًا كَثِيْرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيْهِ غَيْرَ مَكْفِيٍّ وَلاَ مُوَدَّعٍ وَلاَ مُسْتَغْنًى عَنْهُ رَبَّنَا

"Segala puji bagi Allah dengan pujian yang banyak, baik dan berkah pada-Nya. Dia tidak membutuhkan pemberian makanan dari makhluk-Nya (karena Dia yang memberikan makanan), tidak ditinggalkan dan tidak ada satu makhluk pun yang merasa tidak membutuhkan-Nya, wahai Rabb kami."
(HR. Al-Bukhari no. 5458)

Mu’adz bin Anas z juga meriwayatkan bahwa Rasulullah n bersabda:

مَنْ أَكَلَ طَعَامًا فَقَالَ: الْحَمْدُ لِلهِ الَّذِي أَطْعَمَنِي هَذَا الطَّعَامَ، وَرَزَقَنِيْهِ مِنْ غَيْرِ حَوْلٍ مِنِّي وَلاَ قُوَّةٍ؛ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

“Barangsiapa makan makanan, lalu mengucapkan: ‘Segala puji bagi Allah yang telah memberikan makanan ini padaku dan merezekikannya untukku tanpa daya dan kekuatan dari diriku’, akan diampuni dosanya yang telah lalu.” (HR. Abu Dawud no. 4023, dihasankan oleh Al-Imam Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud)

Masih banyak yang tersisa berkaitan dengan adab-adab makan yang perlu kita ajarkan. Namun setidaknya, ini merupakan pengingat bagi kita, orang tua, ketika menyaksikan hal-hal yang seringkali kita jumpai saat anak-anak kita bersantap, agar tidak berdiam diri. 

Yang lebih utama dan menjadi bagian penting dalam pengajaran adab terhadap anak-anak adalah contoh dan teladan dari diri kita, orangtua mereka. Pada diri kita mereka bercermin, mengamati nilai benar atau salah dalam setiap perilaku kita. 

Wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab.

Sabtu, 16 April 2011

Awas! Uang Haram Dari Klik Iklan Dalam Situs

Diposting oleh Wanita Sholehah di 18.01 1 komentar
Ada sebagian situs yang menyewakan sebagian halaman situsnya itu mengiklankan situs lain. Apakah ada persyaratan kejelasan tentang status sewa, misalnya: satu tahun, ataukah diperbolehkan jika tanpa kejelasan batas akhir masa sewa? Bolehkah jika uang sewanya berubah-ubah mengikuti jumlah pengunjung yang meng-klik iklan tersebut, semisal satu real untuk setiap setiap klik-nya?

Di antara syarat sah transaksi ijarah (sewa) adalah adanya kejelasan masa sewa dan kejelasan besaran uang sewa.
Ibnu Qudamah Al-Hambali mengatakan, “Tidak ada perbedaan pendapat di antara para ulama mengenai bolehnya menyewakan tanah atau bangunan. Ibnul Mundzir mengatakan, "Semua ulama, yang kami ketahui, bersepakat bahwa menyewakan rumah atau hewan tunggangan itu hukumnya boleh, namun sewa itu tidaklah diperbolehkan melainkan dalam jangka waktu penyewaan yang jelas." (Al-Mughni, 5:260)

Ibnu Qudamah juga mengatakan, “Dalam sewa-menyewa, jangka waktunya haruslah jelas, semisal satu bulan atau satu tahun. Kami tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat di antara para ulama mengenai hal ini.” (Al-Mughni, 5:251)

Dalam transaksi sewa diperbolehkan adanya kesepakatan bahwa biaya sewa per hari atau per bulan adalah sekian, tanpa adanya penetapan batas akhir masa sewa. Dalam Al-Mughni, Ibnu Qudamah menguraikan, “Siapa saja yang menyewa kuda selama masa peperangan, dengan ketentuan bahwa biaya sewa per hari adalah sebesar satu dirham, transaksi sewanya itu sah, menurut perkataan tegas dari Imam Ahmad dalam fatwanya. Alasannya, karena Ali pernah mempekerjakan dirinya untuk menimba air per hari dengan upah buah-buahan. Demikian pula, ada salah seorang sahabat (dari kalangan) Anshar yang melakukan hal semisal itu, dan Nabi tidak melarangnya.”

Berdasarkan uraian di atas, Anda bisa menentukan batas akhir masa sewa dengan situs tersebut, (yaitu) sebulan atau setahun penuh. Jika tidak, Anda bisa membuat kesepakat mengenai uang sewa per hari, misalnya, meski tanpa ada pembatasan masa akhir sewa.

Terkait dengan besaran uang sewa yang ditentukan berdasarkan banyaknya orang yang meng-klik iklan, insya Allah, hal tersebut diperbolehkan. Dengan syarat, adanya kesepakatan mengenai uang yang didapatkan per-"satu klik" iklan dan tidak adanya kecurangan, semisal menggunakan program tertentu untuk menambah jumlah pengunjung atau menyewa individu tertentu untuk meng-klik iklan.

Transaksi di atas serupa dengan riwayat dari sebagian sahabat yang bekerja menimba air, dengan ketentuan bahwa satu ember air berupah satu butir kurma.

فعن كعب بن عجرة قال : سقيت يهودي كل دلو بتمرة ، فجمعتُ تمراً فأتيت به النبي صلى الله عليه وسلم ... .

Dari Ka’ab bin ‘Ujrah, “Aku menimba air untuk orang Yahudi, dengan ketentuan upah: setiap ember air berupah satu butir kurma. Aku pun bisa mengumpulkan kurma dalam jumlah yang cukup banyak, lalu kubawa kurma-kurma tersebut ke hadapan Nabi ...." (Al-Haitsami mengatakan, “Hadits riwayat Ath-Thabrani dalam Mu’jam Ausath, dan sanadnya jayyid."; dinilai hasan oleh Al-Albani dalam Shahih Targhib wa Tarhib, no. 3271)

Berkaitan dengan tidak diketahuinya jumlah pengunjung ketika transaksi sewa diadakan, hal itu tidaklah mempengaruhi keabsahan transaksi, karena pada akhirnya, jumlah pengunjung juga akhirnya diketahui.

Kesimpulannya, jika Anda menyewakan halaman situs Anda untuk situs-situs yang isinya mubah, dengan uang sewa yang jelas setiap bulan atau setiap tahunnya, maka hukum persewaan halaman situs tersebut adalah mubah.

Andai kata transaksi sewa itu bergantung pada jumlah pengunjung yang meng-klik iklan di situs Anda maka hal ini hukumnya juga boleh, dengan dua syarat:
1. Adanya nominal yang jelas yang Anda dapatkan untuk setiap klik-nya.
2. Syarat kedua yang tidak kalah penting adalah: Anda tidak melakukan kecurangan, (misalnya) dengan memanfaatkan program tertentu yang bisa menyebabkan banyaknya jumlah kunjungan ke situs Anda, atau dengan menyewa situs lain atau individu lain untuk meng-klik iklan yang ada di situs Anda. Ini semua dilakukan dalam rangka meningkatkan pendapatan Anda dari situs yang beriklan di situs Anda tersebut.

Jika Anda melanggar persyaratan kedua maka Anda berdosa dan uang yang Anda dapatkan dari situs yang beriklan di situs Anda adalah uang yang haram. Anda berkewajiban untuk memulangkan uang tersebut kepada pihak pemilik situs yang beriklan di situs Anda.

(Kabarislam.com)
Diterjemahkan dengan beberapa peringkasan dari http://islamqa.com/ar/ref/98527
Ust. Aris Munandar, S.S., M.A.

Disangka Wanita Muslim, Biarawati Diusir dari Pesawat

Diposting oleh Wanita Sholehah di 17.55 0 komentar
Inilah akibatnya jika sikap kebencian dan paranoid terhadap Muslim. Seorang biarawati Katolik diusir dari pesawat karena disangka seoerang Muslimah yang menggunakan jilbab. Adalah Suster Cora-Ann, biarawati Katolik dari Biara Our Lady of Grace di Dayton, Ohio mendapat kejutan dalam hidupnya, ketika ia diminta untuk meninggalkan pesawat yang barusaja dia tumpangi di Bandara Internasional Omaha."Aku baru saja duduk di kursiku dan mulai berterima kasih pada Tuhan dan tengah membaca doa dalam bahasa Latin,"  dia ingat, ketika salah seorang penumpang yang duduk di sampingnya memanggil seorang pramugari. Penumpang itu bernama Elizabeth Bennet, dan kemudian mengatakan, "Bukannya kami berprasangka buruk, tapi dia memang tampak mencurigakan. Dia berpakaian dalam jubah Muslim dan tepat sebelum pesawat lepas landas, dia mulai menggumamkan sesuatu dalam bahasa yang terdengar seperti bahasa Arab atau bahasa Taliban. Apa yang harus aku lakukan?"

Damien Thorn adalah penumpang yang diduk dikursi berdampingan mengatakan; "Saya tahu ada sesuatu menyeramkan mengenainya, saat dia masuk ke pesawat, dia memakai pakaian burqa sebagaimana Anda melihat wanita Iran, dia hanya hanya membawa sebuat tas kecil.” Pramugari akhirnya menanggapi panggilan dan menanyakan pada Suster Cora namanya, boarding pass, foto identitasnya. Blanche Dubois seorang penumpang lain yang tengah duduk di dekat Suster Cora-Ann ikut menjelaskan, "Setelah aku mendengar namanya terdengar seperti al-Qur'an, aku menjadi merasa khawatir. Itu bukan berarti ada yang salah denganku kan? Aku hanya tidak mau mati. Aku sangat takut sehingga langsung meneriakkan namanya ke semua penumpang." Baggins, seorang sering bepergian, mengatakan, dia pernah mendengar bahwa kaum Muslim tidak makan daging. "Aku tidak mengira bahwa dia adalah Muslim dan untuk membantunya, aku menyodorkan beberapa dendeng milikku dan meminta wanita itu memakannya untuk membuktikan bahwa dia bukan Muslim."


Namun Suster Cora-Ann menolak dengan sopan dendeng tersebut dan mengingatkan penumpang lain bahwa itu adalah pra-paskah, di mana umat Katolik sering berpantang makan daging. Kerusuhan di pesawat terus berkembang, karena sebagian besar penumpang sekarang yakin bahwa Suster Cora-Ann adalah seorang Muslim mereka akhirnya menuntut Suster Cora-Ann segera meninggalkan pesawat.
"Saya tidak ingin menimbulkan penderitaan terhadap sesama manusia apapun, jadi aku meninggalkan pesawat," katanya. "Kami sangat senang bisa melanjutkan perjalanan," ujar Baggins. "Setelah dia turun dari pesawat, beban besar rasanya seperti terangkat dari pundak kami," tambahnya.
Rupanya, di dalam pesawat memang ada seorang penumpang Muslim dengan nama Abdullah Abdullah, yang duduk di deret belakang no 23. "Tentu saja aku tahu bahwa dia adalah seorang suster Katolik dan bukan Muslim, karena aku pernah pergi ke sekolah Katolik dan guru kesayangan saya adalah beberapa biarawati Katolik."


Abdullah melanjutkan, "Tapi jujur, jika kau seorang Muslim di dalam pesawat dan seseorang diminta untuk turun, hal terbaik yang dapat dilakukan adalah tetap diam dan nikmati pertunjukan!". Nah, beginilah akibatnya jika sikap kebencian terhadap kaum Muslim berlebih-lebihan.*
Foto ilustrasi: pakaian biarawati yang mirip baju muslimah

Pribadi Wanita Muslimah Sebagaimana Yang Dikehendaki Islam

Diposting oleh Wanita Sholehah di 00.09 0 komentar
Kita sangat perlu untuk membahas materi ini karena beberapa alasan. Diantara alasan tersebut adalah apa yang kita saksikan dalam kehidupan sebagian wanita muslimah di zaman ini. Kehidupan dengan segala bentuk ‘keanehannya’. Dalam beberapa hal begitu serius, tapi dalam hal-hal yang lain sangat kurang dan jauh dari nilai-nilai agama.

Sebagai contoh, kita bisa menyaksikan seorang wanita muslimah yang shalehah, melaksanakan syiar-syiar Islam. Namun, tidak menghiraukan kesehatan dan kebersihan mulut dan dirinya. Tidak peduli dengan kesehatan dan aroma yang keluar dari mulut atau tubuhnya. Atau sebaliknya, begitu besar perhatiannya terhadap kesehatan dan kebersihan dirinya tapi melalaikan ibadah dan pelaksanaan syiar-syiar Islam. Contoh lain, kita dapati ada seorang muslimah mencurahkan perhatiannya pada ibadah tapi tidak memiliki pandangan yang benar tentang Islam yang menyeluruh, ‘bagaimana Islam menyikapi alam, kehidupan dan manusia.’

Ada yang semangat belajar Islamnya baik. Antusias menghadiri majelis-majelis ilmu, tapi tidak menjaga lisannya dari ghibah (menggunjing) dan namimah (mengadu domba). Ada yang hubungan pribadinya dengan Alloh Subhanahu wa Ta’ala baik, tapi tidak menjaga hubungan baik dengan tetangga dan teman-temannya.
Ada Yang hubungannya dengan teman-teman dan tetangganya baik tapi tidak melaksanakan dengan baik hak-hak orang tua. Kurang-kalau tidak dikatakan sama sekali tidak-mereka dalam berbakti kepada kedua orang tuanya.Ada yang berbakti kepada kedua orang tuanya tetapi tidak memenuhi hak-hak suaminya. Tampil dengan dandanan indah saat menghadiri pertemuan-pertemuan dengan para wanita tetapi tidak pernah memperbaiki penampilannya di depan suaminya.

Ada yang berbakti kepada suaminya tetapi tidak membantu suaminya untuk berbakti kepada kedua orang tuanya. Atau tidak mendukung suaminya untuk berbuat kebajikan, bertakwa dan beramal shaleh.Ada yang berbakti kepada suaminya tapi kurang memperhatikan pembinaan dan pembentukan kepribadian anak-anaknya. Kurang memperatikan perkembangan kejiwaaan dan akal mereka. Kurang memperhatikan lingkungan sekitarnya yang memberikan pengaruh kepada putra-puterinya.Ada yang memperhatikan itu semua terapi kurang silaturahimnya kepada saudara-saudaranya.

Ada yang silaturahim terhadap keluarganya baik, tapi hubungannya dengan lingkungan sekitarnya tidak baik. Sibuk dengan urusan pribadinya. Tidak peduli dengan persoalan kaum muslimin dan muslimat.Ada yang memperhatikan persoalan pribadi dan umat islam tetapi kurang memperhatikan pengembangan pengetahuannya. Tidak menambah pengetahuannya dengan belajar dan terus membaca.Ada yang sibuk dengan belajar tetapi mengabaikan urusan rumah tangga, putera puterinya dan suaminya.Kalau kita merasa heran dari ini semua, keheranan kita akan bertambah ketika kita mengetahui bahwa itu semua muncul dari para wanita muslimah yang memiliki tingkat kesadaran yang cukup baik terhadap agama ini. Dari para wanita muslimah yang tumbuh dalam lingkungan Islam dan memiliki bekal pengetahuan agama yang tidak sedikit! Ini kadang-kadang dikarenakan tidak peduli atau tidak memiki pandangan yang utuh yang telah diajarkan Islam. Pandangan yang menyeluruh tentang manusia, kehidupan, dan alam sekelilingnya. Pandangan yang mendorong seseorang untuk melihat segala sesuatu dengan seimbang. Tidak memprioritaskan satu aspek dengan mengorbankan aspek lain.

Orang yang memperhatikan dengan cermat ayat-ayat Qur’an dan hadits-hadits akan mendapati begitu banyaknya  dalil yang menjelaskan perilaku yang seharusnya dimiliki wanita muslimah dalam hubungannya dengan Rabbnya, pembentukan pribadinya dan hubungannya dengan orang lain. Tatanan hidup yang mengatur segala sesuatu dari yang besar sampai yang kecil. Semua nash tersebut akan memberikan rambu-rambu yang mengantarkan pada kehidupan yang terarah dan seimbang. Kehidupan yang menjamin kebahagiaan, kesuksesan di dunia dan dan keberuntungan yang sangat besar di hari kemudian. Semua ini yang telah digariskan oleh Islam dalam Al-Qur’an  dan sunnah akan mengantarkan seorang wanita muslimah mendapatkan kepribadiannya yang asli. Kepribadian yang sejalan dengan fitrahnya. Sehingga melahirkan wanita muslimah yang unggul, mulia dan istimewa dalam perasaan, pemikiran, prilaku dan hubungannya.

Mencapai tingkat tersebut sangatlah  penting bagi kehidupan umat manusia secara umum karena wanita memiliki pengaruh yang sangat besar bagi kehidupan generasi mendatang, mencetak para pejuang, menanamkan nilai-nilai, menghiasi kehidupan dengan cinta, kasih sayang dan keindahan serta memenuhi rumah tangga dengan rasa aman, tenang, tentram dan damai. Wanita muslimah adalah satu-satunya wanita yang sanggup menerangi dunia wanita modern yang telah jenuh dengan filsafat materialisme dan pola hidup jahiliyah yang mendominasi kehidupan masa kini. Hal itu dengan mengenalkan dirinya, menghadapkan dirinya pada sumber permikiran yang murni untuk kemudian menata kembali kepribadiannya yang asli yaitu kepribadian yang telah dibentuk oleh Al-Qur’an dan As Sunnah.

Mudah-mudahan Allah Subhaanahu Wata’aala memberikan taufiq pada kita semua untuk istiqamah dalam agama yang telah dibawa Rasul-Nya shallallaahu ‘alaihi wa sallam.

(Sumber Rujukan: Jati Diri Wanita Muslimah oleh Syaikh Ali Al-Hasyimi)

Rabu, 13 April 2011

Prancis Larang Cadar

Diposting oleh Wanita Sholehah di 18.50 0 komentar
Sejak Senin (11/4), Prancis resmi memberlakukan larangan memakai cadar bagi warganya saat berada di tempat umum. Penerapan UU ini menuai protes kaum muslim Eropa, salah satunya di London, Inggris.
Dengan larangan itu, wanita yang memakai cadar di tempat umum bisa dipanggil ke kantor polisi dan diminta untuk melepas penutup wajahnya atau membayar denda. Kenza Drider adalah wanita pertama yang diamankan polisi Prancis. Pascal Le Segretain/Getty Images.
Kenza Drider diamankan polisi saat memprotes pemberlakuan undang-undang baru ini di depan Gereja Notre Dame, Senin (11/4). Pascal Le Segretain/Getty Images.
Larangan memakai cadar ini juga menuai protes dari muslimah London, Inggris. Peter Macdiarmid/Getty Images.
Mereka berunjuk rasa di depan Kedutaan Prancis di London. Peter Macdiarmid/Getty Images.
Dalam aksinya mereka mengecam presiden Prancis. Mereka juga membentangkan poster, salah satunya bertuliskan "Nicolas Sarkozy go to hellfire". Peter Macdiarmid/Getty Images
Anger: Muslim women in full burka demonstrate against the new law outside the French Embassy in London
Hate preacher: Abu Izzadeen, who has previously been jailed for incitement, speaks during the London protest

Perjalanan Menuju Akhirat

Diposting oleh Wanita Sholehah di 04.19 0 komentar
Hari akhirat, hari setelah kematian yang wajib diyakini kebenarannya oleh setiap orang yang beriman kepada Allah ta’ala dan kebenaran agama-Nya. Hari itulah hari pembalasan semua amal perbuatan manusia, hari perhitungan yang sempurna, hari ditampakkannya semua perbuatan yang tersembunyi sewaktu di dunia, hari yang pada waktu itu orang-orang yang melampaui batas akan berkata dengan penuh penyesalan. 

يَا لَيْتَنِي قَدَّمْتُ لِحَيَاتِي

Duhai, alangkah baiknya kiranya aku dahulu mengerjakan (amal saleh) untuk hidupku ini.”
  (Qs. Al Fajr: 24)

Maka seharusnya setiap muslim yang mementingkan keselamatan dirinya benar-benar memberikan perhatian besar dalam mempersiapkan diri dan mengumpulkan bekal untuk menghadapi hari yang kekal abadi ini. Karena pada hakikatnya, hari inilah masa depan dan hari esok manusia yang sesungguhnya, yang kedatangan hari tersebut sangat cepat seiring dengan cepat berlalunya usia manusia. Allah ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Qs. Al Hasyr: 18)

Dalam menafsirkan ayat di atas Imam Qotadah berkata: “Senantiasa tuhanmu (Allah) mendekatkan (waktu terjadinya) hari kiamat, sampai-sampai Dia menjadikannya seperti besok.” (Dinukil oleh Ibnul Qayyim dalam kitab beliau Ighaatsatul Lahfan (hal. 152 – Mawaaridul Amaan). Beliau (Abu Qatadah) adalah Qotadah bin Di’aamah As Saduusi Al Bashri (wafat setelah tahun 110 H), imam besar dari kalangan tabi’in yang sangat terpercaya dan kuat dalam meriwayatkan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. (lihat kitab Taqriibut Tahdziib, hal. 409)

Semoga Allah ta’ala meridhai sahabat yang mulia Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu yang mengingatkan hal ini dalam ucapannya yang terkenal: “Hisab-lah (introspeksilah) dirimu (saat ini) sebelum kamu di-hisab (diperiksa/dihitung amal perbuatanmu pada hari kiamat), dan timbanglah dirimu (saat ini) sebelum (amal perbuatan)mu ditimbang (pada hari kiamat), karena sesungguhnya akan mudah bagimu (menghadapi) hisab besok (hari kiamat) jika kamu (selalu) mengintrospeksi dirimu saat ini, dan hiasilah dirimu (dengan amal shaleh) untuk menghadapi (hari) yang besar (ketika manusia) dihadapkan (kepada Allah ta’ala):

يَوْمَئِذٍ تُعْرَضُونَ لا تَخْفَى مِنْكُمْ خَافِيَةٌ

“Pada hari itu kamu dihadapkan (kepada Allah), tiada sesuatupun dari keadaanmu yang tersembunyi (bagi-Nya).” (Qs. Al Haaqqah: 18). (Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam kitab beliau Az Zuhd (hal. 120), dengan sanad yang hasan)

Senada dengan ucapan di atas sahabat yang mulia Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata: “Sesungguhnya dunia telah pergi meninggalkan (kita) sedangkan akhirat telah datang di hadapan (kita), dan masing-masing dari keduanya (dunia dan akhirat) memiliki pengagum, maka jadilah kamu orang yang mengagumi/mencintai akhirat dan janganlah kamu menjadi orang yang mengagumi dunia, karena sesungguhnya saat ini (waktunya) beramal dan tidak ada perhitungan, adapun besok (di akhirat) adalah (saat) perhitungan dan tidak ada (waktu lagi untuk) beramal.” (Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Az Zuhd (hal. 130) dan dinukil oleh Imam Ibnu Rajab Al Hambali dalam kitab beliau Jaami’ul ‘uluumi wal hikam (hal. 461)).

Jadilah kamu di dunia seperti orang asing…

Dunia tempat persinggahan sementara dan sebagai ladang akhirat tempat kita mengumpulkan bekal untuk menempuh perjalanan menuju negeri yang kekal abadi itu. Barangsiapa yang mengumpulkan bekal yang cukup maka dengan izin Allah dia akan sampai ke tujuan dengan selamat, dan barang siapa yang bekalnya kurang maka dikhawatirkan dia tidak akan sampai ke tujuan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kepada kita sikap yang benar dalam kehidupan di dunia dalam sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Jadilah kamu di dunia seperti orang asing atau orang yang sedang melakukan perjalanan.” (HR. Al Bukhari no. 6053)

Hadits ini merupakan bimbingan bagi orang yang beriman tentang bagaimana seharusnya dia menempatkan dirinya dalam kehidupan di dunia. Karena orang asing (perantau) atau orang yang sedang melakukan perjalanan adalah orang yang hanya tinggal sementara dan tidak terikat hatinya kepada tempat persinggahannya, serta terus merindukan untuk kembali ke kampung halamannya. Demikianlah keadaan seorang mukmin di dunia yang hatinya selalu terikat dan rindu untu kembali ke kampung halamannya yang sebenarnya, yaitu surga tempat tinggal pertama kedua orang tua kita, Adam ‘alaihis salam dan istrinya Hawa, sebelum mereka berdua diturunkan ke dunia. Dalam sebuah nasehat tertulis yang disampaikan Imam Hasan Al Bashri kepada Imam Umar bin Abdul Azizi, beliau berkata: “…Sesungguhnya dunia adalah negeri perantauan dan bukan tempat tinggal (yang sebenarnya), dan hanyalah Adam ‘alaihis salam diturunkan ke dunia ini untuk menerima hukuman (akibat perbuatan dosanya)…” (Dinukil oleh Ibnul Qayyim dalam kitab beliau Ighaatsatul Lahfaan (hal. 84 – Mawaaridul Amaan))

Dalam mengungkapkan makna ini Ibnul Qayyim berkata dalam bait syairnya:

Marilah (kita menuju) surga ‘adn (tempat menetap) karena sesungguhnya itulah
Tempat tinggal kita yang pertama, yang di dalamnya terdapat kemah (yang indah)
Akan tetapi kita (sekarang dalam) tawanan musuh (setan), maka apakah kamu melihat
Kita akan (bisa) kembali ke kampung halaman kita dengan selamat?
(Miftaahu Daaris Sa’aadah (1/9-10), juga dinukil oleh Ibnu Rajab dalam kitab beliau Jaami’ul ‘Uluumi Wal Hikam (hal. 462))

Sikap hidup ini menjadikan seorang mukmin tidak panjang angan-angan dan terlalu muluk dalam menjalani kehidupan dunia, karena “barangsiapa yang hidup di dunia seperti orang asing, maka dia tidak punya keinginan kecuali mempersiapkan bekal yang bermanfaat baginya ketika kembali ke kampung halamannya (akhirat), sehingga dia tidak berambisi dan berlomba bersama orang-orang yang mengejar dunia dalam kemewahan (dunia yang mereka cari), karena keadaanya seperti seorang perantau, sebagaimana dia tidak merasa risau dengan kemiskinan dan rendahnya kedudukannya di kalangan mereka.” (Ucapan Imam Ibnu Rajab dalam kitab beliau Jaami’ul ‘Uluumi Wal Hikam (hal. 461), dengan sedikit penyesuaian)

Makna inilah yang diisyaratkan oleh sahabat yang meriwayatkan hadits di atas, Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu ketika beliau berkata: “Jika kamu (berada) di waktu sore maka janganlah tunggu datangnya waktu pagi, dan jika kamu (berada) di waktu pagi maka janganlah tunggu datangnya waktu sore, serta gunakanlah masa sehatmu (dengan memperbanyak amal shaleh sebelum datang) masa sakitmu, dan masa hidupmu (sebelum) kematian (menjemputmu).” (Diriwayatkan oleh imam Al Bukhari dalam kitab Shahihul Bukhari, no. 6053).

Bahkan inilah makna zuhud di dunia yang sesungguhnya, sebagaimana ucapan Imam Ahmad bin Hambal ketika beliau ditanya: Apakah makna zuhud di dunia (yang sebenarnya)? Beliau berkata: “(Maknanya adalah) tidak panjang angan-angan, (yaitu) seorang yang ketika dia (berada) di waktu pagi dia berkata: Aku (khawatir) tidak akan (bisa mencapai) waktu sore lagi.” (Dinukil oleh oleh Ibnu Rajab dalam kitab beliau Jaami’ul ‘Uluumi Wal Hikam (hal. 465))

وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوى

Berbekallah, dan sungguh sebaik-baik bekal adalah takwa

Sebaik-baik bekal untuk perjalanan ke akhirat adalah takwa, yang berarti “menjadikan pelindung antara diri seorang hamba dengan siksaan dan kemurkaan Allah yang dikhawatirkan akan menimpanya, yaitu (dengan) melakukan ketaatan dan menjauhi perbuatan maksiat kepada-Nya.” (Ucapan Imam Ibnu Rajab dalam kitab Jaami’ul ‘Uluumi Wal Hikam (hal. 196))

Maka sesuai dengan keadaan seorang hamba di dunia dalam melakukan ketaatan kepada Allah dan meninggalkan perbuatan maksiat, begitu pula keadaannya di akhirat kelak. Semakin banyak dia berbuat baik di dunia semakin banyak pula kebaikan yang akan di raihnya di akhirat nanti, yang berarti semakin besar pula peluangnya untuk meraih keselamatan dalam perjalanannya menuju surga. Inilah diantara makna yang diisyaratkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabda beliau: “Setiap orang akan dibangkitkan (pada hari kiamat) sesuai dengan (keadaannya) sewaktu dia meninggal dunia.” 
(HR. Muslim, no. 2878). Artinya: Dia akan mendapatkan balasan pada hari kebangkitan kelak sesuai dengan amal baik atau buruk yang dilakukannya sewaktu di dunia. (Lihat penjelasan Al Munaawi dalam kitab beliau Faidhul Qadiir (6/457))

Landasan utama takwa adalah dua kalimat syahadat: Laa ilaaha illallah dan Muhammadur Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu, sebaik-baik bekal yang perlu dipersiapkan untuk selamat dalam perjalanan besar ini adalah memurnikan tauhid (mengesakan Allah ta’ala dalam beribadah dan menjauhi perbuatan syirik) yang merupakan inti makna syahadat Laa ilaaha illallah dan menyempurnakan al ittibaa’ (mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menjauhi perbuatan bid’ah) yang merupakan inti makna syahadat Muhammadur Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Maka dari itu, semua peristiwa besar yang akan dialami manusia pada hari kiamat nanti, Allah akan mudahkan bagi mereka dalam menghadapinya sesuai dengan pemahaman dan pengamalan mereka terhadap dua landasan utama Islam ini sewaktu di dunia. Fitnah (ujian keimanan) dalam kubur yang merupakan peristiwa besar pertama yang akan dialami manusia setelah kematiannya, mereka akan ditanya oleh dua malaikat: Munkar dan Nakir (Sebagaimana yang disebutkan dalam hadits riwayat At Tirmidzi (no. 1083) dan dinyatakan shahih oleh Syaikh Al Albani dalam Ash Shahiihah, no. 1391) dengan tiga pertanyaan: Siapa Tuhanmu?, apa agamamu? dan siapa nabimu? (Sebagaimana yang disebutkan dalam hadits shahih riwayat Ahmad (4/287-288), Abu Dawud, no. 4753 dan Al Hakim (1/37-39), dinyatakan shahih oleh Al Hakim dan disepakati oleh Adz Dzahabi.). Allah hanya menjanjikan kemudahan dan keteguhan iman ketika mengahadapi ujian besar ini bagi orang-orang yang memahami dan mengamalkan dua landasan Islam ini dengan benar, sehingga mereka akan menjawab: Tuhanku adalah Allah, agamaku adalah Islam dan Nabiku adalah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Allah ta’ala berfirman:

يُثَبِّتُ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا بِالْقَوْلِ الثَّابِتِ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الْآخِرَةِ وَيُضِلُّ اللَّهُ الظَّالِمِينَ وَيَفْعَلُ اللَّهُ مَا يَشَاءُ

“Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ‘ucapan yang teguh’ dalam kehidupan di dunia dan di akhirat, dan Allah menyesatkan orang-orang yang zalim dan memperbuat apa yang Dia kehendaki.” (Qs. Ibrahim: 27)

Makna ‘ucapan yang teguh’ dalam ayat di atas ditafsirkan sendiri oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits shahih yang diriwayatkan oleh sahabat yang mulia Al Bara’ bin ‘Aazib radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Seorang muslim ketika ditanya di dalam kubur (oleh Malaikat Munkar dan Nakir) maka dia akan bersaksi bahwa tidak ada sembahan yang benar kecuali Allah (Laa Ilaaha Illallah) dan bahwa Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah utusan Allah (Muhammadur Rasulullah), itulah (makna) firman-Nya: Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ‘ucapan yang teguh’ dalam kehidupan di dunia dan di akhirat.” (HR.Al Bukhari (no. 4422), hadits yang semakna juga diriwayatkan oleh Imam Muslim (no. 2871))

Termasuk peristiwa besar pada hari kiamat, mendatangi telaga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang penuh kemuliaan, warna airnya lebih putih daripada susu, rasanya lebih manis daripada madu, dan baunya lebih harum daripada minyak wangi misk (kesturi), barangsiapa yang meminum darinya sekali saja maka dia tidak akan kehausan selamanya (Semua ini disebutkan dalam hadits yang shahih riwayat imam Al Bukhari (no. 6208) dan Muslim (no. 2292). Semoga Allah menjadikan kita semua termasuk orang-orang yang dimudahkan minum darinya). Dalam hadits yang shahih (Riwayat Imam Al Bukhari (no. 6211) dan Muslim (no. 2304) dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu) juga disebutkan bahwa ada orang-orang yang dihalangi dan diusir dari telaga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ini. Karena mereka sewaktu di dunia berpaling dari petunjuk dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada pemahaman dan perbuatan bid’ah, sehingga di akhirat mereka dihalangi dari kemuliaan meminum air telaga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagai balasan yang sesuai dengan perbuatan mereka.

Imam Ibnu Abdil Barr berkata: “Semua orang yang melakukan perbuatan bid’ah yang tidak diridhai Allah dalam agama ini akan diusir dari telaga Rasululah shallallahu ‘alaihi wa sallam (pada hari kiamat nanti), dan yang paling parah di antara mereka adalah orang-orang (ahlul bid’ah) yang menyelisihi (pemahaman) jama’ah kaum muslimin, seperti orang-orang khawarij, Syi’ah Rafidhah dan para pengikut hawa nafsu, demikian pula orang-orang yang berbuat zhalim yang melampaui batas dalam kezhaliman dan menentang kebenaran, serta orang-orang yang melakukan dosa-dosa besar secara terang-terangan, semua mereka ini dikhawatirkan termasuk orang-orang yang disebutkan dalam hadits ini (yang diusir dari telaga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam). (Kitab Syarh Az Zarqaani ‘Ala Muwaththa-il Imaami Maalik, 1/65)

Beliau (Ibnu Abdil Barr) adalah Yusuf bin Abdullah bin Muhammad bin Abdul Barr An Namari Al Andalusi (wafat 463 H), syaikhul Islam dan imam besar ahlus Sunnah dari wilayah Magrib, penulis banyak kitab hadits dan fikih yang sangat bermanfaat. Biografi beliau dalam kitab Tadzkiratul Huffaazh (3/1128). Demikian pula termasuk peristiwa besar pada hari kiamat, melintasi ash shiraath (jembatan) yang dibentangkan di atas permukaan neraka Jahannam, di antara surga dan neraka. Dalam hadits yang shahih (Riwayat imam Al Bukhari (no. 7001) dan Muslim (no. 183) dari Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu ‘anhu) disebutkan bahwa keadaan orang yang melintasi jembatan tersebut bermacam-macam sesuai dengan amal perbuatan mereka sewaktu di dunia. “Ada yang melintasinya secepat kerdipan mata, ada yang secepat kilat, ada yang secepat angin, ada yang secepat kuda pacuan yang kencang, ada yang secepat menunggang onta, ada yang berlari, ada yang berjalan, ada yang merangkak, dan ada yang disambar dengan pengait besi kemudian dilemparkan ke dalam neraka Jahannam” – na’uudzu billahi min daalik – (Ucapan syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam kitab beliau Al Aqiidah al Waasithiyyah, hal. 20) .

Syaikh Muhammad bin Shaleh Al ‘Utsaimin ketika menjelaskan sebab perbedaan keadaan orang-orang yang melintasi jembatan tersebut, beliau berkata: “Ini semua (tentu saja) bukan dengan pilihan masing-masing orang, karena kalau dengan pilihan (sendiri) tentu semua orang ingin melintasinya dengan cepat, akan tetapi (keadaan manusia sewaktu) melintasi (jembatan tersebut) adalah sesuai dengan cepat (atau lambatnya mereka) dalam menerima (dan mengamalkan) syariat Islam di dunia ini; barangsiapa yang bersegera dalam menerima (petunjuk dan sunnah) yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka diapun akan cepat melintasi jembatan tersebut, dan (sebaliknya) barangsiapa yang lambat dalam hal ini, maka diapun akan lambat melintasinya; sebagai balasan yang setimpal, dan balasan (perbuatan manusia) adalah sesuai dengan jenis perbuatannya.” (Kitab Syarhul Aqiidatil Waasithiyyah, 2/162)

وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِينَ

Balasan akhir yang baik (yaitu Surga) bagi orang-orang yang bertakwa

Akhirnya, perjalanan manusia akan sampai pada tahapan akhir; surga yang penuh kenikmatan, atau neraka yang penuh dengan siksaan yang pedih. Di sinilah Allah ta’ala akan memberikan balasan yang sempurna bagi manusia sesuai dengan amal perbuatan mereka di dunia. Allah ta’ala berfirman:

فَأَمَّا مَنْ طَغَى وَآثَرَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا فَإِنَّ الْجَحِيمَ هِيَ الْمَأْوَى، وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَى فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَى

“Adapun orang-orang yang melampaui batas, dan lebih mengutamakan kehidupan dunia, maka sesungguhnya nerakalah tempat tinggal(nya). Adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Rabbnya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal(nya)” (Qs.  An Naazi’aat: 37-41).

Maka balasan akhir yang baik hanyalah Allah peruntukkan bagi orang-orang yang bertakwa dan membekali dirinya dengan ketaatan kepada-Nya, serta menjauhi perbuatan yang menyimpang dari agama-Nya. Allah ta’ala berfirman:

تِلْكَ الدَّارُ الْآخِرَةُ نَجْعَلُهَا لِلَّذِينَ لا يُرِيدُونَ عُلُوّاً فِي الْأَرْضِ وَلا فَسَاداً وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِينَ

“Negeri akhirat itu, Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan (maksiat) di (muka) bumi, dan kesudahan (yang baik) itu (surga) adalah bagi orang-orang yang bertakwa.” (Qs. Al Qashash: 83)

Syaikh Abdurrahman As Sa’di berkata: “…Jika mereka (orang-orang yang disebutkan dalam ayat ini) tidak mempunyai keinginan untuk menyombongkan diri dan berbuat kerusakan (maksiat) di (muka) bumi, maka konsekwensinya (berarti) keinginan mereka (hanya) tertuju kepada Allah, tujuan mereka (hanya mempersiapkan bekal untuk) negeri akhirat, dan keadan mereka (sewaktu di dunia): selalu merendahkan diri kepada hamba-hamba Allah, serta selalu berpegang kepada kebenaran dan mengerjakan amal shaleh, mereka itulah orang-orang bertakwa yang akan mendapatkan balasan akhir yang baik (surga dari Allah ta’ala).” (Taisiirul Kariimir Rahmaan fi Tafsiiri Kalaamil Mannaan, hal. 453)

Penutup

Setelah kita merenungi tahapan-tahapan perjalanan besar ini, marilah kita bertanya kepada diri kita sendiri: sudahkah kita mempersiapkan bekal yang cukup supaya selamat dalam perjalanan tersebut? Kalau jawabannya: belum, maka jangan putus asa, masih ada waktu untuk berbenah diri dan memperbaiki segala kekurangan kita -dengan izin Allah ta’ala- . Caranya, bersegeralah untuk kembali dan bertobat kepada Allah, serta memperbanyak amal shaleh pada sisa umur kita yang masih ada. Dan semua itu akan mudah bagi orang yang Allah berikan taufik dan kemudahan baginya.

Imam Fudhail bin ‘Iyaadh pernah menasehati seseorang lelaki, beliau berkata: “Berapa tahun usiamu (sekarang)”? Lelaki itu menjawab: Enam puluh tahun. Fudhail berkata: “(Berarti) sejak enam puluh tahun (yang lalu) kamu menempuh perjalanan menuju Allah dan (mungkin saja) kamu hampir sampai”. Lelaki itu menjawab: Sesungguhnya kita ini milik Allah dan akan kembali kepada-Nya. Maka Fudhail berkata: “Apakah kamu paham arti ucapanmu? Kamu berkata: Aku (hamba) milik Allah dan akan kembali kepada-Nya, barangsiapa yang menyadari bahwa dia adalah hamba milik Allah dan akan kembali kepada-Nya, maka hendaknya dia mengetahui bahwa dia akan berdiri (di hadapan-Nya pada hari kiamat nanti), dan barangsiapa yang mengetahui bahwa dia akan berdiri (di hadapan-Nya) maka hendaknya dia mengetahui bahwa dia akan dimintai pertanggungjawaban (atas perbuatannya selama di dunia), dan barangsiapa yang mengetahui bahwa dia akan dimintai pertanggungjawaban (atas perbuatannya) maka hendaknya dia mempersiapkan jawabannya.” Maka lelaki itu bertanya: (Kalau demikian) bagaimana caranya (untuk menyelamatkan diri ketika itu)? Fudhail menjawab: “(Caranya) mudah.” Leleki itu bertanya lagi: Apa itu? Fudhail berkata: “Engkau memperbaiki (diri) pada sisa umurmu (yang masih ada), maka Allah akan mengampuni (perbuatan dosamu) di masa lalu, karena jika kamu (tetap) berbuat buruk pada sisa umurmu (yang masih ada), kamu akan di siksa (pada hari kiamat) karena (perbuatan dosamu) di masa lalu dan pada sisa umurmu.” (Dinukil oleh Imam Ibnu Rajab dalam kitab Jaami’ul ‘Uluumi Wal Hikam, hal. 464)

Beliau (Fudhail bin ‘Iyaadh) adalah Fudhail bin ‘Iyaadh bin Mas’uud At Tamimi (wafat 187 H), seorang imam besar dari dari kalangan atba’ut tabi’in yang sangat terpercaya dalam meriwayatkan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan seorang ahli ibadah (lihat kitab Taqriibut Tahdziib, hal. 403)
Akhirnya, kami menutup tulisan ini dengan doa dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (dalam HR. Muslim, no. 2720) dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu) untuk kebaikan agama, dunia dan akhirat kita:

Ya Allah, perbaikilah agamaku yang merupakan penentu (kebaikan) semua urusanku, dan perbaikilah (urusan) duniaku yang merupakan tempat hidupku, serta perbaikilah akhiratku yang merupakan tempat kembaliku (selamanya), jadikanlah (masa) hidupku sebagai penambah kebaikan bagiku, dan (jadikanlah) kematianku sebagai penghalang bagiku dari semua keburukan.

وَصَلَّى اللهُ وَسَلَّمَ وَبَارَكَ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَآلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ، وَآخِرُ دَعْوَانَا أَنِ الْحَمْدُ لِلّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ

Kota Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, 20 Shafar 1430 H
***

Penulis: Ustadz  Abdullah bin Taslim Al Buthoni, M.A.

HUKUM HIPNOTIS

Diposting oleh Wanita Sholehah di 04.14 0 komentar

Oleh : Lajnah Da’imah Lil Buhuts Al-Ilmiah wal Ifta’

Pertanyaan

Lajnah Da’imah Lil Buhuts Al-Ilmiah wal Ifta’ ditanya : Bagaimana hukum terhadap hipnotis dimana dengannya kemampuan pelakunya bisa bertambah kuat untuk menerawangkan fikiran korban, berikut mengendalikan dirinya dan membuatnya bisa meninggalkan sesuatu yang diharamkan, sembuh dari penyakit tegang otot atau melakukan pebuatan yang dimintanya tersebut?

Jawaban

Lembaga Tetap menjawab hal ini sebagai berikut.
Pertama : Ilmu tentang hal-hal yang ghaib merupakan hak mutlak Allah Ta’ala , tidak ada seorang pun dari makhluk-Nya yang mengetahui, baik itu jin atau pun selain mereka kecuali wahyu yang disampaikan oleh Allah kepada orang yang dikehedaki-Nya seperti kepada para malaikat atau para rasul-Nya. Dalam hal ini, Allah Ta’ala berfirman.

“Katakanlah. Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah” [An-Naml : 65]

Dia juga berfirman berkenaan dengan Nabi Sulaiman dan kemampuannya menguasai bangsa jin.
“Maka tatkala Kami telah menetapkan kematian Sulaiman, tidak ada yang menunjukkan kepada mereka kematiannya itu kecuali rayap yang memakan tongkatnya. Maka tatkala ia telah tersungkur, tahulah jin itu bahwa kalau sekiranya ,mereka mengetahui yang ghaib tentulah mereka tidak tetap dalam siksa yang menghinakan” [Saba : 14]
Demikian pula firman-Nya.

“(Dia adalah Rabb) Yang Mengetahui yang baik, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorangpun tentang yang ghaib itu. Kecuali kepada rasul yang diridhai-Nya, maka sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di muka dan dibelakangnya” [Al-Jin : 26-27]
Dalam sebuah hadits yang shahih dari An-Nuwas bin Sam’an Radhiyallahu ‘anhu dia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Bila Allah ingin mewahyukan suatu hal, Dia berbicara melalui wahyu, lalu lelangit menjadi gemetar –dalam riwayat lain : gemetar yang amat sangat seperti disambar petir- hal itu sebagai refleksi rasa takut mereka kepada Allah. Bila hal itu didengarkan oleh para penghuni lelangit, mereka pun pingsan dan bersimpuh sujud kepada Allah. Lalu yang pertama berani mengangkat kepalanya adalah Jibril, maka Allah berbicara kepadanya dari wahyu yang diinginkan-Nya kemudian Jibril berkata, ‘Allah telah berfirman dengan al-haq dan Dialah Yang Maha Tinggi Lagi Maha Besar”. Semua mereka pun mengatakan hal yang sama seperti yang telah dikatakan oleh Jibril. Lantas selesailah wahyu melalui Jibril hingga kepada apa yang diperintahkan oleh Allah Ta’ala terhadapnya” [1]
Di dalam hadits Shahih yang lain dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda :

“Bila Allah telah memutuskan perkara dilangit, para malaikat merentangkan sayap-sayapnya sebagai (refleksi) ketundukan terhadap firman-Nya ibarat rantai di atas batu besar yang licin yang menembus mereka. Maka bila rasa takut itu sudah hilang dari hati mereka, mereka berkata ‘Apa yang telah difirmankan oleh Rabb kalian?’.

Mereka yang lain berkata malaikat (Jibril) yang mengatakan Allah telah berfirman dengan yang Hak dan Dialah Maha Tinggi Lagi Maha Besar’. Lalu hal itu didengar oleh para pencuri dengar (penguping) dan para pencuri dengan lainnya, demikian satu di atas yang lainnya. (Sufyan, periwayat hadits ini sembari menjelaskan spesifikasinya dengan tangannya ; merenggangkan jemari tangan kanannya, menegakkan sebagian ke atas sebagian yang lain).

Barangkali setelah itu, anak panah telah mengenai si pendengar tersebut sebelum mengenai temannya lantas membuatnya terbakar, dan barangkali pula tidak mengenainya sehingga mengenai setelahnya yang berada di posisi lebih bawah darinya lalu mereka melemparkannya (anak panah tersebut) ke bumi –dan barangkali Sufyan berkata, ‘hingga sampai ke bumi’-, lantas ia terlempar ke mulut tukang sihir, maka diapun berdusta dengan seribu dusta karenanya, namun ucapannya malah dibenarkan, maka mereka pun berkata, ‘Bukankah dia telah memberitahukan kepada kita pada hari anu dan anu terjadi begini dan begitu, maka ternyata, kita telah mendapatkan hal itu benar adanya persis seperti kata yang didengar dari langit tersebut” [2]

Maka berdasarkan hal ini, tidak boleh meminta pertolongan kepada jin dan para makhluk selain mereka untuk mengetahui hal-hal ghaib, baik dengan cara memohon dan mendekatkan diri kepada mereka, memasang kayu gaharu ataupun lainnya. Bahkan itu adalah perbuatan syirik karena ia merupakan jenis ibadah padahal Allah telah memberitahukan kepada para hamba-Nya agar mengkhususkan ibadah hanya untuk-Nya semata, yaitu agar mereka mengatakan, “Hanya kepada-Mu kami menyembah (beribadah) dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan”.

Juga telah terdapat hadits yang shahih dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya beliau berkata kepada Ibnu Abbas, “Bila engkau meminta, maka mintalah kepada Allah dan bila engkau memohon pertolongan, maka mohonlah pertolongan kepada Allah” [3] Kedua : Hipnotis merupakan salah satu jenis sihir (perdukunan) yang mempergunakan jin sehingga si pelaku dapat menguasai diri korban, lalu berbicaralah dia melalui ucapannya dan mendapatkan kekuatan untuk melakukan sebagian pekerjaan setelah dikuasainya dirinya tersebut.

Hal ini bisa terkadi, jika si korban benar-benar serius bersamanya dan patuh. Sebaliknya, ini dilakukan si pelaku karena adanya imbalan darinya terhadap hal yang dijadikannya taqarrub tersebut. Jin tersebut membuat si korban berada di bawah kendali si pelaku untuk melakukan pekerjaan atau berita yang dimintanya. Bantuan tersebut diberikan oleh jin bila ia memang serius melakukannya bersama si pelaku.
Atas dasar ini, menggunakan hipnotis dan menjadikannya sebagai cara atau sarana untuk menunjukkan lokasi pencurian, benda yang hilang, mengobati pasien atau melakukan pekerjaan lain melalui si pelaku ini tidak boleh hukumnya.

Bahkan, ini termasuk syirik karena alasan di atas dan karena hal itu termasuk berlindung kepada selain Allah terhadap hal yang merupakan sebab-sebab biasa dimana Allah Ta’ala menjadikannya dapat dilakukan oleh para makhluk dan membolehkannya bagi mereka.

Wa Shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammad Wa Alihi Wa Shahbihi Wa Sallam

[Kumpulan Fatwa Lembaga Tetap Untuk Pengakjian Ilmiah Dan Penggodokan Fatwa, Juz 11, hal-400-402]
[Disalin dari. Kitab Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, Penyusun Khalid Al-Juraisy, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Penerjemah Musthofa Aini dkk, Penerbit Darul Haq]
________
Footnotes
[1]. As-Sunnah, Ibnu Abi Ashim, hal. 515; Shahih Ibnu Khuzaimah, kitab At-Tauhid, Juz I hal. 348-349, Al-Asma wa Ash-Shifat,Al-Baihaqy, hal.435, dan pengarang selain mereka. Dan didalam sanadnya terdapat periwayat bernama Nu’aim bin Hammad, dia seoran Mudallis (suka menyamarkan berita) dan dia meriwayatkannya dengan metode periwayatan an-an (mengatakan : dari si fulan, dari si fulan)
[2]. Shahih Al-Bukhari, Kitab At-Tafsir, no. 4701
[3]. HR Ahmad, no. 3699, 273, 2804 –versi analisis Syaikh Ahmad Syakir-, Sunan At-Turmudzi, kitab Shifah Al-Qiyamah, no. 2518

Senin, 11 April 2011

kehangatan di sela santapan

Diposting oleh Wanita Sholehah di 19.31 0 komentar
(Ummu 'Abdirrahman bintu 'Imran)

Siapa yang tak ingin anak-anaknya menjadi qurratul 'ain, penyejuk mata, penyenang hati? Qurratul 'ain berarti menyaksikan mereka selalu beramal shalih. Siapa pun yang menginginkan hal ini tentu harus berupaya untuk mewujudkannya dengan membiasakan anak-anak untuk melakukan amal shalih dan adab-adab yang mulia

Begitu pula yang dikatakan oleh sahabat yang mulia, 'Ali bin Abi Thalib :

أَدِّبُوْهُمْ، عَلِّمُوْهُمْ
“Ajarilah mereka adab dan ajarilah mereka ilmu.”

Di antara adab yang penting diketahui oleh anak-anak adalah adab makan. Bagaimana tidak. Dengan menerapkan adab ketika makan, mereka akan mendapatkan banyak kebaikan. Di antaranya akan terjauhkan dari musuh utama manusia, yaitu setan, juga akan terbiasa hidup dengan tuntunan Rasulullah n. Dengan ittiba' ini, kita berharap mereka akan mendapat kebahagiaan di akhirat nanti.

Makan bersama

Membiasakan anak-anak makan bersama dalam satu hidangan akan menumbuhkan suasana hangat dan akrab di antara mereka. Lebih bagus lagi jika kita bisa menyertai mereka makan. Akan terbina kedekatan kita dengan mereka. Selain itu, saat-saat ini adalah saat yang tepat untuk mengajarkan adab makan kepada mereka secara langsung dalam pengamalan. Kita pun akan melihat langsung jika ada kekeliruan yang mereka lakukan dalam adab-adab makan, sehingga dapat memberikan teguran sesegera mungkin. Pengajaran dan peringatan secara langsung seperti ini, diharapkan akan lebih mengena dan tertanam dalam pribadi mereka.

Lebih dari itu, makan bersama lebih berbarakah. Dikisahkan pula oleh Wahsyi bin Harb :

أَنَّ أَصْحَابَ رَسُولِ اللهِ n قَالُوا: يَا رَسُوْلَ اللهِ، إِنَّا نَأْكُلُ وَلاَ نَشْبَعُ؟ قَالَ: فَلَعَلَّكُمْ تَفْتَرِقُوْنَ. قَالُوا: نَعَمْ. قَالَ: فَاجْتَمِعُوا عَلَى طَعَامِكُمْ ، وَاذْكُرُوا اسْمَ اللهِ ، يُبَارَكْ لَكُمْ فِيْهِ

“Para sahabat Rasulullah n mengeluh kepada beliau, ‘Wahai Rasulullah, kami ini makan, tapi tidak merasa kenyang!’ ‘Barangkali kalian makan sendiri-sendiri,’ kata Rasulullah. ‘Iya,’ jawab mereka. Beliau pun mengatakan, ‘Berkumpullah pada makanan kalian dan sebutlah nama Allah, niscaya kalian akan diberkahi pada makanan itu’.” (HR. Abu Dawud no. 3764 dihasankan oleh Al-Imam Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud)

Dinukilkan pula oleh Abu Hurairah z bahwa Rasulullah n pernah bersabda:

طَعَامُ الْاِثْنَيْنِ كَافِي الثَّلاَثَةِ، وَطَعَامُ الثَّلاَثَةِ كَافِي الْأَرْبَعَةِ

“Makanan dua orang bisa mencukupi tiga orang, dan makanan tiga orang bisa mencukupi empat orang.” (HR. Al-Bukhari no. 5392 dan Muslim no. 2058)

Jabir bin ‘Abdillah c juga mengatakan bahwa Rasulullah n pernah bersabda:

طَعَامُ الْوَاحِدِ يَكْفِي الْاِثْنَيْنِ، وَطَعَامُ الْاِثْنَيْنِ يَكْفِي الْأَرْبَعَةَ، وَطَعَامُ الْأَرْبَعَةِ يَكْفِي الثَّمَانِيَةَ

“Makanan satu orang bisa mencukupi dua orang, makanan dua orang bisa mencukupi empat orang, dan makanan empat orang bisa mencukupi delapan orang.” (HR. Muslim no. 2059)

Mengucapkan basmalah ketika akan makan

Di awal kali ketika hendak makan, kita ingatkan anak-anak agar tidak lupa membaca basmalah. Ini merupakan satu hal penting yang harus diajarkan kepada anak. Rasulullah n sendiri mengajarkan hal ini kepada 'Umar bin Abi Salamah c, putra Ummu Salamah x yang ada dalam asuhan beliau. Saat itu 'Umar bin Abi Salamah sedang makan bersama Rasulullah n. Dia menceritakan:

كُنْتُ فِي حَجْرِ رَسُوْلِ اللهِ n وَكَانَتْ يَدِي تَطِيْشُ فِي الصَّحْفَةِ، فَقَالَ لِي: يَا غُلاَمُ، سَمِّ اللهَ وَكُلْ بِيَمِيْنِكَ وَكُلْ مِمَّا يَلِيْكَ

"Dulu aku berada dalam asuhan Rasulullah n. Ketika makan, tanganku berkeliling di piring. Lalu beliau mengatakan padaku, 'Nak, ucapkan bismillah, makanlah dengan tangan kananmu, dan makanlah makanan yang dekat denganmu!" (HR. Al-Bukhari no.5376 dan Muslim no.2022)

Demikianlah contoh pendidikan Rasulullah n. Beliau tak pernah meninggalkan satu kesempatan untuk memberikan pelajaran, kecuali pasti beliau berikan pengajaran. Sampaipun kepada seorang anak kecil. (Syarh Riyadhish Shalihin, 2/571) 

Hendaknya kita berikan pula penjelasan pada mereka bahwa jika seseorang mengucapkan basmalah ketika makan, maka setan tidak akan menyertainya makan. Berbeda dengan orang yang tidak mengucapkan basmalah, setan akan menyertainya makan. Dalam hadits yang disampaikan oleh Jabir z Rasulullah n bersabda:

إِذَا دَخَلَ الرَّجُلُ بَيْتَهُ فَذَكَرَ اللهَ عِنْدَ دُخُوْلِهِ وَعِنْدَ طَعَامِهِ، قَالَ الشَّيْطَانُ: لاَ مَبِيْتَ لَكُمْ وَلاَ عَشَاءَ. وَإِذَا دَخَلَ فَلَمْ يَذْكُرِ اللهَ عِنْدَ دُخُوْلِهِ، قَالَ الشَّيْطَانُ: أَدْرَكْتُمُ الْمَبِيْتَ. وَإِذَا لَمْ يَذْكُرِ اللهَ عِنْدَ طَعَامِهِ، قَالَ: أَدْرَكْتُمُ الْمَبِيْتَ وَالْعَشَاءَ

"Jika seseorang masuk rumahnya dan berdzikir kepada Allah saat masuk dan makannya, setan akan mengatakan pada teman-temannya, 'Tidak ada tempat bermalam dan makan malam bagi kalian.' Namun jika dia masuk rumah tanpa berdzikir kepada Allah ketika masuknya, setan akan mengatakan, 'Kalian mendapatkan tempat bermalam.' Jika dia tidak berdzikir kepada Allah ketika makan, setan akan mengatakan, 'Kalian mendapatkan tempat bermalam dan makan malam.' (HR. Muslim no. 2018)

Hudzaifah z juga pernah menceritakan:

كُنَّا إِذَا حَضَرْنَا مَعَ النَّبِيِّ n طَعَامًا لَمْ نَضَعْ أَيْدِيَنَا، حَتَّى يَبْدَأَ رَسُوْلُ اللهِ n فَيَضَعَ يَدَهُ. وَإِنَّا حَضَرْنَا مَعَهُ مَرَّةً طَعَامًا. فَجَاءَتْ جَارِيَةٌ كَأَنَّهَا تُدْفَعُ، فَذَهَبَتْ لِتَضَعَ يَدَهَا فِى الطَّعَامِ، فَأَخَذَ رَسُوْلُ اللهِ n بِيَدِهَا. ثُمَّ جَاءَ أَعْرَبِيٌّ كَأَنَّمَا يُدْفَعُ، فَأَخَذَ بِيَدِهِ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ n: إِنَّ الشَّيْطَانَ يَسْتَحِلُّ الطَّعَامَ أَنْ لاَ يُذْكَرَ اسْمُ اللهِ عَلَيْهِ، وَإِنَّهُ جَاءَ بِهَذِهِ الْجَارِيَةِ لِيَسْتَحِلَّ بِهَا. فَأَخَذْتُ بِيَدِهَا. فَجَاءَ بِهَذَا الْأَعْرَبِيِّ لِيَسْتَحِلَّ بِهِ فَأَخَذْتُ بِيَدِهِ، وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، إِنَّ يَدَهُ فِي يَدِي مَعَ يَدِهَا

"Biasanya kalau dihidangkan makanan di hadapan kami bersama Nabi n, kami tidak pernah meletakkan tangan kami (untuk menyentuh hidangan itu) sampai Rasulullah memulai meletakkan tangan beliau. Suatu ketika, dihidangkan makanan di hadapan kami bersama beliau. Tiba-tiba datang seorang budak perempuan, seakan-akan dia terdorong (karena cepatnya –pen), lalu meletakkan tangannya di hidangan itu. Rasulullah n langsung memegang tangannya. Setelah itu, datang seorang A'rabi, seakan-akan dia terdorong. Rasulullah n pun menahan tangannya. Kemudian beliau bersabda, 'Sesungguhnya setan menghalalkan makanan yang tidak disebut nama Allah atasnya. Tadi dia datang bersama budak perempuan itu untuk mendapatkan makanan dengannya, maka aku pegang tangannya. Lalu dia datang lagi bersama A'rabi tadi untuk mendapatkan makanan dengannya, maka aku pun memegang tangannya. Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, sungguh tangan setan berada dalam genggamanku bersama tangan jariyah itu.' " (HR. Muslim no. 2017) 

Jika ternyata anak lupa membaca basmalah ketika hendak makan, kita ajarkan untuk mengucapkan: 

بِسْمِ اللهِ أَوَّلَهُ وَآخِرَهُ
 
ketika dia ingat. Demikian yang diajarkan oleh Rasulullah n, sebagaimana dalam hadits yang disampaikan oleh 'Aisyah x, beliau bersabda:

إِذَا أَكَلَ أَحَدُكُمْ فَلْيَذْكُرِ اسْمَ اللهِ تَعَالَى، فَإِنْ نَسِيَ أَنْ يَذْكُرَ اسْمَ اللهِ تَعَالَى فِي أَوَّلِهِ، فَلْيَقُلْ: بِسْمِ اللهِ أَوَّلَهُ وَآخِرَهُ

"Jika salah seorang di antara kalian makan, hendaknya dia menyebut nama Allah. Jika dia lupa mengucapkan basmalah di awalnya, maka hendaknya dia ucapkan, 'Dengan nama Allah pada awal dan akhirnya'." (HR. Abu Dawud no. 3767, dishahihkan oleh Al-Imam Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud)

Makan dengan tangan kanan

Ini juga merupakan adab makan yang diajarkan oleh Rasulullah n kepada ‘Umar bin Abi Salamah z. Beliau mengatakan:

يَا غُلاَمُ، سَمِّ اللهَ وَكُلْ بِيَمِيْنِكَ وَكُلْ مِمَّا يَلِيْكَ
'Nak, ucapkan bismillah, makanlah dengan tangan kananmu, dan makanlah makanan yang dekat denganmu!" (HR. Al-Bukhari no. 5376 dan Muslim no. 2022)

Rasulullah n juga melarang makan dan minum dengan tangan kiri, karena ini merupakan kebiasaan setan. Dalam hadits dari ‘Abdullah bin ‘Umar c, beliau bersabda: 

إِذَا أَكَلَ أَحَدُكُمْ فَلْيَأْكُلْ بِيَمِيْنِهِ، وَإِذَا شَرِبَ فَلْيَشْرَبْ بِيَمِيْنِهِ، فَإِنَّ الشَّيْطَانَ يَأْكُلُ وَيَشْرَبُ بِشِمَالِهِ

“Jika salah seorang dari kalian makan, makanlah dengan tangan kanannya. Dan jika dia minum, minumlah dengan tangan kanannya, karena sesungguhnya setan itu makan dan minum dengan tangan kirinya.” (HR. Muslim no. 2020)

Kita ajari pula anak-anak untuk tidak meremehkan hal ini, karena biasanya anak-anak kurang memperhatikan dengan tangan apa mereka menyuapkan makanan. Kita ingatkan mereka bahwa meremehkan ajaran Rasulullah n akan membinasakan kita di dunia dan di akhirat. Untuk menguatkan pengajaran ini, kita sampaikan kisah yang terjadi di masa Rasulullah n yang disampaikan oleh Salamah ibnul Akwa’ z. Dia menuturkan:

أَنَّ رَجُلاً أَكَلَ عِنْدَ رَسُوْلِ اللهِ n بِشِمَالِهِ فَقَالَ: كُلْ بِيَمِيْنِكَ. قَالَ: لاَ أَسْتَطِيْعُ. قَالَ: لاَ اسْتَطَعْتَ. مَا مَنَعَهُ إِلاَّ الْكِبْرُ، فَمَا رَفَعَهَا إِلَى فِيْهِ

“Ada seseorang yang makan di sisi Rasulullah n dengan tangan kirinya, maka Rasulullah pun menegur, ‘Makanlah dengan tangan kananmu!’ ‘Aku tidak bisa!’ jawab orang tadi. Beliau bersabda, ‘Kamu benar-benar tidak bisa!’ Tidak ada yang menghalangi orang itu kecuali kesombongan. Maka dia pun tidak dapat mengangkat tangannya ke mulutnya.” (HR. Muslim no. 2021)

Makan dari yang dekat dengannya

Kadang anak tidak memperhatikan makanan mana yang dia ambil. Tangannya bisa berkelana mengambil bagian yang dekat dengan saudaranya. Hal ini terkadang bisa menimbulkan keributan di antara mereka, apalagi jika mereka masih kanak-kanak. 

Jika melihat ada di antara anak-anak yang melakukan seperti ini, kita hendaknya menegur dengan baik, bahwa termasuk adab makan adalah makan bagian makanan yang dekat dengannya. Begitulah yang diajarkan Rasulullah n kepada ‘Umar bin Abi Salamah ketika ‘Umar melakukan perbuatan seperti itu:

كُنْتُ فِي حَجْرِ رَسُوْلِ اللهِ n وَكَانَتْ يَدِي تَطِيْشُ فِي الصَّحْفَةِ، فَقَالَ لِي: يَا غُلاَمُ، سَمِّ اللهَ وَكُلْ بِيَمِيْنِكَ وَكُلْ مِمَّا يَلِيْكَ
"Dulu aku berada dalam asuhan Rasulullah n. Ketika makan, tanganku berkeliling di piring hidangan. Lalu beliau mengatakan padaku, 'Nak, ucapkan bismillah, makanlah dengan tangan kananmu, dan makanlah makanan yang dekat denganmu!" (HR. Al-Bukhari no. 5376 dan Muslim no. 2022)

Memungut makanan yang berjatuhan

Sering terjadi, makanan berjatuhan dan berceceran ketika anak makan. Baik karena ketidaksengajaan ataupun karena keterbatasan kemampuan si anak yang masih dalam tahap belajar makan sendiri. Kita yang melihat hal itu tidak selayaknya berdiam diri. Kita minta anak-anak untuk memunguti makanan yang berjatuhan itu, membersihkannya, lalu memakannya.

Begitu pula sisa-sisa makanan, butiran nasi, remah-remah makanan dan semacamnya yang tersisa di piring hidangan. Terkadang anak-anak enggan memunguti atau memakannya. Sebaiknyalah kita hasung mereka untuk membersihkan piring hidangan (Jawa: ngoreti –pen) dan memungut sisa makanan yang ada di situ, sembari diiringi penjelasan bahwa Rasulullah n memerintahkan demikian.

Sebagaimana dikatakan oleh Anas bin Malik z bahwa Rasulullah n bersabda:

إِذَا سَقَطَتْ لُقْمَةُ أَحَدِكُمْ فَلْيُمِطْ عَنْهَا الْأَذَى، وَلْيَأْكُلْهَا، وَلاَ يَدَعْهَا لِلشَّيْطَانِ. وَأَمَرَنَا أَنْ نَسْلُتَ الْقَصْعَةَ، قَالَ: فَإِنَّكُمْ لاَ تَدْرُوْنَ فِي أَيِّ طَعَامِكُمُ الْبَرَكَةُ

“Jika jatuh suapan salah seorang di antara kalian, hendaknya ia memungutnya dan membersihkan kotoran yang menempel padanya, lalu memakannya, dan jangan dia biarkan suapan itu untuk setan.” Beliau juga memerintahkan kami untuk membersihkan piring hidangan. Beliau mengatakan, “Sesungguhnya kalian tidak mengetahui di mana barakah makanan kalian.” (HR. Muslim no. 2034)

Tidak boleh mencela makanan

Namanya anak-anak, mereka memiliki selera makan tersendiri. Bisa jadi makanan yang tersaji tidak mereka sukai atau kurang mengundang selera mereka. Kadang spontan mereka memberi tanggapan, “Uh... makanannya tidak enak!” “Aku tidak suka makanan ini!” dan ucapan-ucapan serupa.

Menghadapi seperti ini, kita ingatkan anak-anak untuk bersyukur atas pemberian Allah l berupa makanan yang ada. Kita ingatkan pula bahwa mereka jauh lebih beruntung daripada saudara-saudara mereka yang tak memperoleh nikmat sebagaimana yang mereka dapatkan. Seharusnyalah mereka merasa cukup dengan pemberian Allah l. Rasulullah n pernah mengatakan dalam sabda beliau yang disampaikan oleh ‘Abdullah bin ‘Amr:

قَدْ أَفْلَحَ مَنْ أَسْلَمَ، وَرُزِقَ كَفَافًا، وَقَنَّعَهُ اللهُ بِمَا آتَاهُ

“Beruntunglah seseorang yang masuk Islam, lalu dia diberi rezeki yang cukup, kemudian Allah berikan pula rasa cukup atas pemberian-Nya.” 
 (HR. Muslim no. 1054)

Kita jelaskan, jika mereka tak menyukai suatu makanan, tidak boleh mencelanya dan cukup mereka tinggalkan. Demikian yang dicontohkan oleh Rasulullah n dan dituturkan hal ini oleh Abu Hurairah :

مَا عَابَ رَسُولُ اللهِ n طَعَامًا قَطُّ، إِنِ اشْتَهَاهُ أَكَلَهُ، وَإِنْ كَرِهَهُ تَرَكَهُ

“Rasulullah n tak pernah sama sekali mencela makanan. Jika beliau suka, maka beliau makan. Jika beliau tidak suka, maka beliau tinggalkan.”
(HR. Al-Bukhari no. 5409 dan Muslim no. 2064)

Jangan sampai kekenyangan

Makan di saat lapar, atau saat menghadapi hidangan yang disukai atau membuat berselera, kadang anak-anak lupa diri. Mereka makan hingga kekenyangan. Karena itu, perlulah kita ingatkan mereka agar tidak makan hingga kekenyangan. Rasulullah n pernah bersabda:

مَا مَلَأَ ابْنُ آدَمَ وِعَاءً شَرًّا مِنْ بَطْنِهِ، بِحَسْبِ ابْنُ آدَمَ أَكْلاَتٍ يُقِمْنَ صُلْبَهُ ، فَإِنْ لاَ مُحَالَةَ فَثُلُثٌ لِطَعَامِهِ وَثُلُثٌ لِشَرَابِهِ وَثُلُثٌ لِنَفَسِهِ
 
“Tidaklah anak Adam memenuhi bejana yang lebih jelek daripada perutnya. Cukuplah bagi anak Adam itu beberapa suapan yang dapat menegakkan tulang punggungnya. Jika itu tidak mungkin dia lakukan, maka sepertiga untuk makanannya, sepertiga untuk minumannya dan sepertiga untuk nafasnya.” (HR. At-Tirmidzi no. 2380, dishahihkan oleh Al-Imam Al-Albani dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi)

Menjilati jari-jemari setelah makan

Entah makan nasi, kue atau makanan lainnya, seringkali anak-anak merasa risih dengan sisa makanan yang menempel di jari-jemarinya. Kadang mereka segera mencuci tangan setelah selesai makan. Ada pula yang mengelapnya dengan serbet atau tisu, atau kadang anak yang lebih kecil cenderung mengibas-ngibaskan tangan atau mengusapnya di bajunya. 

Untuk itu, kita perlu membimbing mereka sehingga mendapatkan yang lebih baik daripada itu semua. Kita sampaikan bimbingan Rasulullah n yang dinukilkan oleh Abdullah bin ‘Abbas c. Beliau n bersabda:

إِذَا أَكَلَ أَحَدُكُمْ طَعَامًا، فَلاَ يَمْسَحْ أَصَابِعَهُ حَتَّى يَلْعَقَهَا أَوْ يُلْعِقَهَا

“Bila salah seorang di antara kalian makan, janganlah segera mengusap jari-jemarinya sampai dia jilat atau dia berikan pada orang lain untuk dijilat.” (HR. Al-Bukhari no. 5456 dan Muslim no. 2031)

Jangan minum dengan sekali teguk

Sesuatu yang lazim dilakukan anak-anak setelah makan adalah minum. Kadangkala didorong oleh rasa haus dan yang lainnya, anak-anak meneguk air di gelas tanpa henti hingga berakhir terengah-engah. Atau kalaupun bernapas, mereka enggan melepaskan mulut gelas dari mulutnya, sehingga napasnya terhembus di dalam gelas.

Karena itu, tidak sepantasnya hal-hal seperti ini luput dari perhatian kita. Kita ajari mereka contoh dari Rasulullah n, sebagaimana yang disampaikan oleh Anas bin Malik :

كَانَ رَسُولُ اللهِ n يَتَنَفَّسُ فِي الشَّرَابِ ثَلاَثًا، وَيَقُوْلُ: إِنَّهُ أَرْوَى وَأْبَرَأَ وَأَمْرَأَ. قَالَ أَنَسٌ: فَأَنَا أَتَنَفَّسُ فِي الشَّرَابِ ثَلاَثًا

“Rasulullah  biasa bernapas ketika minum sebanyak tiga kali, dan beliau mengatakan, ‘Sesungguhnya yang demikian itu lebih memuaskan, lebih menghilangkan dahaga, dan lebih mudah ditelan.’ Anas pun mengatakan, ‘Maka aku pun bernapas tiga kali ketika minum’.” (HR. Muslim no. 2028)

Tentu saja bernapas ini di luar gelas, karena beliau sendiri melarang untuk bernapas atau meniup di dalam gelas. Hal ini dituturkan oleh Abu Qatadah :
أَنَّ النَّبِيَّ n نَهَى أَنْ يُتَنَفَّسَ فِي الْإِنَاءِ
“Rasulullah n melarang bernapas di dalam bejana.”
(HR. Al-Bukhari no. 5630 dan Muslim no. 2035)

Hal ini disebutkan pula oleh Al-Imam An-Nawawi ketika memberikan bab pada hadits di atas: بَاب كَرَاهَةِ التَّنَفُّسِ فِي نَفْسِ الإِنَاءِ وَاسْتِحْبَابِ التَّنَفُّسِ ثَلاَثًا خَارِجَ الإِنَاءِ (Bab tentang dibencinya bernapas di dalam bejana dan disenanginya bernapas tiga kali di luar bejana).

Bersyukur dan memuji Allah ketika selesai makan

Usai bersantap, jangan lupa kita ingatkan anak-anak untuk bersyukur kepada Allah atas nikmat-Nya berupa makanan yang telah dinikmati. Ajarkan anak-anak untuk mengucapkan hamdalah sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah n.
Abu Umamah z meriwayatkan bahwa Nabi n jika telah diangkat hidangan, beliau mengucapkan:

الْحَمْدُ لِلهِ حَمْدًا كَثِيْرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيْهِ غَيْرَ مَكْفِيٍّ وَلاَ مُوَدَّعٍ وَلاَ مُسْتَغْنًى عَنْهُ رَبَّنَا

"Segala puji bagi Allah dengan pujian yang banyak, baik dan berkah pada-Nya. Dia tidak membutuhkan pemberian makanan dari makhluk-Nya (karena Dia yang memberikan makanan), tidak ditinggalkan dan tidak ada satu makhluk pun yang merasa tidak membutuhkan-Nya, wahai Rabb kami."
(HR. Al-Bukhari no. 5458)

Mu’adz bin Anas z juga meriwayatkan bahwa Rasulullah n bersabda:

مَنْ أَكَلَ طَعَامًا فَقَالَ: الْحَمْدُ لِلهِ الَّذِي أَطْعَمَنِي هَذَا الطَّعَامَ، وَرَزَقَنِيْهِ مِنْ غَيْرِ حَوْلٍ مِنِّي وَلاَ قُوَّةٍ؛ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

“Barangsiapa makan makanan, lalu mengucapkan: ‘Segala puji bagi Allah yang telah memberikan makanan ini padaku dan merezekikannya untukku tanpa daya dan kekuatan dari diriku’, akan diampuni dosanya yang telah lalu.” (HR. Abu Dawud no. 4023, dihasankan oleh Al-Imam Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud)

Masih banyak yang tersisa berkaitan dengan adab-adab makan yang perlu kita ajarkan. Namun setidaknya, ini merupakan pengingat bagi kita, orang tua, ketika menyaksikan hal-hal yang seringkali kita jumpai saat anak-anak kita bersantap, agar tidak berdiam diri. 

Yang lebih utama dan menjadi bagian penting dalam pengajaran adab terhadap anak-anak adalah contoh dan teladan dari diri kita, orangtua mereka. Pada diri kita mereka bercermin, mengamati nilai benar atau salah dalam setiap perilaku kita. 

Wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab.