Sabtu, 26 Februari 2011

Nasehat Ayah Kepada Putrinya

Penulis : Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah
Ketika anak perempuannya telah menikah, orangtua tak serta merta lepas tangan begitu saja. Pendidikan serta bimbingan mereka masih diperlukan meskipun hal itu menjadi tanggung jawab utama sang suami.
Dengan terjalinnya ikatan pernikahan, perwalian seorang anak perempuan berpindah dari sang ayah kepada suaminya. Suaminya lah kini yang mengambil alih tugas sang ayah untuk mendidik, membimbing, menjaga serta menghidupinya. Suamilah yang bertanggung jawab memberikan pengajaran agama kepada istrinya guna menyelamatkannya dari api neraka, menasihatinya ketika menyimpang dari kebenaran serta meluruskannya.
Namun demikian, bukan berarti seorang ayah kemudian tutup mata dari kesalahan putrinya ketika ia telah berumah tangga, merasa tidak perlu lagi menasihatinya dan membimbing tangannya kepada kebenaran. Bahkan semestinya, ketika memang dibutuhkan, seorang ayah membantu anak menantunya (suami putrinya) dengan turut memberikan arahan yang positif kepada putrinya dalam rangka melanggengkan kebersamaan putrinya bersama sang suami. Kita ambil contoh apa yang dilakukan oleh seorang ayah yang bijak, Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu, ketika menasihati Hafshah putrinya, dalam persoalan dengan suaminya, Rasul yang mulia Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kisahnya tercatat dengan panjang dalam sebuah hadits yang agung. Agar kita tak luput dari faedahnya, kita bawakan makna haditsnya secara lengkap.
Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkisah, “Aku terus berkeinginan kuat untuk bertanya kepada Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu tentang siapakah dua istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dinyatakan dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
إِنْ تَتُوبَا إِلَى اللهِ فَقَدْ صَغَتْ قُلُوبُكُمَا
Apabila kalian berdua bertaubat kepada Allah, maka sungguh hati kalian berdua telah condong (untuk menerima kebaikan)….” (At-Tahrim: 4)
Hingga ketika aku berhaji bersamanya, aku mendapatkan kesempatan itu. Saat itu Umar berbelok dari jalan yang semestinya dilalui karena hendak buang hajat. Aku pun ikut belok bersamanya dengan membawa seember air. Seselesainya dari buang hajat, aku menuangkan air di atas kedua tangannya, hingga ia pun berwudhu. Aku pun bertanya, “Wahai Amirul Mukminin, siapakah dua orang istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang Allah Subhanahu wa Ta’ala nyatakan dalam firman-Nya:
إِنْ تَتُوبَا إِلَى اللهِ فَقَدْ صَغَتْ قُلُوبُكُمَا
Umar menjawab, “Mengherankan sekali kalau engkau sampai tidak tahu siapa keduanya, wahai Ibnu Abbas! Keduanya adalah Aisyah dan Hafshah.”
Kemudian Umar mulai berkisah sebab turunnya ayat tersebut. Katanya, “Aku dan tetanggaku dari Anshar berdiam di Bani Umayyah bin Zaid, mereka ini termasuk penduduk yang bermukim di kampung-kampung dekat kota Madinah. Kami berdua biasa saling bergantian untuk turun menemui Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam guna mendengarkan ilmu yang beliau sampaikan, sehari gilirannya dan hari berikutnya giliranku. Bila giliran aku yang turun dan aku mendapati berita hari tersebut, baik berupa wahyu ataupun selainnya, aku mesti datang menemui temanku guna menyampaikan semua yang kudapatkan. Bila gilirannya, ia pun melakukan hal yang sama.
Kami ini orang-orang Quraisy sangat dominan atas istri-istri kami, mereka tunduk sepenuhnya pada kehendak kami dan kami tidak pernah melibatkan mereka sedikitpun dalam urusan kami. Tatkala kami datang ke negeri orang-orang Anshar, kami dapati ternyata mereka dikalahkan oleh istri-istri mereka. Istri-istri mereka turut angkat suara dalam urusan mereka dan berani menjawab. Maka mulailah wanita-wanita kami mengambil dan mencontoh kebiasaan wanita-wanita Anshar. Suatu ketika, aku marah kepada istriku, ternyata ia berani menjawab ucapanku dan membantahku, aku pun mengingkari hal tersebut. Istriku malah berkata, “Mengapa engkau mengingkari apa yang kulakukan? Padahal demi Allah, istri-istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berani menjawab dan membantah beliau. Sungguh salah seorang dari mereka pernah sampai memboikot Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari awal siang sampai malam hari.”
Aku terkejut dengan penyampaian istriku, “Sungguh merugi yang melakukan hal itu,” tukasku. Kemudian aku mengenakan pakaianku secara lengkap, lalu turun ke Madinah menuju rumah putriku Hafshah.
“Wahai Hafshah, apakah benar salah seorang dari kalian pernah marah pada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari awal siang hingga malam hari?” tanyaku meminta keterangan.
“Iya,” jawab Hafshah.
“Kalau begitu engkau merugi, apakah engkau merasa aman bila Allah Subhanahu wa Ta’ala sampai murka disebabkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dibuat marah, hingga akhirnya engkau akan binasa? Jangan engkau banyak meminta kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, jangan engkau menjawabi dan membantah beliau dalam suatu perkara pun serta jangan berani memboikot beliau. Mintalah kepadaku apa yang engkau inginkan. Jangan sekali-kali membuatmu tertipu dengan keberadaan madumu, Aisyah, ia lebih cantik darimu dan lebih dicintai oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Demikian aku menasihati Hafshah.
Sebelumnya kami telah memperbincangkan bahwa Ghassan telah memakaikan sepatu pada kuda-kudanya guna memerangi kami.
Turunlah temanku si orang Anshar pada hari gilirannya. Pada waktu Isya’, ia kembali pada kami. Diketuknya pintu rumahku dengan keras seraya berkata, “Apa di dalam rumah ada Umar?” Aku terkejut lalu keluar menemuinya. Temanku itu berkata, “Pada hari ini telah terjadi peristiwa besar.”
“Apa itu? Apakah Ghassan telah datang?” tanyaku tak sabar.
“Bukan, bahkan lebih besar dari hal itu dan lebih mengerikan. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menceraikan istri-istrinya,” jawabnya.
“Telah merugi Hafshah. Sungguh sebelumnya aku telah mengkhawatirkan ini akan terjadi,” tukasku.
Kemudian kukenakan pakaian lengkapku, lalu turun ke Madinah hingga aku menunaikan shalat fajar (shubuh) bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Selesai shalat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk ke masyrabah1nya dan memisahkan diri dari istri-istrinya di tempat tersebut. Aku pun masuk ke rumah Hafshah, ternyata kudapati ia sedang menangis, “Apa yang membuatmu menangis?” tanyaku. “Bukankah aku telah memperingatkanmu dari hal ini, apakah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menceraikan kalian?”
“Saya tidak tahu. Beliau sedang menyepi di masyrabahnya,” jawab Hafshah.
Aku keluar dari rumah Hafshah, masuk ke masjid dan mendatangi mimbar, ternyata di sekitarnya ada beberapa orang, sebagian mereka tengah menangis. Aku duduk sebentar bersama mereka, namun kemudian mengusik hatiku kabar yang kudapatkan hingga aku bangkit menuju ke masyrabah di mana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang berdiam di dalamnya. “Mintakan izin Umar untuk masuk,” ucapku kepada Rabah, budak hitam milik beliau yang menjaga masyrabahnya. Ia pun masuk dan berbicara dengan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian kembali menemuiku. “Aku telah berbicara kepada Nabi dan aku menyebut dirimu di hadapan beliau namun beliau diam saja,” ujarnya.
Aku berlalu, hingga kembali duduk bersama sekumpulan orang yang berada di sisi mimbar. Hatiku kembali terusik dengan kabar yang kudapatkan hingga aku bangkit menuju ke masyrabah, bertemu dengan Rabah dan berkata kepadanya, “Mintakan izin untuk Umar.” Ia masuk ke masyrabah kemudian kembali menemuiku. “Aku telah menyebut dirimu di hadapan beliau namun beliau diam saja,” ujarnya.
Aku kembali duduk bersama sekumpulan orang yang berada di sisi mimbar. Namun kemudian hatiku kembali terusik dengan kabar yang kudapatkan hingga untuk ketiga kalinya aku bangkit menuju ke masyrabah, bertemu dengan Rabah dan berkata kepadanya, “Mintakan izin untuk Umar.” Ia masuk ke masyrabah kemudian kembali menemuiku. “Aku telah menyebut dirimu di hadapan beliau namun beliau diam saja,” ujarnya lagi.
Ketika aku hendak berbalik pergi, tiba-tiba Rabah memanggilku, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengizinkanmu untuk masuk,” katanya.
Aku segera masuk menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ternyata beliau sedang berbaring di atas tikar, tidak ada alas di atasnya hingga tampak bekas-bekas kerikil di punggung beliau, bertelekan di atas bantal dari kulit yang berisi sabut. Aku mengucapkan salam kepada beliau, kemudian dalam keadaan berdiri aku berkata, “Wahai Rasulullah, apakah engkau menceraikan istri-istrimu?” Beliau mengangkat pandangannya, “Tidak,” jawab beliau.
“Allahu Akbar,” sambutku. Masih dalam keadaan berdiri aku berkata, “Izinkan aku untuk melanjutkan pembicaraan, wahai Rasulullah! Kita dulunya orang-orang Quraisy mengalahkan istri-istri kita, namun ketika kita datang ke Madinah kita dapati mereka dikalahkan oleh istri-istri mereka.”
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tersenyum. Aku kembali bicara, “Wahai Rasulullah, andai engkau melihatku masuk ke tempat Hafshah, aku katakan padanya, ‘Jangan sekali-kali membuatmu tertipu dengan keberadaan madumu, Aisyah, ia lebih cantik darimu dan lebih dicintai oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam’.” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tersenyum lagi, aku pun duduk ketika melihat senyuman beliau. Kemudian aku mengangkat pandanganku melihat isi masyrabah tersebut, maka demi Allah aku tidak melihat ada sesuatu di tempat tersebut kecuali tiga lembar kulit, aku pun berkata, “Mohon engkau berdoa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan kelapangan hidup bagi umatmu, sungguh Allah Subhanahu wa Ta’ala telah melapangkan (memberi kemegahan) kepada Persia dan Romawi, padahal mereka tidak beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.”
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam duduk dari posisi bersandarnya, seraya berkata, “Apakah engkau seperti itu, wahai putranya Al-Khaththab? Sungguh mereka itu adalah orang-orang yang disegerakan kesenangan (kenikmatan hidup/rizki yang baik-baik) mereka di dalam kehidupan dunia.”
“Wahai Rasulullah, mohonkanlah ampun untukku,” pintaku.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memisahkan diri dari istri-istrinya selama 29 malam disebabkan pembicaraan (rahasia) yang disebarkan oleh Hafshah kepada Aisyah radhiyallahu ‘anhuma. Beliau mengatakan, “Aku tidak akan masuk menemui mereka selama sebulan,” hal ini beliau lakukan karena kemarahan beliau yang sangat kepada mereka di mana Allah Subhanahu wa Ta’ala sampai mencela beliau dikarenakan perkara dengan mereka.”
Hadits di atas dibawakan oleh Al-Imam Al-Bukhari rahimahullahu dalam kitab Shahih-nya no. 5191, dengan judul bab Mau’izhah Ar-Rajul Ibnatahu li Hali Zaujiha, artinya: Nasihat seseorang kepada putrinya karena perkara dengan suaminya. Diriwayatkan pula oleh Al-Imam Muslim rahimahullahu dalam Shahih-nya no. 3679.
Dalam hadits ini, kata Al-Imam An-Nawawi rahimahullah, terkandung adanya pengajaran seorang ayah kepada anaknya, baik anaknya masih kecil ataupun telah dewasa, atau bahkan telah menikah, karena Abu Bakr Ash-Shiddiq dan Umar radhiyallahu ‘anhuma memberikan ta`dib “pendidikan/pengajaran” kepada kedua putri mereka, bahkan sampai memukul putri mereka2. (Al-Minhaj, 9/333)
Al-Qadhi `Iyadh rahimahullahu dalam Al-Ikmal, kitab yang berisi penjelasan beliau terhadap hadits-hadits dalam Shahih Muslim, menyatakan bahwa dalam pemberian ta’dib Umar dan Abu Bakr radhiyallahu ‘anhuma kepada kedua putri mereka menunjukkan bolehnya hal itu dilakukan oleh para ayah terhadap anak-anak mereka yang telah besar dan anak-anak perempuan mereka yang telah menikah. Al-Qadli rahimahullahu juga menyatakan bahwa dalam hadits di atas menunjukkan bagusnya pergaulan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan istri-istri beliau serta sabarnya beliau menghadapi rasa cemburu mereka dan akhlak mereka, sebagaimana beliau menghasung para suami untuk memperbaiki pergaulan dengan para istri, bersabar atas kebengkokan mereka, dan bernikmat-nikmat (istimta’) dengan mereka di atas kebengkokan tersebut3. (Al-Ikmal, 5/42,43)
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullahu menyebutkan beberapa faedah dari hadits di atas, di antaranya:
  • Terlalu menekan istri adalah perbuatan tercela karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambil kebiasaan orang Anshar dalam urusan istri-istri mereka dan meninggalkan kebiasaan kaumnya (orang Quraisy).
  • “Pengajaran” seorang ayah kepada putrinya dengan memberikan nasihat guna membaikkan si putri dalam hubungannya dengan suaminya.
  • Bolehnya ayah masuk ke rumah putrinya yang sudah menikah walaupun tanpa seizin suaminya.
  • Bersabar dengan istri, tidak ambil pusing dengan pembicaraan mereka serta memaafkan ketergeliciran mereka dalam menunaikan hak suami, kecuali bila berkaitan dengan hak Allah Subhanahu wa Ta’ala. (Fathul Bari, 9/362)
Demikianlah ilmu dan pengajaran yang agung yang kita peroleh dari sunnah nabawiyyah.
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
Catatan kaki:
1 Kamar yang tinggi, untuk naik ke atasnya harus memakai tangga, sebagaimana disebutkan dalam hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma dari cerita Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu kepadanya:
فَإِذَا رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم فِي مَشْرَبَةٍ لَهُ يَرْقَى عَلَيْهَا بِعَجَلَةٍ
“Ternyata Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berada di masyrabahnya, beliau naik ke atasnya dengan menggunakan tangga dari pelepah kurma.” (HR. ِAl-Bukhari no. 4913 dan Muslim no. 3676)
2 Sebagaimana ditunjukkan dalam hadits Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma berikut ini:
دَخَلَ أَبُوْ بَكْرٍ يَسْتَأْذِنُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم فَوَجَدَ النَّاسَ جُلُوْسًا بِبَابِهِ، لَمْ يُؤْذَنْ لِأَحَدٍ مِنْهُمْ. قَالَ: فَأُذِنَ لِأَبِي بَكْرٍ، فَدَخَلَ. ثُمَّ أَقْبَلَ عُمَرُ فَاسْتَأْذَنَ، فَأُذِنَ لَهُ، فَوَجَدَ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم جَالِسًا، حَوْلَهُ نِسَاؤُهُ، وَاجِمًا سَاكِتًا.
Abu Bakr masuk minta izin untuk menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia dapatkan orang-orang sedang duduk di depan pintu rumah beliau, tidak ada seorang pun dari mereka yang diizinkan masuk. Jabir berkata, “Abu Bakr diizinkan maka ia pun masuk. Kemudian datang Umar meminta izin, ia pun diizinkan masuk. Umar mendapati Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang duduk dalam keadaan sedih terdiam, di sekitar beliau ada istri-istrinya.”
Jabir melanjutkan haditsnya, di antaranya disebutkan ucapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
هُنَّ حَوْلِي كَمَا تَرَى، يَسْأَلْنَنِي النَّفَقَةَ. فَقَامَ أَبُوْ بَكْرٍ إِلَى عَائِشَةَ يَجَأُ عُنُقَهَا، فَقَامَ عُمَرُ إِلَى حَفْصَةَ يَجَأُ عُنُقَهَا، كِلاَهُمَا يَقُوْلُ: تَسْأَلْنَ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم مَا لَيْسَ عِنْدَهُ؟
“Mereka (istri-istri beliau) ada di sekelilingku sebagaimana yang engkau lihat, mereka meminta nafkah kepadaku.” Mendengar hal itu bangkitlah Abu Bakar menuju putrinya Aisyah lalu memukul lehernya. Bangkit pula Umar ke arah putrinya Hafshah lalu memukul lehernya. Abu Bakar dan Umar berkata, “Apakah kalian meminta kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sesuatu yang tidak ada pada beliau?” (HR. Muslim no. 3674)
Ada pula kisah ta`dib yang dilakukan Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu terhadap putrinya Aisyah radhiyallahu ‘anha sebagaimana yang diriwayatkan oleh An-Nasa’i dalam Isyratun Nisa’, Abu Dawud dalam Sunan-nya, dan Al-Imam Ahmad dalam Musnad-nya. Disebutkan bahwa Abu Bakr minta izin masuk ke rumah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu ia mendengar suara Aisyah yang keras kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakr pun hendak memukul putrinya seraya berkata, “Wahai putrinya Fulanah, apakah kau berani bersuara keras terhadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam?!” Namun Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menghalangi Abu Bakr dan menahannya. Abu Bakr kemudian keluar dalam keadaan marah. Setelahnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Aisyah, “Wahai Aisyah, bagaimana yang engkau lihat tadi, bukankah aku telah menyelamatkanmu dari ayahmu?” Beberapa hari kemudian, datang lagi Abu Bakr minta izin masuk ke rumah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ternyata didapatkannya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah berdamai dengan Aisyah, maka Abu Bakr berkata kepada keduanya, “Masukkanlah aku ke dalam perdamaian ini sebagaimana kalian memasukkan aku ke dalam pertikaian yang lalu.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Sungguh kami telah melakukannya. Sungguh kami telah melakukannya.”
Namun hadits ini lemah sanadnya (dhaiful isnad) sebagaimana dinyatakan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Dhaif Abi Dawud.
3 Sebagaimana tersebut dalam hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إِنَّ الْمَرْأَةَ خُلِقَتْ مِنْ ضِلْعٍ، وَِإنَّ أَعْوَجَ شَيْء فِي الضِّلْعِ أَعْلاَهُ، فَإِنْ ذَهَبْتَ تُقِيْمُهُ كَسَرْتَهَا وَإِنِ اسْتَمْتَعْتَ بِهَا اِسْتَمْتَعْتَ وَفِيْهَا عِوَجٌ
“Sesungguhnya wanita diciptakan dari tulang rusuk. Dan sungguh bagian yang paling bengkok dari tulang rusuk adalah yang paling atasnya. Bila engkau ingin meluruskannya, engkau akan mematahkannya. Dan jika engkau ingin bernikmat-nikmat dengannya, engkau bisa bernikmat-nikmat namun padanya ada kebengkokan.” (HR. Al-Bukhari no. 3331 dan Muslim no. 3632)

Sumber: Asy Syariah No. 40/IV/1429 H/2008. Halaman 74-77. Judul: Nasihat Ayah kepada Putrinya. Penulis: Al Ustadzah Ummu Ishaq Al Atsariyyah. Katagori: Mengayuh Biduk. URL Sumber: http://asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=667

Siapakah Suamimu di Surga?

Oleh: Ust. Abu Muawiah.
Saudariku muslimah, tahukah kamu siapa suamimu di surga kelak?(1)  Artikel di bawah ini akan menjawab pertanyaan anti. Ini bukan ramalan dan bukan pula tebakan, tapi kepastian (atau minimal suatu prediksi yang insya Allah sangat akurat), yang bersumber dari wahyu dan komentar para ulama terhadapnya. Berikut uraiannya:
Perlu diketahui bahwa keadaan wanita di dunia, tidak lepas dari enam keadaan:
1.    Dia meninggal sebelum menikah.
2.    Dia meninggal setelah ditalak suaminya dan dia belum sempat menikah lagi sampai meninggal.
3.    Dia sudah menikah, hanya saja suaminya tidak masuk bersamanya ke dalam surga, wal’iyadzu billah.
4.    Dia meninggal setelah menikah baik suaminya menikah lagi sepeninggalnya maupun tidak (yakni jika dia meninggal terlebih dahulu sebelum suaminya).
5.    Suaminya meninggal terlebih dahulu, kemudian dia tidak menikah lagi sampai meninggal.
6.    Suaminya meninggal terlebih dahulu, lalu dia menikah lagi setelahnya.
Berikut penjelasan keadaan mereka masing-masing di dalam surga:
ý    Perlu diketahui bahwa keadaan laki-laki di dunia, juga sama dengan keadaan wanita di dunia: Di antara mereka ada yang meninggal sebelum menikah, di antara mereka ada yang mentalak istrinya kemudian meninggal dan belum sempat menikah lagi, dan di antara mereka ada yang istrinya tidak mengikutinya masuk ke dalam surga. Maka, wanita pada keadaan pertama, kedua, dan ketiga, Allah -’Azza wa Jalla- akan menikahkannya dengan laki-laki dari anak Adam yang juga masuk ke dalam surga tanpa mempunyai istri karena tiga keadaan tadi. Yakni laki-laki yang meninggal sebelum menikah, laki-laki yang berpisah dengan istrinya lalu meninggal sebelum menikah lagi, dan laki-laki yang masuk surga tapi istrinya tidak masuk surga.
Ini berdasarkan keumuman sabda Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- dalam hadits riwayat Muslim no. 2834 dari sahabat Abu Hurairah -radhiyallahu ‘anhu-:

مَا فِي الْجَنَّةِ أَعْزَبٌ

“Tidak ada seorangpun bujangan dalam surga”.
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin -rahimahullah- berkata dalam Al-Fatawa jilid 2 no. 177, “Jawabannya terambil dari keumuman firman Allah -Ta’ala-:

وَلَكُمْ فِيهَا مَا تَشْتَهِي أَنْفُسُكُمْ وَلَكُمْ فِيهَا مَا تَدَّعُونَ. نُزُلاً مِنْ غَفُوْرٍ رَحِيْمٍ

“Di dalamnya kalian memperoleh apa yang kalian inginkan dan memperoleh (pula) di dalamnya apa yang kalian minta. Turun dari Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Fushshilat: 31)
Dan juga dari firman Allah -Ta’ala-:

وَفِيهَا مَا تَشْتَهِيهِ الْأَنْفُسُ وَتَلَذُّ الْأَعْيُنُ وَأَنْتُمْ فِيهَا خَالِدُونَ

“Dan di dalam surga itu terdapat segala apa yang diingini oleh hati dan sedap (dipandang) mata dan kalian kekal di dalamnya.” (Az-Zukhruf: 71)

Seorang wanita, jika dia termasuk ke dalam penghuni surga akan tetapi dia belum menikah (di dunia) atau suaminya tidak termasuk ke dalam penghuhi surga, ketika dia masuk ke dalam surga maka di sana ada laki-laki penghuni surga yang belum menikah (di dunia). Mereka -maksud saya adalah laki-laki yang belum menikah (di dunia)-, mereka mempunyai istri-istri dari kalangan bidadari dan mereka juga mempunyai istri-istri dari kalangan wanita dunia jika mereka mau. Demikian pula yang kita katakan perihal wanita jika mereka (masuk ke surga) dalam keadaan tidak bersuami atau dia sudah bersuami di dunia akan tetapi suaminya tidak masuk ke dalam surga. Dia (wanita tersebut), jika dia ingin menikah, maka pasti dia akan mendapatkan apa yang dia inginkan, berdasarkan keumuman ayat-ayat di atas”.

Dan beliau juga berkata pada no. 178, “Jika dia (wanita tersebut) belum menikah ketika di dunia, maka Allah -Ta’ala- akan menikahkannya dengan (laki-laki) yang dia senangi di surga. Maka, kenikmatan di surga, tidaklah terbatas kepada kaum lelaki, tapi bersifat umum untuk kaum lelaki dan wanita. Dan di antara kenikmatan-kenikmatan tersebut adalah pernikahan”.
ý    Adapun wanita pada keadaan keempat dan kelima, maka dia akan menjadi istri dari suaminya di dunia.
ý    Adapun wanita yang menikah lagi setelah suaminya pertamanya meninggal, maka ada perbedaan pendapat di kalangan ulama. Sebagian ulama -seperti Syaikh Ibnu ‘Ustaimin- berpendapat bahwa wanita tersebut akan dibiarkan memilih suami mana yang dia inginkan.
Ini merupakan pendapat yang cukup kuat, seandainya tidak ada nash tegas dari Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- yang menyatakan bahwa seorang wanita itu milik suaminya yang paling terakhir. Beliau -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:

اَلْمَرْأَةُ لِآخِرِ أَزْوَاجِهَا

“Wanita itu milik suaminya yang paling terakhir”. (HR. Abu Asy-Syaikh dalam At-Tarikh hal. 270 dari sahabat Abu Darda` dan dishohihkan oleh Syaikh Al-Albany dalam Ash-Shohihah: 3/275/1281)
Dan juga berdasarkan ucapan Hudzaifah -radhiyallahu ‘anhu- kepada istri beliau:

إِنْ شِئْتِ أَنْ تَكُوْنِي زَوْجَتِي فِي الْجَنَّةِ فَلاَ تُزَوِّجِي بَعْدِي. فَإِنَّ الْمَرْأَةَ فِي الْجَنَّةِ لِآخِرِ أَزْوَاجِهَا فِي الدُّنْيَا. فَلِذَلِكَ حَرَّمَ اللهُ عَلَى أَزْوَاجِ النَّبِيِّ أَنْ يَنْكِحْنَ بَعْدَهُ لِأَنَّهُنَّ أَزْوَاجُهُ فِي الْجَنَّةِ

“Jika kamu mau menjadi istriku di surga, maka janganlah kamu menikah lagi sepeninggalku, karena wanita di surga milik suaminya yang paling terakhir di dunia. Karenanya, Allah mengharamkan para istri Nabi untuk menikah lagi sepeninggal beliau karena mereka adalah istri-istri beliau di surga”.
(HR. Al-Baihaqi: 7/69/13199 )

Faidah:

Dalam sholat jenazah, kita mendo’akan kepada mayit wanita:

وَأَبْدِلْهَا زَوْجًا خَيْرًا مِنْ زَوْجِهَا

“Dan gantilah untuknya suami yang lebih baik dari suaminya (di dunia)”.

Masalahnya, bagaimana jika wanita tersebut meninggal dalam keadaan belum menikah. Atau kalau dia telah menikah, maka bagaimana mungkin kita mendo’akannya untuk digantikan suami sementara suaminya di dunia, itu juga yang akan menjadi suaminya di surga?

Jawabannya adalah sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikh Ibnu ‘Utsaimin -rahimahullah-. Beliau menyatakan, “Kalau wanita itu belum menikah, maka yang diinginkan adalah (suami) yang lebih baik daripada suami yang ditakdirkan untuknya seandainya dia hidup (dan menikah). Adapun kalau wanita tersebut sudah menikah, maka yang diinginkan dengan “suami yang lebih baik dari suaminya” adalah lebih baik dalam hal sifat-sifatnya di dunia (2). Hal ini karena penggantian sesuatu kadang berupa pergantian dzat, sebagaimana misalnya saya menukar kambing dengan keledai. Dan terkadang berupa pergantian sifat-sifat, sebagaimana kalau misalnya saya mengatakan, “Semoga Allah mengganti kekafiran orang ini dengan keimanan”, dan sebagaimana dalam firman Allah -Ta’ala-:

يَوْمَ تُبَدَّلُ الْأَرْضُ غَيْرَ الْأَرْضِ وَالسَّمَوَاتُ

“(Yaitu) pada hari (ketika) bumi diganti dengan bumi yang lain dan (demikian pula) langit.” (Ibrahim: 48)

Bumi (yang kedua) itu juga bumi (yang pertama) akan tetapi yang sudah diratakan, demikian pula langit (yang kedua) itu juga langit (yang pertama) akan tetapi langit yang sudah pecah”. Jawaban beliau dinukil dari risalah Ahwalun Nisa` fil Jannah karya Sulaiman bin Sholih Al-Khurosy.
___________
(1) Karenanya sebelum berpikir masalah ini, pikirkan dulu bagaimana caranya masuk surga.
(2) Maksudnya, suaminya sama tapi sifatnya menjadi lebih baik dibandingkan ketika di dunia.
Sumber: http://al-atsariyyah.com/?p=1390

Melembutkan Suara


بسم الله الرحمن الرحيم
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فَلَا تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ
Maka janganlah kalian tunduk dalam ucapan hingga berkeinginan jeleklah orang yang di hatinya ada penyakit.(Al-Azhab: 32)

sementara diketahui , tabiat seorang remaja putri, ia merasa malu dan memerah wajahnya bila berbicara dengan lelaki mana pun. Apakah ini termasuk hal yang dilarang bila sampai suaranya berubah saat ia terpaksa berbicara?
Jawab:
Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullahu menjawab:
Pertama: seorang wanita tidak boleh berbicara dengan lelaki yang bukan mahramnya (ajnabi) kecuali bila dibutuhkan dan dengan suara yang tidak membangkitkan syahwat lelaki. Juga si wanita tidak boleh memperluas pembicaraan dengan lelaki ajnabi melebihi kebutuhan.
Kedua: Melembutkan suara yang dilarang dalam Al-Qur’an adalah melunakkan suara dan membaguskannya sehingga dapat membangkitkan fitnah. Oleh karena itu, seorang wanita tidak boleh mengajak bicara lelaki ajnabi dengan suara yang lembut. Ia tidak boleh pula berbicara dengan lelaki ajnabi sebagaimana berbicara dengan suaminya, karena hal tersebut dapat menggoda, menggerakkan syahwat, dan terkadang menyeret kepada perbuatan keji. Sementara itu, telah dimaklumi bahwa syariat yang penuh hikmah ini datang untuk menutup segala jalan/perantara yang mengantarkan kepada hal yang dilarang.
Adapun perubahan suara si wanita karena malu tidaklah termasuk melembutkan suara. Wallahu a’lam.

(Jaridah al-Muslimun no. 68, sebagaimana dinukil dalam Fatawa al-Mar’ah al-Muslimah, hal. 689-690)

(Sumber: Asy Syari’ah No. 61/VI/1431 H/2010; katagori: Fatawa Al-Mar’ah Al-Muslimah; halaman 93)

Kesaksian Para Sahabat Tentang Hafalan dan Ketelitian Abu Hurairah


Sejumlah tokoh sahabat telah memberikan kesaksian tentang banyaknya ilmu Abu Hurairah dan ketepatannya dalam meriwayatkan hadits.
Seorang laki-laki datang menemui Thalhah bin Ubaidillah lalu berkata, “Wahai Abu Muhammad, bagaimana menurutmu tentang orang Yaman ini, yakni Abu Hurairah, apakah dia lebih tahu tentang hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam daripada kalian, karena kami telah mendengar darinya hadits-hadits yang tidak pernah kami dengar dari kalian, ataukah ia berkata atas Nabi apa yang tidak pernah beliau sabdakan?”
Thalhah menjawab, “Adapun jika ia mendengar hadits yang belum pernah kami dengar, maka aku tidak meragukannya. Aku akan menceritakan kepadamu tentang hal itu. Dulu kami adalah orang-orang yang memiliki rumah, kambing dan pekerjaan. Kami mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam waktu pagi dan petang, sementara Abu Hurairah adalah orang miskin sekaligus tamu di depan pintu rumah Rasulullah, tangannya bersama tangan Rasulullah, maka kami tidak ragu bahwa ia mendengar apa yang tidak kami dengar. Kamu tidak akan mendapati seseorang yang memiliki kebaikan akan berkata-kata atas nama Rasulullah apa yang tidak beliau katakan.” (Siyar A’lam an Nubala’ (2/605-606), seperti yang diriwayatkan at Tirmidzi dalam Jami’nya, al Bukhari dalam Tarikh al Kabir, al Hakim dalam al Mustadrak dan selainnya. Sanadnya hasan)
Al Baihaqi menambahkan dalam Madkhal-nya, dari maula Thalhah, ia berkata: Ketika Abu Hurairah sedang duduk, ada seoang laki-laki lewat di depan Thalhah dan berkata kepadanya, “Abu Hurairah telah banyak meriwayatkan hadits.” Thalhah menjawab, “Sungguh kami telah mendengar seperti yang ia dengar, tapi ia hafal sedang kami lupa.” Al Hafidz Ibnu Hajar juga menyebutkannya dalam Fathul Bari.
Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma pernah ditanya, “Apakah engkau mengigkari hadits yang disampaikan Abu Hurairah?” Ia menjawab, “Tidak, tapi ia berani dan kami takut.”
Abu Hurairah berkata, “Apa dosaku jika aku hafal sedangkan mereka lupa?” (Siyar A’lam an Nubala (2/208))
Ibnu Umar berkata dalam hadits yang membicarakan tentang pahala mengantarkan jenazah, setelah Aisyah radhiyallahu ‘anha memberi kesaksian atas Abu Hurairah, “Engkau wahai Abu Hurairah, adalah orang yang paling banyak bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan paling mengetahui hadits beliau dibandingkan kami.”
Riwayat lengkapnya sebagai berikut:
Ibnu Umar melewati Abu Hurairah yang sedang menyampaikan hadits dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
“Barangsiapa mengiringi jenazah lalu ia menshalatkannya, maka ia mendapatkan (pahala) satu qirath, dan jika ia menyaksikan penguburannya, maka ia mendapatkan (pahala) dua qirath.”
Satu qirath itu lebih besar daripada Gunung Uhud. Maka Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Wahai Abu Hurairah, perhatikanlah apa yang engkau sampaikan dari nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam itu.” Abu Hurairah pun berdiri menghampirinya dan membawanya pergi kepada Aisyah radhiyallahu ‘anha, lalu Abu Hurairah berkata kepadanya, “Wahau Ummul Mukminin, aku memintamu bersumpah demi nama Allah, apakah engkau pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa mengiringi jenazah lalu ia menshalatkannya, maka ia mendapatkan (pahala) satu qirath, dan jika ia menyaksikan penguburannya, maka ia mendapatkan (pahala) dua qirath.” Aisyah menjawab “Ya pernah” kemudian Abu Hurairah berkata, “Sesungguhnya aku dulu tidak disibukkan oleh bercocok tanam dan berdagang di pasar dari menghadiri majelis Nabi. Aku meminta kepada beliau satu kata untuk diajarkan kepadaku dan sesuap makan untuk diberikan kepadaku.” Maka Ibnu Umar berkata, “Wahai Abu Hurairah, engkau adalah orang yang paling banyak menemani Nabi dan paling mengetahui hadits beliau dibanding kami.” (Diriwayatkan Imam Ahmad dalam Musnad-nya (2/302), at Tirmidzi dalam Jami’-nya (13/226) secara ringkas, dan Al Hakim dalam Mustadrak-nya (3/510-511) Ia berkata “Sanadnya shahih”)
Dari Asy’ats bin Sulaim, dari bapaknya, ia berkata, “Aku datang ke Madinah, ternyata Abu Ayyub sedang menyampaikan hadits dari Abu Hurairah, dari Rasulullah, maka aku katakana kepadanya, “Engkau juga sahabat Rasulullah.” Ia menjawab”Abu Hurairah mendengar langsung dari Rasulullah. Aku meriwayatkan hadits darinya, dari Rasulullah lebih aku sukai daripada aku meriwayatkan (secara langsung) dari Rasulullah. (Al Muatadrak (3/512), dan Siyar A’lam an Nubala (2/606)
***
artikel muslimah.or.id
disalin dari buku Bukan Seorang Pendusta, Dr. Muhammad Dhiya’ur Rahman al A’zhami, Pustaka At Tazkia

Jumat, 25 Februari 2011

Syarat-Syarat Pakaian Wanita Didalam Menutup Aurat

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarokatuh....
Bismillahirrahmaanirrahiim....

Islam mengharamkan perempuan memakai pakaian yang membentuk dan tipis sehingga nampak kulitnya. Termasuk di antaranya ialah pakaian yang dapat mempertajam bagian-bagian tubuh khususnya tempat-tempat yang membawa fitnah, seperti: payudara, paha, dan sebagainya.


Dalam haditsnya yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda: “Ada dua golongan dari ahli neraka yang belum pernah saya lihat keduanya itu: (1) Kaum yang membawa cambuk seperti ekor sapi yang mereka pakai buat memukul orang (penguasa yang kejam); (2) Perempuan-perempuan yang berpakaian tetapi telanjang, yang cenderung kepada perbuatan maksiat, rambutnya sebesar punuk unta. Mereka ini tidak akan bisa masuk surga, dan tidak akan mencium bau surga, padahal bau surga itu tercium sejauh perjalanan demikian dan demikian.” (HR. Muslim, Babul Libas)

[Bukhtun adalah salah satu macam daripada unta yang mempunyai kelasa (punuk) besar : rambut orang-orang perempuan seperti punuk unta tersebut karena rambutnya ditarik ke atas.]

Mereka dikatakan berpakaian, karena memang mereka itu melilitkannya pakaian pada tubuhnya, tetapi pada hakikatnya pakaiannya itu tidak berfungsi menutup aurat, karena itu mereka dikatakan telanjang, karena pakaiannya terlalu tipis sehingga dapat memperlihatkan kulit tubuh seperti kebanyakan pakaian perempuan sekarang ini.


Dibalik keghaiban ini, Rasulullah seolah-olah melihat apa yang terjadi di zaman sekarang ini yang kini di wujudkan dalam bentuk penataan rambut, dengan berbagai macam mode dalam salon-salon khusus, yang biasa disebut salon kecantikan, dimana banyak sekali laki-laki yang bekerja pada pekerjaan tersebut dengan upah yang sangat tinggi.

Tidak cukup sampai di situ saja, banyak pula perempuan yang merasa kurang puas dengan rambut asli pemberian Allah SWT. Untuk itu mereka membeli rambut palsu yang disambung dengan rambutnya yang asli, supaya tampak lebih menyenangkan dan lebih cantik, sehingga dengan demikian dia akan menjadi perempuan yang menarik dan memikat hati.


Aurat wanita yang tak boleh terlihat di hadapan laki-laki lain (selain suami dan mahramnya) adalah seluruh anggota badannya kecuali wajah dan telapak tangan.


Syarat-Syarat Pakaian Wanita

Pada dasarnya seluruh bahan, model dan bentuk pakaian boleh dipakai, asalkan memenuhi syarat-syarat berikut :
  1. Menutup seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan.
  2. Tidak tipis dan tidak transparan
  3. Longgar dan tidak memperlihatkan lekuk-lekuk dan bentuk tubuh (tidak ketat)
  4. Bukan pakaian laki-laki atau menyerupai pakaian laki-laki.
  5. Tidak berwarna dan bermotif terlalu menyolok. Sebab pakaian yang menyolok akan mengundang perhatian laki-laki. Dengan alasan ini pula maka membunyikan (menggemerincingkan) perhiasan yang dipakai tidak diperbolehkan walaupun itu tersembunyi di balik pakaian.

Semoga semua artikel dan eBook di blog "Artikel Islami - Free Download Ebook Islami" bermanfaat untuk kita semua. Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarokatuh....[]

Nasehat Untuk Remaja Muslim

Penulis: Redaksi Assalafy.org
Kami persembahkan nasehat ini untuk saudara-saudara kami terkhusus para pemuda dan remaja muslim. Mudah-mudahan nasehat ini dapat membuka mata hati mereka sehingga mereka lebih tahu tentang siapa dirinya sebenarnya, apa kewajiban yang harus mereka tunaikan sebagai seorang muslim, agar mereka merasa bahwa masa muda ini tidak sepantasnya untuk diisi dengan perkara yang bisa melalaikan mereka dari mengingat Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai penciptanya, agar mereka tidak terus-menerus bergelimang ke dalam kehidupan dunia yang fana dan lupa akan negeri akhirat yang kekal abadi.
Wahai para pemuda muslim, tidakkah kalian menginginkan kehidupan yang bahagia selamanya? Tidakkah kalian menginginkan jannah (surga) Allah Subhanahu wa Ta’ala yang luasnya seluas langit dan bumi? Ketahuilah, jannah Allah Subhanahu wa Ta’ala itu diraih dengan usaha yang sungguh-sungguh dalam beramal. Jannah itu disediakan untuk orang-orang yang bertaqwa yang mereka tahu bahwa hidup di dunia ini hanyalah sementara, mereka merasa bahwa gemerlapnya kehidupan dunia ini akan menipu umat manusia dan menyeret mereka kepada kehidupan yang sengsara di negeri akhirat selamanya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ
“Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” (Ali ‘Imran: 185)
Untuk Apa Kita Hidup di Dunia? Wahai para pemuda, ketahuilah, sungguh Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menciptakan kita bukan tanpa adanya tujuan. Bukan pula memberikan kita kesempatan untuk bersenang-senang saja, tetapi untuk meraih sebuah tujuan mulia. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.” (Adz Dzariyat: 56)
Beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi semua larangan-Nya. Itulah tugas utama yang harus dijalankan oleh setiap hamba Allah. Dalam beribadah, kita dituntut untuk ikhlas dalam menjalankannya. Yaitu dengan beribadah semata-mata hanya mengharapkan ridha dan pahala dari Allah subhanahu wata’ala. Jangan beribadah karena terpaksa, atau karena gengsi terhadap orang-orang di sekitar kita. Apalagi beribadah dalam rangka agar dikatakan bahwa kita adalah orang-orang yang alim, kita adalah orang-orang shalih atau bentuk pujian dan sanjungan yang lain.
Umurmu Tidak Akan Lama Lagi Wahai para pemuda, jangan sekali-kali terlintas di benak kalian: beribadah nanti saja kalau sudah tua, atau mumpung masih muda, gunakan untuk foya-foya. Ketahuilah, itu semua merupakan rayuan setan yang mengajak kita untuk menjadi teman mereka di An Nar (neraka). Tahukah kalian, kapan kalian akan dipanggil oleh Allah subhanahu wa ta’ala, berapa lama lagi kalian akan hidup di dunia ini? Jawabannya adalah sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ مَاذَا تَكْسِبُ غَدًا وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ بِأَيِّ أَرْضٍ تَمُوتُ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
“Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui apa yang akan dilakukannya besok. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Luqman: 34)
Wahai para pemuda, bertaqwalah kalian kepada Allah subhanahu wata’ala. Mungkin hari ini kalian sedang berada di tengah-tengah orang-orang yang sedang tertawa, berpesta, dan hura-hura menyambut tahun baru dengan berbagai bentuk maksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, tetapi keesokan harinya kalian sudah berada di tengah-tengah orang-orang yang sedang menangis menyaksikan jasad-jasad kalian dimasukkan ke liang lahad (kubur) yang sempit dan menyesakkan. Betapa celaka dan ruginya kita, apabila kita belum sempat beramal shalih. Padahal, pada saat itu amalan diri kita sajalah yang akan menjadi pendamping kita ketika menghadap Allah subhanahu wata’ala. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
يَتْبَعُ الْمَيِّتَ ثَلاَثَةٌ: أَهْلُهُ وَمَالُهُ وَعَمَلُهُ, فَيَرْجِعُ اثْنَانِ وَيَبْقَى وَاحِدٌ, يَرْجِعُ أَهْلُهُ
وَمَالُهُ وَيَبْقَى عَمَلُهُ.
“Yang mengiringi jenazah itu ada tiga: keluarganya, hartanya, dan amalannya. Dua dari tiga hal tersebut akan kembali dan tinggal satu saja (yang mengiringinya), keluarga dan hartanya akan kembali, dan tinggal amalannya (yang akan mengiringinya).” (Muttafaqun ‘Alaihi)
Wahai para pemuda, takutlah kalian kepada adzab Allah subhanahu wata’ala. Sudah siapkah kalian dengan timbangan amal yang pasti akan kalian hadapi nanti. Sudah cukupkah amal yang kalian lakukan selama ini untuk menambah berat timbangan amal kebaikan. Betapa sengsaranya kita, ketika ternyata bobot timbangan kebaikan kita lebih ringan daripada timbangan kejelekan. Ingatlah akan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
فَأَمَّا مَنْ ثَقُلَتْ مَوَازِينُهُ فَهُوَ فِي عِيشَةٍ رَاضِيَةٍ وَأَمَّا مَنْ خَفَّتْ مَوَازِينُهُ فَأُمُّهُ هَاوِيَةٌ وَمَا أَدْرَاكَ مَا هِيَهْ نَارٌ حَامِيَةٌ
“Dan adapun orang-orang yang berat timbangan (kebaikan)nya, maka dia berada dalam kehidupan yang memuaskan. Dan adapun orang-orang yang ringan timbangan (kebaikan)nya, maka tempat kembalinya adalah neraka Hawiyah. Tahukah kamu apakah neraka Hawiyah itu? (Yaitu) api yang sangat panas.” (Al Qari’ah: 6-11)
Bersegeralah dalam Beramal Wahai para pemuda, bersegeralah untuk beramal kebajikan, dirikanlah shalat dengan sungguh-sungguh, ikhlas dan sesuai tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Karena shalat adalah yang pertama kali akan dihisab nanti pada hari kiamat, sebagaimana sabdanya:
إِنَّ أَوَّلَ مَا يُحَاسَبُ النَّاسُ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ أَعْمَالِهِمْ الصَّلاَةُ
“Sesungguhnya amalan yang pertama kali manusia dihisab dengannya di hari kiamat adalah shalat.” (HR. At Tirmidzi, An Nasa`i, Abu Dawud, Ibnu Majah dan Ahmad. Lafazh hadits riwayat Abu Dawud no.733)
Bagi laki-laki, hendaknya dengan berjama’ah di masjid. Banyaklah berdzikir dan mengingat Allah subhanahu wata’ala. Bacalah Al Qur’an, karena sesungguhnya ia akan memberikan syafaat bagi pembacanya pada hari kiamat nanti. Banyaklah bertaubat kepada Allah subhanahu wata’ala. Betapa banyak dosa dan kemaksiatan yang telah kalian lakukan selama ini. Mudah-mudahan dengan bertaubat, Allah subhanahu wata’ala akan mengampuni dosa-dosa kalian dan memberi pahala yang dengannya kalian akan memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat.
Wahai para pemuda, banyak-banyaklah beramal shalih, pasti Allah subhanahu wata’ala akan memberi kalian kehidupan yang bahagia, dunia dan akhirat. Allah subhanahu wata’ala berfirman:
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا
مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Barangsiapa yang mengerjakan amal shalih, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik.” (An Nahl: 97)
Engkau Habiskan untuk Apa Masa Mudamu? Pertanyaan inilah yang akan diajukan kepada setiap hamba Allah subhanahu wata’ala pada hari kiamat nanti. Sebagaimana yang diberitakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam salah satu haditsnya:
لاَ تَزُوْلُ قَدَمُ ابْنِ آدَمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ عِنْدِ رَبِّهِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ خَمْسٍ : عَنْ عُمْرِهِ فِيْمَا أَفْنَاهُ وَعَنْ شَبَابِهِ فِيْمَا أَبْلاَهُ وَمَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيْمَا أَنْفَقَهُ وَمَاذَا عَمِلَ فِيْمَا عَلِمَ.
“Tidak akan bergeser kaki anak Adam (manusia) pada hari kiamat nanti di hadapan Rabbnya sampai ditanya tentang lima perkara: umurnya untuk apa dihabiskan, masa mudanya untuk apa dihabiskan, hartanya dari mana dia dapatkan dan dibelanjakan untuk apa harta tersebut, dan sudahkah beramal terhadap ilmu yang telah ia ketahui.” (HR. At Tirmidzi no. 2340)
Sekarang cobalah mengoreksi diri kalian sendiri, sudahkah kalian mengisi masa muda kalian untuk hal-hal yang bermanfaat yang mendatangkan keridhaan Allah subhanahu wata’ala? Ataukah kalian isi masa muda kalian dengan perbuatan maksiat yang mendatangkan kemurkaan-Nya? Kalau kalian masih saja mengisi waktu muda kalian untuk bersenang-senang dan lupa kepada Allah subhanahu wata’ala, maka jawaban apa yang bisa kalian ucapkan di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala Sang Penguasa Hari Pembalasan? Tidakkah kalian takut akan ancaman Allah subhanahu wata’ala terhadap orang yang banyak berbuat dosa dan maksiat? Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengancam pelaku kejahatan dalam firman-Nya:
مَنْ يَعْمَلْ سُوءًا يُجْزَ بِهِ وَلَا يَجِدْ لَهُ مِنْ دُونِ اللَّهِ وَلِيًّا وَلَا نَصِيرًا
“Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu dan ia tidak mendapat pelindung dan tidak (pula) penolong baginya selain dari Allah.” (An Nisa’: 123)
Bukanlah masa tua yang akan ditanyakan oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Oleh karena itu, pergunakanlah kesempatan di masa muda kalian ini untuk kebaikan. Ingat-ingatlah selalu bahwa setiap amal yang kalian lakukan akan dipertanggungjawabkan kelak di hadapan Allah subhanahu wata’ala. Jauhi Perbuatan Maksiat.
Apa yang menyebabkan Adam dan Hawwa dikeluarkan dari Al Jannah (surga)? Tidak lain adalah kemaksiatan mereka berdua kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Mereka melanggar larangan Allah subhanahu wata’ala karena mendekati sebuah pohon di Al Jannah, mereka terbujuk oleh rayuan iblis yang mengajak mereka untuk bermaksiat kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
Wahai para pemuda, senantiasa iblis, setan, dan bala tentaranya berupaya untuk mengajak umat manusia seluruhnya agar mereka bermaksiat kepada Allah subhanahu wa ta’ala, mereka mengajak umat manusia seluruhnya untuk menjadi temannya di neraka. Sebagaimana yang Allah subhanahu wata’ala jelaskan dalam firman-Nya (yang artinya):
إِنَّ الشَّيْطَانَ لَكُمْ عَدُوٌّ فَاتَّخِذُوهُ عَدُوًّا إِنَّمَا يَدْعُو حِزْبَهُ لِيَكُونُوا مِنْ
أَصْحَابِ السَّعِيرِ
“Sesungguhnya setan itu adalah musuh bagimu, maka jadikanlah ia musuh(mu), karena sesungguhnya setan-setan itu mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala.” (Fathir: 6)
Setiap amalan kejelekan dan maksiat yang engkau lakukan, walaupun kecil pasti akan dicatat dan diperhitungkan di sisi Allah subhanahu wata’ala. Pasti engkau akan melihat akibat buruk dari apa yang telah engkau lakukan itu. Allah subhanahu wata’ala berfirman (yang artinya):
وَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ
“Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sekecil apapun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya.” (Az Zalzalah: 8)
Setan juga menghendaki dengan kemaksiatan ini, umat manusia menjadi terpecah belah dan saling bermusuhan. Jangan dikira bahwa ketika engkau bersama teman-temanmu melakukan kemaksiatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala, itu merupakan wujud solidaritas dan kekompakan di antara kalian. Sekali-kali tidak, justru cepat atau lambat, teman yang engkau cintai menjadi musuh yang paling engkau benci. Allah subhanahu wata’ala berfirman:
إِنَّمَا يُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُوقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاءَ فِي الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَعَنِ الصَّلَاةِ فَهَلْ أَنْتُمْ مُنْتَهُونَ
“Sesungguhnya setan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu karena (meminum) khamr dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan shalat, maka berhentilah kamu (dari mengerjakan perbuatan itu).” (Al Maidah: 91)
Demikianlah setan menjadikan perbuatan maksiat yang dilakukan manusia sebagai sarana untuk memecah belah dan menimbulkan permusuhan di antara mereka. Ibadah yang Benar Dibangun di atas Ilmu Wahai para pemuda, setelah kalian mengetahui bahwa tugas utama kalian hidup di dunia ini adalah untuk beribadah kepada Allah subhanahu wata’ala semata, maka sekarang ketahuilah bahwa Allah subhanahu wata’ala hanya menerima amalan ibadah yang dikerjakan dengan benar.
Untuk itulah wajib atas kalian untuk belajar dan menuntut ilmu agama, mengenal Allah subhanahu wata’ala, mengenal Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam, dan mengenal agama Islam ini, mengenal mana yang halal dan mana yang haram, mana yang haq (benar) dan mana yang bathil (salah), serta mana yang sunnah dan mana yang bid’ah.
Dengan ilmu agama, kalian akan terbimbing dalam beribadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala, sehingga ibadah yang kalian lakukan benar-benar diterima di sisi Allah subhanahu wata’ala. Betapa banyak orang yang beramal kebajikan tetapi ternyata amalannya tidak diterima di sisi Allah subhanahu wata’ala, karena amalannya tidak dibangun di atas ilmu agama yang benar.
Oleh karena itu, wahai para pemuda muslim, pada kesempatan ini, kami juga menasehatkan kepada kalian untuk banyak mempelajari ilmu agama, duduk di majelis-majelis ilmu, mendengarkan Al Qur’an dan hadits serta nasehat dan penjelasan para ulama. Jangan sibukkan diri kalian dengan hal-hal yang kurang bermanfaat bagi diri kalian, terlebih lagi hal-hal yang mendatangkan murka Allah subhanahu wa ta’ala.
Ketahuilah, menuntut ilmu agama merupakan kewajiban bagi setiap muslim, maka barangsiapa yang meninggalkannya dia akan mendapatkan dosa, dan setiap dosa pasti akan menyebabkan kecelakaan bagi pelakunya.
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ.
“Menuntut ilmu agama itu merupakan kewajiban bagi setiap muslim.” (HR. Ibnu Majah no.224)
Akhir Kata Semoga nasehat yang sedikit ini bisa memberikan manfaat yang banyak kepada kita semua. Sesungguhnya nasehat itu merupakan perkara yang sangat penting dalam agama ini, bahkan saling memberikan nasehat merupakan salah satu sifat orang-orang yang dijauhkan dari kerugian, sebagaimana yang Allah subhanahu wata’ala firmankan dalam surat Al ‘Ashr: وَالْعَصْرِ (1)
إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ (2) إِلَّا الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ
“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih dan nasehat- menasehati dalam kebenaran dan nasehat-menasehati supaya menetapi kesabaran.” (Al ‘Ashr: 1-3)
Wallahu ta‘ala a’lam bishshowab.

Sumber: Buletin Al-Ilmu, Penerbit Yayasan As-Salafy Jember (Sumber http://www.assalafy.org/mahad/?p=418)

Jangan Percaya Ramalan Bintang


Penulis: Al Ustadzah Ummu Ishaq Al Atsariyyah
Horoskop atau mudahnya kita sebut ramalan nasib seseorang dengan melihat bintang kelahirannya, termasuk satu kolom atau rubrik yang laris manis di surat kabar, tabloid, ataupun majalah. Bahkan bisa ditanyakan lewat sms ke paranormal tertentu yang memasang iklan di sejumlah media. Yang berbintang pisces, pantasnya berjodoh dengan yang berbintang A. Keberuntungan di tahun ini demikian dan demikian… Dalam waktu-waktu dekat ini ia jangan bepergian keluar kota karena bahaya besar mengancamnya di perjalanan. Untuk yang berbintang sagitarius, tahun ini lagi apes… Tapi di penghujung tahun akan untung besar, maka bagusnya ia usaha begini dan begitu… Cocoknya ia mencari pasangan gemini. Demikian contoh ramalan yang ada!
Anehnya, ramalan dusta seperti ini banyak yang percaya. Bahkan di antara mereka bila melihat surat kabar atau majalah, rubrik dusta ini yang pertama kali mereka baca. Khususnya yang menyangkut bintang kelahiran mereka atau bintang kelahiran kerabat dan sahabat mereka. Ada yang menggantungkan usaha mereka dengan ramalan bintang, untuk mencari jodoh lihat apa bintangnya dan seterusnya.
Meyakini bahwa bintang-bintang memiliki pengaruh terhadap kejadian di alam ini hukumnya haram. Kejadian seperti ini bukan muncul belakangan behkan merupakan keyakinan kuno, keyakinan kaum Namrud, raja yang kafir zalim, yang kepada mereka Nabiullah Ibrahim ‘alaihissalam diutus. Mereka dinamakan kaum Shabi`ah, para penyembah bintang-bintang. Mereka membangun haikal dan rumah-rumah ibadah untuk menyembah bintang-bintang tersebut. Mengakar dalam keyakinan mereka bahwa bintang-bintang mengatur perkara di alam ini. Wallahul musta’an (Allah Subhanahu wa Ta’ala sajalah yang dimintai pertolongan-Nya), keyakinan syirik tersebut telah diwarisi oleh umat yang datang setelah mereka. (I’anatul Mustafid bi Syarhi Kitabit Tauhid, Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah, 2/19)
Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan bintang-bintang bukan untuk dijadikan tandingan-Nya sebagai pengatur alam semesta ini, atau sekadar memberi pengaruh terhadap kejadian di muka bumi. Sungguh, bintang-bintang tidak ada hubungannya dengan nasib dan keberuntungan seseorang.
Qatadah ibnu Di’amah As-Sadusi rahimahullahu, seorang imam yang mulia dalam masalah tafsir, hadits, dan ilmu yang lainnya mengatakan, “Allah ‘Azza wa Jalla menciptakan bintang-bintang ini untuk tiga hikmah atau faedah, Pertama: sebagai penghias langit. Kedua: sebagai pelempar setan. Ketiga: sebagai tanda-tanda dijadikan petunjuk. Siapa yang menafsirkan dengan selain tiga faedah tersebut, sungguh ia telah salah dan menyia-nyiakan bagiannya[1]. Ia juga telah membebani dirinya dengan sesuatu yang tidak memiliki ilmu tentangnya.” (Diriwayatkan oleh Al Imam Al-Bukhari rahimahullahu dalam Shahih-nya, Kitab Bad`ul Khalqi, bab Fin Nujum)
Faedah pertama dari penciptaan bintang-bintang ditunjukkan seperti dalam firman Allah ‘Azza wa Jalla:
إِنَّا زَيَّنَّا السَّمَاءَ الدُّنْيَا بِزِينَةٍ الْكَوَاكِبِ
Sesungguhnya Kami menghiasi langit dunia dengan perhiasan bintang-bintang.” (Ash Shaffat: 6)
Faedah kedua sebagai pelempar setan, seperti dalam ayat:
وَلَقَدْ زَيَّنَّا السَّمَاءَ الدُّنْيَا بِمَصَابِيحَ وَجَعَلْنَاهَا رُجُومًا لِلشَّيَاطِينِ ۖ وَأَعْتَدْنَا لَهُمْ عَذَابَ السَّعِيرِ
Sungguh Kami telah menghiasi langit dunia dengan pelita-pelita dan Kami jadikan pelita-pelita tersebut sebagai pelempar para setan….(Al-Mulk: 5)
Kenapa setan-setan itu dilempar? Karena mereka berupaya mencuri berita dari para malaikat di langit untuk kemudian disampaikan kepada dukun/tukang ramal, kekasih mereka dari kalangan manusia. Lalu dukun ini mencampurinya dengan seratus kedustaan.
Sebelum Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam diutus, para setan ini bebas mencuri berita dari langit. Namun ketika beliau telah diangkat sebagai nabi dan rasul, Allah ‘Azza wa Jalla menjaga langit dengan panah-panah api yang dilepaskan dari bintang-bintang sehingga membakar dan membinasakan setan yang jahat tersebut. Allah ‘Azza wa Jalla menyampaikan kepada kita pengabaran para jin tentang diri mereka dalam ayat-Nya yang mulia:
وَأَنَّا لَمَسْنَا السَّمَاءَ فَوَجَدْنَاهَا مُلِئَتْ حَرَسًا شَدِيدًا وَشُهُبًا وَأَنَّا كُنَّا نَقْعُدُ مِنْهَا مَقَاعِدَ لِلسَّمْعِ ۖ فَمَنْ يَسْتَمِعِ الْآنَ يَجِدْ لَهُ شِهَابًا رَصَدًا وَأَنَّا لَا نَدْرِي أَشَرٌّ أُرِيدَ بِمَنْ فِي الْأَرْضِ أَمْ أَرَادَ بِهِمْ رَبُّهُمْ رَشَدًا
Dan sesungguhnya kami telah mencoba mengetahui rahasia langit, maka kami mendapatinya penuh dengan penjagaan yang kuat dan panah-panah api. Dan sesungguhnya kami dahulu dapat menduduki beberapa tempat di langit itu untuk mendengar-dengarkan berita-beritanya. Tetapi sekarang barangsiapa yang mencoba mendengar-dengarkan seperti itu tentu akan menjumpai panah api yang mengintai untuk membakarnya. Dan sungguh dengan adanya penjagaan tersebut kami tidak mengetahui apakah keburukan yang dikehendaki bagi orang yang di bumi ataukah Rabb mereka menghendaki kebaikan bagi mereka.(Al-Jin: 8-10)
Faedah ketiga, bintang-bintang dijadikan sebagai tanda/petunjuk arah dan semisalnya. Sebagaimana Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
وَأَلْقَىٰ فِي الْأَرْضِ رَوَاسِيَ أَنْ تَمِيدَ بِكُمْ وَأَنْهَارًا وَسُبُلًا لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ
Dan Dia menancapkan gunung-gunung di bumi agar bumi itu tidak goncang bersama kalian dan Dia menciptakan sungai-sungai dan jalan-jalan agar kalian mendapatkan petunjuk. Dan Dia ciptakan tanda-tanda (penunjuk jalan). Dan dengan bintang-bintang itulah mereka mendapat petunjuk. (An-Nahl: 15)
Allah ‘Azza wa Jalla menjadikan tanda-tanda di bumi dan di langit bagi musafir sebagai penunjuk arah bagi mereka. Tanda-tanda di bumi seperti jalan-jalan dan gang-gang, demikian pula gunung-gunung. Tanda-tanda di langit berupa bintang, matahari dan bulan. Orang-orang menjadikan bintang-bintang sebagai petunjuk/tanda bagi mereka ketika mereka melakukan perjalanan. Terlebih lagi di tengah lautan yang tidak bergunung dan tidak ada rambu-rambu. Demikian pula perjalanan di malam hari, dengan melihat bintang tertentu mereka jadi mengerti arah sehingga mereka bisa menuju arah yang mereka inginkan. (I’anatul Mustafid bi Syarhi Kitabit Tauhid, 2/21)
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
وَهُوَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ النُّجُومَ لِتَهْتَدُوا بِهَا فِي ظُلُمَاتِ الْبَرِّ وَالْبَحْرِ ۗ قَدْ فَصَّلْنَا الْآيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ
Dan Dia-lah yang menjadikan bintang-bintang untuk kalian agar kalian menjadikannya sebagai petunjuk dalam kegelapan di daratan dan di lautan.(Al-An’am: 97)
Maksudnya, dengan bintang-bintang tersebut kalian dapat mengetahui arah tujuan kalian (dalam perjalanan). Bukankah yang dimaksudkan di sini bahwa bintang-bintang itu dijadikan petunjuk dalam ilmu gain, sebagaimana diyakini oleh para ahli nujum. (Fathul Majid, 2/529)
Siapa yang ingin menambah lebih dari tiga perkara ini seperti meyakini bintang-bintang itu menunjukkan kejadian di muka bumi, turunnya hujan, berhembusnya angin, kematian atau kehidupan seseorang, maka semuanya itu mengada-ada dan mengaku-aku tahu ilmu gaib. Padahal tidak ada yang tahu tentang perkara gaib kecuali hanya Allah ‘Azza wa Jalla. Dia Yang Maha Suci berfirman:
قُلْ لَا يَعْلَمُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ الْغَيْبَ إِلَّا اللَّهُ ۚ وَمَا يَشْعُرُونَ أَيَّانَ يُبْعَثُونَ
Katakanlah (ya Muhammad) tidak ada seorang pun yang ada di langit dan di bumi mengetahui perkara gaib kecuali Allah saja.” (An-Naml: 65)
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Hasan Alusy Syaikh rahimahullahu berkata mengomentari ucapan Qatadah di atas, “Perhatikanlah kemungkaran yang diingkari oleh Imam ini yang terjadi di masa tabi’in hingga sampai pada puncaknya di masa-masa ini. Bala merata di seluruh penjuru negeri, baik sedikit maupun banyak. Namun jarang didapatkan orang yang mengingkarinya dalam agama. Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.” (Fathul Majid, 2/528-529)
Meramal nasib dengan gerakan-gerakan bintang dan bentuknya termasuk dalam apa yang diistilahkan dengan ilmu ta`tsir, yaitu keyakinan bahwa bintang-bintang memberi pengaruh di alam ini. Ilmu ini haram hukumnya. Ilmu ini terbagi tiga macam, sebagiannya lebih haram daripada yang lainnya.
Pertama: meyakini bahwa bintang-bintang itulah yang menjadikan peristiwa-peristiwa di alam ini baik berupa kebaikan ataupun kejelekan, sakit ataupun sehat, paceklik ataupun panen raya, dan selainnya. Sumber kejadian di alam ini adalah gerakan-gerakan dan bentuk-bentuk bintang. Keyakinan kaum Shabi`ah ini merupakan penentangan kepada Sang Pencipta ‘Azza wa Jalla, karena menganggap adanya pencipta selain Dia, dan merupakan kekufuran yang nyata berdasarkan kesepakatan kaum muslimin.
Kedua: seseorang tidak meyakini bahwa bintang-bintang itu yang menjadikan peristiwa di alam ini. Tapi menurutnya bintang-bintang itu hanya sebab yang memberi pengaruh. Adapun yang menciptakan adalah Allah ‘Azza wa Jalla. Keyakinan ini pun batil, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak pernah menjadikan bintang-bintang itu sebagai sebab, dan bintang tersebut tidak ada hubungannya dengan apa yang berlangsung di alam ini.
Ketiga: menjadikan bintang-bintang sebagai petunjuk atas kejadian yang akan datang. Ini merupakan bentuk pengakuan terhadap ilmu gaib, masuk dalam katagori perdukunan serta sihir. Hukumnya kafir menurut kesepakatan kaum muslimin. (Al-Qaulul Mufid ‘ala Kitabit Tauhid, Asy-Syaikh Muhammad Shalih Al-Utsaimin rahimahullah 2/5,6)
Ketiga macam ilmu ta`tsir ini batil, kata Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah. Namun sayangnya, perkara batil ini disebarkan di kolom khusus pada sebagian majalah yang tidak berpegang dengan ajaran Islam. Disebutkan bahwa pada bintang A akan diperoleh ini dan itu bagi siapa yang melangsungkan pernikahan, atau siapa yang berjual beli akan beroleh laba. Sementara bintang B nahas/sial. Semua itu termasuk keyakinan jahiliah. (I’anatul Mustafid bi Syarhi Kitabit Tauhid, Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah, 2/25)
Al-Khaththabi rahimahullah berkata, “Ilmu nujum (perbintangan) yang terlarang adalah ilmu yang diaku-akui oleh ahli nujum bahwa mereka punya pengetahuan tentang alam dan peristiwa-peristiwa yang akan terjadi di masa datang. Seperti, kapan waktu berhembusnya angin dan datangnya hujan, dan kapan terjadi perubahan harga, ataupun yang semakna dengannya berupa perkara-perkara–menurut pengakuan dusta mereka– yang dapat diketahui dari perjalanan bintang-bintang di garis edarnya dan dari berkumpul atau berpisahnya bintang-bintang tersebut. Mereka mengaku-aku bahwa bintang-bintang tersebut punya pengaruh terhadap alam bawah (bumi).” (Ma’alimus Sunan 4/230, sebagaimana dinukil dalam Fathul Majid 2/527)
Demikianlah. Maka jangan percaya dengan bualan si tukang ramal, apapun sebutan untuknya. Jangan pula percaya dengan omong kosong ramalan bintang. Jangan korbankan akidah dan jangan rusak tauhid anda! Wallahu a’lam bish-shawab.
Catatan kaki:
[1] Karena ia telah menyibukkan dirinya dengan perkara yang memudharatkannya dan tidak memberikan manfaat kepadanya. (Fathul Majid, 2/530)
(Sumber: Majalah Asy Syariah No. 42/IV/1429 H/2008, halaman 92 s.d.94. Judul: Jangan Percaya Ramalan Bintang. Penulis: Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah. katagori: Mutiara Kata)

Kesehatan Ibu Islami

Ada 4 faktor kesehatan :
Sebagaimana sudah saya sampaikan bahwa memahami kesehatan hanya dari fisik saja akan memberi hasil yang tidak memuaskan, kita perhatikan bagaimana ibu/muslimah yang sehat ada 4 aspek yaitu, sehat fisik, sehat jiwa, sehat social, sehat spiritual.

Kesehatan fisik :
Kita akan mulai mengamati kecenderungan kesehatan ibu modern ini dari problem kesehatannya dan menarik garis menuju sebab dari kecenderungan itu.

A. Kecenderungan kesehatan ibu modern
Seperti sudah saya jelaskan bahwa factor penting yang berperan dalam menjadikan seseorang sehat atau tidak sehat adalah bagaimana memfungsikan karunia Allah atas badan dan jiwa kita dalam berinteraksi dengan manusia lain dan dengan alam.

• Sedentary living pola hidup yang kurang gerak/bermalas-malasan. yaitu pola hidup yang ditandai dengan :
- Kerja duduk dalam waktu lama.
- Efek remote control, teknologi remote control telah menambah kemalasan seseorang.
- Otomatisasi
- Tidak sempat olah raga karena tekanan waktu.

• Stress
Banyak factor yang memicu stress bagi para ibu terutama di kota-kota besar, mulai factor ekonomi sampai social.
- Masalah anak : anak nakal, problem pendidikan anak di sekolah dan dirumah,
interaksi anak dengan temannya, keselamatan, perkembangan psikologi anak, dll. menuntut seorang wanita/ibu berpikir keras terus-menerus.
- Pekerjaan/persaingan kerja : sebagian besar ibu modern di kota besar adalah pekerja bahkan ada yang menduduki posisi menentukan di kantornya, akibatnya mereka harus berhadapan dengan banyak tenaga kerja yang belakangan ini mengajukan banyak tuntutan yang kadang-kadang sulit untuk dipenuhi oleh perusahaan. Ibu sebagai manajer atau pada posisi apapun menanggung beban berat karena para wanita lebih sensitive terhadap persoalan disekelilingnya. Persoalan di tempat kerja memberi kontribusi yang cukup besar terhadap munculnya stress pada wanita pekerja.
- Ikut memperjuangkan kebutuhan hidup keluarga : banyak ibu rumah tangga yang disamping menanggung beban pekerjaan domestic yang mulia, masih harus membantu suaminya mencari nafkah.
- Tekanan mental-emosional dari lingkungan : banyaknya masyarakat yang menganut pergaulan bebas, demoralisasi, pelecehan gender yang masih sering terjadi, pelecehan seksual dan bahkan kekerasan seksual adalah tantangan rutin para wanita pekerja.
Yang saya jelaskan diatas adalah hal-hal yang spesifik dialami wanita pekerja yang kadang-kadang sulit dilawan. Disamping itu tuntutan hemat waktu memaksa para wanita terutama pekerja untuk makan hanya sekedar untuk kenyang. Dan cara mudah mengenyangkan perut adalah dengan makan makanan siap saji yang sebagian besar adalah junk food, akibatnya mereka makan makanan dgn bahan pengawet/tidak segar, makanan serba instant, dan sering kali disertai dengan keadaan dehidrasi akibat kurang atau tidak sempat minum, dll.

Kebiasaan-kebiasaan seperti ini secara keseluruhan diduga dapat mengakibatkan usia estrogen memendek dengan akibat:
1. Cepat menopause, dengan segala keluhannya, banyak wanita menopause dalam usia kurang dari 40 tahun, sehingga meningkatkan keluhan-keluhan.
2. Kasus obesitas/kegemukan, perut buncit dan paha membesar meningkat dari hari ke hari
3. Osteoporosis akibat kurang gerak dan makanan rendah kalsium
4. Radang sendi/arthritis pada usia yang relatif muda.
5. Peningkatan kasus serangan jantung pada wanita, kasus sudden death pada wanita meningkat pesat menurut statistik peningkatannya sampai 40% dibandingkan 30 tahun yang lalu.
6. Tekanan darah tinggi pada wanita meningkat 32% dibanding 10 tahun lalu
7. Kejadian metabolik sindrom akibat peningkatan kadar gula darah, kolesterol meningkat, kencing manis yang sering kali berakhir dengan stroke, kasus Dislipidemia atherogenic pada wanita juga meningkat, yang ditandai
- peningkatan kadar trigliserida lebih besar dari 150 mg/dl
- penurunan kadar HDL – Cholesterol :
• Pria < 40 mg/dl
• wanita < 50 mg/dl
- hipertensi
- gula darah yang tinggi.
Ini disebut sindroma metabolik dan sering disebut juga sindroma X, atau juga the deadly quartet.
8. Depresi karena kerasnya persaingan ekonomi
9. Informasi yang bersifat sangat bebas telah merusak spiritualitas wanita muslimah, yang paling gencar diserukan oleh gerakan women’s lib, yang di Indonesia bergerak denagn nama-nama tersamar, padahal tidak ada aturan kebebasan bermartabat bagi wanita yang lebih hebat dari aturan Islam. Sementara gerakan women’s lib justeru merusak moralitas dan martabat wanita dan menggoyahkan keindahan sendi-sendi mawaddah wa rohmah dalam prinsip rumah tangga Islami.

B. Cara menanggulanginya:

1. Tingkatkan aktifitas fisik
• Kerjakan sendiri pekerjaan yang bisa dilakukan.
• Kurangi nonton TV, maksimal 2 jam sehari
• Lakukan puasa sunnah, misalnya senin – kamis
• Ambil kembali peran domestik
2. Makanan
• Kurangi makanan manis
• Kurangi lemak hewani, perbanyak lemak nabati.
• Atur porsi makan, sarapan cukup utk energi bekerja, makan siang cukup, makan malam tetap makan tapi sedikit
• Sayur atau buah wajib pada makan siang atau malam
• Jangan ngemil
• Usahakan makanan segar, jika mungkin yang baru dimasak
• Minum air putih minimal 30 cc/kg bb/hari pada keadaan udara sejuk, jika udara panas tambahkan 20% lagi, jika berolah raga tambahkan kira-kira 500 cc .
3. Biji-bijian
Makanlah biji-bijian yang mengandung vitamin, mineral dan fitoestrogen/estrogen alami.
• kacang-kacangan, kacang tanah baik utk kesehatan jantung dan pembuluh darah
• biji bunga matahari, mengandung fitoestrogen disamping vitamin dan mineral
• kedelai dan produk kedelai
• Obat herbal untuk mensuplai fitoestrogen terutama bagi wanita usia diatas 35 tahun dimana kerja estrogen mulai menurun.
4. Susu segar
• minumlah segelas susu setiap hari karena kandungan protein dan kalsium yang banyak dan mudah diserap dan bacalah doa seperti diajarkan Rasulullah SAW:
Allahumma baariklanaa fiihi wa zidnaa minhu
5. Lakukan rekreasi yaitu pergi sebentar melupakan kejenuhan tugas-tugas domestik jika mungkin dengan suami tanpa membawa anak, tingkatkan silaturrahim
6. Lakukan kegiatan kelompok : pengajian, kegiatan kewanitaan, terutama dilingkungan tempat tinggal
7. Jangan dibiasakan minum obat bebas, obat hanya diminum jika memang perlu sesuai keluhan
8. Tingkatkan kualitas sholat dan wudhu.

Semoga artikel yang di tulis Oleh dr muhammad ali toha yang berjudul kesehatan Ibu Islami bisa bermanfaat.

Kamis, 24 Februari 2011

Hubungan Hamba dengan Tuhannya

Sebagian orang ada yang menyangka bahwa hubungan antara hamba dengan Tuhannya adalah cukup dilakukan dengan melaksanakan ibadat lahir saja (syariat) tanpa disertakan hubungan hati berma'rifat kepada Allah. Mereka menyangka bahwa demikianlah cara beribadat yang dilakukan oleh Rasulullah saw. dan para sahabatnya. Padahal Rasulullah sendiri telah memberikan garis dan dasar yang kuat dengan sabda beliau,
"Tidak sah suatu ibadat, kecuali disertai dengan hati yang berma'rifat".

Kita sendiri dapat merasakan kalau ibadat kita tidak mempunyai pertalian hati kepada Allah. Sudah tentu cara demikian tidak termasuk golongan ibadah yang ikhlas. Satu-satunya ciri khas, bahwa ibadah yang diterima Allah adalah ibadah yang menyejukkan hati dan terasa lezat mengerjakannya.

Syeikh Ibnu 'Athaillah telah berkata dalah kitabnya "Syarah Hikmah", ada tiga golongan manusia yang beribadah kepada Tuhannya, yaitu :




  • Orang yang semata-mata melakukan ibadah yang lahir saja, tidak disertai dengan hati yang berma'rifat. Golongan ini mempunyai harapan yang besar untuk mendapatkan balasan pahala dari Tuhannya.







  • Ibadah yang disertai dengan hati yang hidmat. Golongan ini dapat merasakan bahwa dirinya dimiliki Allah dan gerak diamnya ditolong Allah. Dia mengerti maksud Allah, bahwa Allah sangat ridha kepada hamba-Nya yang melakukan ibadah disertai dengan pertolongan Allah (tidak dengan yang lain). Golongan ini termasuk yang menang dari hawa nafsu.







  • Ibadah yang terasa dekat kepada Allah lebih dekat dari urat lehernya. Golongan ini telah mengerti akan perjalanan hak Tuhannya yang disertakan Allah dimanapun dia berada. Antara dirinya dengan hak Allah tidak terhijab.






  • Setiap orang yang mengenal dirinya sebagai hamba Allah sudah tentu terlepas dari sifat kehambaannya, yaitu faqir, dhaif, hina, dan kekurangan. Kemudian dia mengenal pula sifat Tuhannya yaitu, kaya, kuasa, kuat, mulia, dan sempurna.

    Ingatlah bahwa Rasulullah memanggil umatnya sebanyak-banyaknya supaya menjalankan tasdiq kalimah tauhid dengan menghapuskan kekuatan kita dan menggantikannya dengan hak Allah, menghapuskan sifat kita dan menggantinya dengan sifat Allah.

    Tujuan tauhid yang sebenarnya adalah untuk menegakkan sifat kehambaan kepada Allah yang disebut dengan sifat ubudiah.

    Ciri sifat ubudiah itu adalah sebagai berikut:

    1. Tercabutnya sifat basyariah, yakni hilang rasa serba aku seperti, aku kuat, aku gagah, aku pintar, dan sebagainya.
    2. Dekat kehadirat ahad, yaitu menuju keesaan Allah Ta'alaa.
    3. Hapus aghyar (gangguan dihati).
    4. Ruh rindu kepada Allah yang menjadikannya dan yang ke;
    5. terbuka rahasia Allah atau rahasia ketuhanan.
    http://andimuhammadaliblogs.blogspot.com/

    Senin, 21 Februari 2011

    IBU..., CERITAKAN AKU TENTANG IKHWAN SEJATI...


    Seorang remaja pria bertanya pada ibunya: Ibu, ceritakan padaku tentang ikhwan sejati...

    Sang Ibu tersenyum dan menjawab... Ikhwan Sejati bukanlah dilihat dari bahunya yang kekar, tetapi dari kasih sayangnya pada orang disekitarnya....

    Ikhwan sejati bukanlah dilihat dari suaranya yang lantang, tetapi dari kelembutannya mengatakan kebenaran.....

    Ikhwan sejati bukanlah dilihat dari jumlah sahabat di sekitarnya, tetapi dari sikap bersahabatnya pada generasi muda bangsa ...

    Ikhwan sejati bukanlah dilihat dari bagaimana dia di hormati ditempat bekerja, tetapi bagaimana dia dihormati didalam rumah... Ikhwan sejati bukanlah dilihat dari kerasnya pukulan, tetapi dari sikap bijaknya memahami persoalan...

    Ikhwan sejati bukanlah dilihat dari dadanya yang bidang, tetapi dari hati yang ada dibalik itu...

    Ikhwan sejati bukanlah dilihat dari banyaknya akhwat yang memuja, tetapi komitmennya terhadap akhwat yang dicintainya...

    Ikhwan sejati bukanlah dilihat dari jumlah barbel yang dibebankan, tetapi dari tabahnya dia mengahdapi lika-liku kehidupan...

    Ikhwan Sejati bukanlah dilihat dari kerasnya membaca Al-Quran, tetapi dari konsistennya dia menjalankan apa yang ia baca...

    ....setelah itu, ia kembali bertanya...

    " Siapakah yang dapat memenuhi kriteria seperti itu, Ibu ?"

    Sang Ibu memberinya buku dan berkata.... "Pelajari tenteng dia..." ia pun mengambil buku itu

    "MUHAMMAD SAW" , judul buku yang tertulis di buku itu

    http://hanifahtheone.blogspot.com/2010/12/ibu-ceritakan-aku-tentang-ikhwan-sejati.html

    Minggu, 20 Februari 2011

    Tidur Cantik sesuai Tuntunan Rasulullah

    Tidur bagi muslimah merupakan saat yang sangat penting. Karena dalam tidurnya ia mengumpulkan tenaga untuk beribadah kepada Allah. Selain itu, ketika tidur hati seorang muslimah di antara jemari Allah. Seorang muslimah cantik karena agamanya. Jadi tidurnya pun harus cantik. Hendaknya seorang muslimah menjaga adab-adab dalam tidur dengan adab yang diajarkan dalam agama Islam, ternyata tidur pun ada tuntunannya lho, tak hanya asal “Brak-Bruk” karena mata yang sudah tak mau berkompromi :-D , apalagi untuk seorang muslimah, tidurpun harus dalam keadaan yang cantik :-D
    1. Tidak tidur terlalu malam setelah sholat isya kecuali dalam keadaan darurat seperti untuk mengulang (muroja’ah) ilmu atau adanya tamu atau menemani keluarga.
    “Bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘allaihi wasallam membenci tidur malam sebelum (sholat Isya) dan berbincang-bincang (yang tidak bermanfaat) setelahnya.” [Hadist Riwayat Al-Bukhari No. 568 dan Muslim No. 647 (235)
    2. Tidur dalam keadaan sudah berwudhu
    “Apabila engkau hendak mendatangi pembaringan (tidur), maka hendaklah berwudhu terlebih dahulu sebagaimana wudhumu untuk melakukan sholat.” (HR. Al-Bukhari No. 247 dan Muslim No. 2710
    3. Mendahulukan posisi tidur di atas sisi sebelah kanan (rusuk kanan sebagai tumpuan) dan berbantal dengan tangan kanan, tidak mengapa apabila setelahnya berubah posisinya di atas sisi kiri.
    “Berbaringlah di atas rusuk sebelah kananmu.” (HR. Al-Bukhari no. 247 dan Muslim no. 2710)
    4. Membaca ayat-ayat Al-Qur’an, antara lain:
    a) Membaca ayat kursi.
    b) Membaca dua ayat terakhir dari surat Al-Baqoroh.
    c) Mengatupkan dua telapak tangan lalu ditiup dan dibacakan surat Al-Ikhlas, Al-Falaq dan An-Naas kemudian dengan dua telapak tangan mengusap dua bagian tubuh yang dapat dijangkau dengannya dimulai dari kepala, wajah, dan tubuh bagian depan, hal ini diulangi sebanyak 3 kali (HR. Al-Bukhari dalam Fathul Bari XI/277 No. 4439, 5016 (cet. Daar Abi Hayan) Muslim No. 2192, Abu Dawud No. 3902, At-Tirmidzi)
    5. Memakai celak mata ketika hendak tidur
    “Bahwasanya Rasululloh shallallahu ‘alaihi wasallam senantiasa memakai celak dengan batu celak setiap malam sebelum beliau hendak tidur malam, beliau sholallahu ‘alaihi wassalam memakai celak pada kedua matanya sebanyak 3 kali goresan.” (HR. Ibnu Majah No. 3497)

    Sabtu, 26 Februari 2011

    Nasehat Ayah Kepada Putrinya

    Diposting oleh Wanita Sholehah di 21.28 0 komentar
    Penulis : Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah
    Ketika anak perempuannya telah menikah, orangtua tak serta merta lepas tangan begitu saja. Pendidikan serta bimbingan mereka masih diperlukan meskipun hal itu menjadi tanggung jawab utama sang suami.
    Dengan terjalinnya ikatan pernikahan, perwalian seorang anak perempuan berpindah dari sang ayah kepada suaminya. Suaminya lah kini yang mengambil alih tugas sang ayah untuk mendidik, membimbing, menjaga serta menghidupinya. Suamilah yang bertanggung jawab memberikan pengajaran agama kepada istrinya guna menyelamatkannya dari api neraka, menasihatinya ketika menyimpang dari kebenaran serta meluruskannya.
    Namun demikian, bukan berarti seorang ayah kemudian tutup mata dari kesalahan putrinya ketika ia telah berumah tangga, merasa tidak perlu lagi menasihatinya dan membimbing tangannya kepada kebenaran. Bahkan semestinya, ketika memang dibutuhkan, seorang ayah membantu anak menantunya (suami putrinya) dengan turut memberikan arahan yang positif kepada putrinya dalam rangka melanggengkan kebersamaan putrinya bersama sang suami. Kita ambil contoh apa yang dilakukan oleh seorang ayah yang bijak, Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu, ketika menasihati Hafshah putrinya, dalam persoalan dengan suaminya, Rasul yang mulia Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
    Kisahnya tercatat dengan panjang dalam sebuah hadits yang agung. Agar kita tak luput dari faedahnya, kita bawakan makna haditsnya secara lengkap.
    Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkisah, “Aku terus berkeinginan kuat untuk bertanya kepada Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu tentang siapakah dua istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dinyatakan dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
    إِنْ تَتُوبَا إِلَى اللهِ فَقَدْ صَغَتْ قُلُوبُكُمَا
    Apabila kalian berdua bertaubat kepada Allah, maka sungguh hati kalian berdua telah condong (untuk menerima kebaikan)….” (At-Tahrim: 4)
    Hingga ketika aku berhaji bersamanya, aku mendapatkan kesempatan itu. Saat itu Umar berbelok dari jalan yang semestinya dilalui karena hendak buang hajat. Aku pun ikut belok bersamanya dengan membawa seember air. Seselesainya dari buang hajat, aku menuangkan air di atas kedua tangannya, hingga ia pun berwudhu. Aku pun bertanya, “Wahai Amirul Mukminin, siapakah dua orang istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang Allah Subhanahu wa Ta’ala nyatakan dalam firman-Nya:
    إِنْ تَتُوبَا إِلَى اللهِ فَقَدْ صَغَتْ قُلُوبُكُمَا
    Umar menjawab, “Mengherankan sekali kalau engkau sampai tidak tahu siapa keduanya, wahai Ibnu Abbas! Keduanya adalah Aisyah dan Hafshah.”
    Kemudian Umar mulai berkisah sebab turunnya ayat tersebut. Katanya, “Aku dan tetanggaku dari Anshar berdiam di Bani Umayyah bin Zaid, mereka ini termasuk penduduk yang bermukim di kampung-kampung dekat kota Madinah. Kami berdua biasa saling bergantian untuk turun menemui Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam guna mendengarkan ilmu yang beliau sampaikan, sehari gilirannya dan hari berikutnya giliranku. Bila giliran aku yang turun dan aku mendapati berita hari tersebut, baik berupa wahyu ataupun selainnya, aku mesti datang menemui temanku guna menyampaikan semua yang kudapatkan. Bila gilirannya, ia pun melakukan hal yang sama.
    Kami ini orang-orang Quraisy sangat dominan atas istri-istri kami, mereka tunduk sepenuhnya pada kehendak kami dan kami tidak pernah melibatkan mereka sedikitpun dalam urusan kami. Tatkala kami datang ke negeri orang-orang Anshar, kami dapati ternyata mereka dikalahkan oleh istri-istri mereka. Istri-istri mereka turut angkat suara dalam urusan mereka dan berani menjawab. Maka mulailah wanita-wanita kami mengambil dan mencontoh kebiasaan wanita-wanita Anshar. Suatu ketika, aku marah kepada istriku, ternyata ia berani menjawab ucapanku dan membantahku, aku pun mengingkari hal tersebut. Istriku malah berkata, “Mengapa engkau mengingkari apa yang kulakukan? Padahal demi Allah, istri-istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berani menjawab dan membantah beliau. Sungguh salah seorang dari mereka pernah sampai memboikot Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari awal siang sampai malam hari.”
    Aku terkejut dengan penyampaian istriku, “Sungguh merugi yang melakukan hal itu,” tukasku. Kemudian aku mengenakan pakaianku secara lengkap, lalu turun ke Madinah menuju rumah putriku Hafshah.
    “Wahai Hafshah, apakah benar salah seorang dari kalian pernah marah pada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari awal siang hingga malam hari?” tanyaku meminta keterangan.
    “Iya,” jawab Hafshah.
    “Kalau begitu engkau merugi, apakah engkau merasa aman bila Allah Subhanahu wa Ta’ala sampai murka disebabkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dibuat marah, hingga akhirnya engkau akan binasa? Jangan engkau banyak meminta kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, jangan engkau menjawabi dan membantah beliau dalam suatu perkara pun serta jangan berani memboikot beliau. Mintalah kepadaku apa yang engkau inginkan. Jangan sekali-kali membuatmu tertipu dengan keberadaan madumu, Aisyah, ia lebih cantik darimu dan lebih dicintai oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Demikian aku menasihati Hafshah.
    Sebelumnya kami telah memperbincangkan bahwa Ghassan telah memakaikan sepatu pada kuda-kudanya guna memerangi kami.
    Turunlah temanku si orang Anshar pada hari gilirannya. Pada waktu Isya’, ia kembali pada kami. Diketuknya pintu rumahku dengan keras seraya berkata, “Apa di dalam rumah ada Umar?” Aku terkejut lalu keluar menemuinya. Temanku itu berkata, “Pada hari ini telah terjadi peristiwa besar.”
    “Apa itu? Apakah Ghassan telah datang?” tanyaku tak sabar.
    “Bukan, bahkan lebih besar dari hal itu dan lebih mengerikan. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menceraikan istri-istrinya,” jawabnya.
    “Telah merugi Hafshah. Sungguh sebelumnya aku telah mengkhawatirkan ini akan terjadi,” tukasku.
    Kemudian kukenakan pakaian lengkapku, lalu turun ke Madinah hingga aku menunaikan shalat fajar (shubuh) bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Selesai shalat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk ke masyrabah1nya dan memisahkan diri dari istri-istrinya di tempat tersebut. Aku pun masuk ke rumah Hafshah, ternyata kudapati ia sedang menangis, “Apa yang membuatmu menangis?” tanyaku. “Bukankah aku telah memperingatkanmu dari hal ini, apakah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menceraikan kalian?”
    “Saya tidak tahu. Beliau sedang menyepi di masyrabahnya,” jawab Hafshah.
    Aku keluar dari rumah Hafshah, masuk ke masjid dan mendatangi mimbar, ternyata di sekitarnya ada beberapa orang, sebagian mereka tengah menangis. Aku duduk sebentar bersama mereka, namun kemudian mengusik hatiku kabar yang kudapatkan hingga aku bangkit menuju ke masyrabah di mana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang berdiam di dalamnya. “Mintakan izin Umar untuk masuk,” ucapku kepada Rabah, budak hitam milik beliau yang menjaga masyrabahnya. Ia pun masuk dan berbicara dengan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian kembali menemuiku. “Aku telah berbicara kepada Nabi dan aku menyebut dirimu di hadapan beliau namun beliau diam saja,” ujarnya.
    Aku berlalu, hingga kembali duduk bersama sekumpulan orang yang berada di sisi mimbar. Hatiku kembali terusik dengan kabar yang kudapatkan hingga aku bangkit menuju ke masyrabah, bertemu dengan Rabah dan berkata kepadanya, “Mintakan izin untuk Umar.” Ia masuk ke masyrabah kemudian kembali menemuiku. “Aku telah menyebut dirimu di hadapan beliau namun beliau diam saja,” ujarnya.
    Aku kembali duduk bersama sekumpulan orang yang berada di sisi mimbar. Namun kemudian hatiku kembali terusik dengan kabar yang kudapatkan hingga untuk ketiga kalinya aku bangkit menuju ke masyrabah, bertemu dengan Rabah dan berkata kepadanya, “Mintakan izin untuk Umar.” Ia masuk ke masyrabah kemudian kembali menemuiku. “Aku telah menyebut dirimu di hadapan beliau namun beliau diam saja,” ujarnya lagi.
    Ketika aku hendak berbalik pergi, tiba-tiba Rabah memanggilku, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengizinkanmu untuk masuk,” katanya.
    Aku segera masuk menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ternyata beliau sedang berbaring di atas tikar, tidak ada alas di atasnya hingga tampak bekas-bekas kerikil di punggung beliau, bertelekan di atas bantal dari kulit yang berisi sabut. Aku mengucapkan salam kepada beliau, kemudian dalam keadaan berdiri aku berkata, “Wahai Rasulullah, apakah engkau menceraikan istri-istrimu?” Beliau mengangkat pandangannya, “Tidak,” jawab beliau.
    “Allahu Akbar,” sambutku. Masih dalam keadaan berdiri aku berkata, “Izinkan aku untuk melanjutkan pembicaraan, wahai Rasulullah! Kita dulunya orang-orang Quraisy mengalahkan istri-istri kita, namun ketika kita datang ke Madinah kita dapati mereka dikalahkan oleh istri-istri mereka.”
    Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tersenyum. Aku kembali bicara, “Wahai Rasulullah, andai engkau melihatku masuk ke tempat Hafshah, aku katakan padanya, ‘Jangan sekali-kali membuatmu tertipu dengan keberadaan madumu, Aisyah, ia lebih cantik darimu dan lebih dicintai oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam’.” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tersenyum lagi, aku pun duduk ketika melihat senyuman beliau. Kemudian aku mengangkat pandanganku melihat isi masyrabah tersebut, maka demi Allah aku tidak melihat ada sesuatu di tempat tersebut kecuali tiga lembar kulit, aku pun berkata, “Mohon engkau berdoa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan kelapangan hidup bagi umatmu, sungguh Allah Subhanahu wa Ta’ala telah melapangkan (memberi kemegahan) kepada Persia dan Romawi, padahal mereka tidak beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.”
    Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam duduk dari posisi bersandarnya, seraya berkata, “Apakah engkau seperti itu, wahai putranya Al-Khaththab? Sungguh mereka itu adalah orang-orang yang disegerakan kesenangan (kenikmatan hidup/rizki yang baik-baik) mereka di dalam kehidupan dunia.”
    “Wahai Rasulullah, mohonkanlah ampun untukku,” pintaku.
    Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memisahkan diri dari istri-istrinya selama 29 malam disebabkan pembicaraan (rahasia) yang disebarkan oleh Hafshah kepada Aisyah radhiyallahu ‘anhuma. Beliau mengatakan, “Aku tidak akan masuk menemui mereka selama sebulan,” hal ini beliau lakukan karena kemarahan beliau yang sangat kepada mereka di mana Allah Subhanahu wa Ta’ala sampai mencela beliau dikarenakan perkara dengan mereka.”
    Hadits di atas dibawakan oleh Al-Imam Al-Bukhari rahimahullahu dalam kitab Shahih-nya no. 5191, dengan judul bab Mau’izhah Ar-Rajul Ibnatahu li Hali Zaujiha, artinya: Nasihat seseorang kepada putrinya karena perkara dengan suaminya. Diriwayatkan pula oleh Al-Imam Muslim rahimahullahu dalam Shahih-nya no. 3679.
    Dalam hadits ini, kata Al-Imam An-Nawawi rahimahullah, terkandung adanya pengajaran seorang ayah kepada anaknya, baik anaknya masih kecil ataupun telah dewasa, atau bahkan telah menikah, karena Abu Bakr Ash-Shiddiq dan Umar radhiyallahu ‘anhuma memberikan ta`dib “pendidikan/pengajaran” kepada kedua putri mereka, bahkan sampai memukul putri mereka2. (Al-Minhaj, 9/333)
    Al-Qadhi `Iyadh rahimahullahu dalam Al-Ikmal, kitab yang berisi penjelasan beliau terhadap hadits-hadits dalam Shahih Muslim, menyatakan bahwa dalam pemberian ta’dib Umar dan Abu Bakr radhiyallahu ‘anhuma kepada kedua putri mereka menunjukkan bolehnya hal itu dilakukan oleh para ayah terhadap anak-anak mereka yang telah besar dan anak-anak perempuan mereka yang telah menikah. Al-Qadli rahimahullahu juga menyatakan bahwa dalam hadits di atas menunjukkan bagusnya pergaulan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan istri-istri beliau serta sabarnya beliau menghadapi rasa cemburu mereka dan akhlak mereka, sebagaimana beliau menghasung para suami untuk memperbaiki pergaulan dengan para istri, bersabar atas kebengkokan mereka, dan bernikmat-nikmat (istimta’) dengan mereka di atas kebengkokan tersebut3. (Al-Ikmal, 5/42,43)
    Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullahu menyebutkan beberapa faedah dari hadits di atas, di antaranya:
    • Terlalu menekan istri adalah perbuatan tercela karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambil kebiasaan orang Anshar dalam urusan istri-istri mereka dan meninggalkan kebiasaan kaumnya (orang Quraisy).
    • “Pengajaran” seorang ayah kepada putrinya dengan memberikan nasihat guna membaikkan si putri dalam hubungannya dengan suaminya.
    • Bolehnya ayah masuk ke rumah putrinya yang sudah menikah walaupun tanpa seizin suaminya.
    • Bersabar dengan istri, tidak ambil pusing dengan pembicaraan mereka serta memaafkan ketergeliciran mereka dalam menunaikan hak suami, kecuali bila berkaitan dengan hak Allah Subhanahu wa Ta’ala. (Fathul Bari, 9/362)
    Demikianlah ilmu dan pengajaran yang agung yang kita peroleh dari sunnah nabawiyyah.
    Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
    Catatan kaki:
    1 Kamar yang tinggi, untuk naik ke atasnya harus memakai tangga, sebagaimana disebutkan dalam hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma dari cerita Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu kepadanya:
    فَإِذَا رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم فِي مَشْرَبَةٍ لَهُ يَرْقَى عَلَيْهَا بِعَجَلَةٍ
    “Ternyata Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berada di masyrabahnya, beliau naik ke atasnya dengan menggunakan tangga dari pelepah kurma.” (HR. ِAl-Bukhari no. 4913 dan Muslim no. 3676)
    2 Sebagaimana ditunjukkan dalam hadits Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma berikut ini:
    دَخَلَ أَبُوْ بَكْرٍ يَسْتَأْذِنُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم فَوَجَدَ النَّاسَ جُلُوْسًا بِبَابِهِ، لَمْ يُؤْذَنْ لِأَحَدٍ مِنْهُمْ. قَالَ: فَأُذِنَ لِأَبِي بَكْرٍ، فَدَخَلَ. ثُمَّ أَقْبَلَ عُمَرُ فَاسْتَأْذَنَ، فَأُذِنَ لَهُ، فَوَجَدَ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم جَالِسًا، حَوْلَهُ نِسَاؤُهُ، وَاجِمًا سَاكِتًا.
    Abu Bakr masuk minta izin untuk menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia dapatkan orang-orang sedang duduk di depan pintu rumah beliau, tidak ada seorang pun dari mereka yang diizinkan masuk. Jabir berkata, “Abu Bakr diizinkan maka ia pun masuk. Kemudian datang Umar meminta izin, ia pun diizinkan masuk. Umar mendapati Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang duduk dalam keadaan sedih terdiam, di sekitar beliau ada istri-istrinya.”
    Jabir melanjutkan haditsnya, di antaranya disebutkan ucapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
    هُنَّ حَوْلِي كَمَا تَرَى، يَسْأَلْنَنِي النَّفَقَةَ. فَقَامَ أَبُوْ بَكْرٍ إِلَى عَائِشَةَ يَجَأُ عُنُقَهَا، فَقَامَ عُمَرُ إِلَى حَفْصَةَ يَجَأُ عُنُقَهَا، كِلاَهُمَا يَقُوْلُ: تَسْأَلْنَ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم مَا لَيْسَ عِنْدَهُ؟
    “Mereka (istri-istri beliau) ada di sekelilingku sebagaimana yang engkau lihat, mereka meminta nafkah kepadaku.” Mendengar hal itu bangkitlah Abu Bakar menuju putrinya Aisyah lalu memukul lehernya. Bangkit pula Umar ke arah putrinya Hafshah lalu memukul lehernya. Abu Bakar dan Umar berkata, “Apakah kalian meminta kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sesuatu yang tidak ada pada beliau?” (HR. Muslim no. 3674)
    Ada pula kisah ta`dib yang dilakukan Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu terhadap putrinya Aisyah radhiyallahu ‘anha sebagaimana yang diriwayatkan oleh An-Nasa’i dalam Isyratun Nisa’, Abu Dawud dalam Sunan-nya, dan Al-Imam Ahmad dalam Musnad-nya. Disebutkan bahwa Abu Bakr minta izin masuk ke rumah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu ia mendengar suara Aisyah yang keras kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakr pun hendak memukul putrinya seraya berkata, “Wahai putrinya Fulanah, apakah kau berani bersuara keras terhadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam?!” Namun Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menghalangi Abu Bakr dan menahannya. Abu Bakr kemudian keluar dalam keadaan marah. Setelahnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Aisyah, “Wahai Aisyah, bagaimana yang engkau lihat tadi, bukankah aku telah menyelamatkanmu dari ayahmu?” Beberapa hari kemudian, datang lagi Abu Bakr minta izin masuk ke rumah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ternyata didapatkannya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah berdamai dengan Aisyah, maka Abu Bakr berkata kepada keduanya, “Masukkanlah aku ke dalam perdamaian ini sebagaimana kalian memasukkan aku ke dalam pertikaian yang lalu.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Sungguh kami telah melakukannya. Sungguh kami telah melakukannya.”
    Namun hadits ini lemah sanadnya (dhaiful isnad) sebagaimana dinyatakan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Dhaif Abi Dawud.
    3 Sebagaimana tersebut dalam hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
    إِنَّ الْمَرْأَةَ خُلِقَتْ مِنْ ضِلْعٍ، وَِإنَّ أَعْوَجَ شَيْء فِي الضِّلْعِ أَعْلاَهُ، فَإِنْ ذَهَبْتَ تُقِيْمُهُ كَسَرْتَهَا وَإِنِ اسْتَمْتَعْتَ بِهَا اِسْتَمْتَعْتَ وَفِيْهَا عِوَجٌ
    “Sesungguhnya wanita diciptakan dari tulang rusuk. Dan sungguh bagian yang paling bengkok dari tulang rusuk adalah yang paling atasnya. Bila engkau ingin meluruskannya, engkau akan mematahkannya. Dan jika engkau ingin bernikmat-nikmat dengannya, engkau bisa bernikmat-nikmat namun padanya ada kebengkokan.” (HR. Al-Bukhari no. 3331 dan Muslim no. 3632)

    Sumber: Asy Syariah No. 40/IV/1429 H/2008. Halaman 74-77. Judul: Nasihat Ayah kepada Putrinya. Penulis: Al Ustadzah Ummu Ishaq Al Atsariyyah. Katagori: Mengayuh Biduk. URL Sumber: http://asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=667

    Siapakah Suamimu di Surga?

    Diposting oleh Wanita Sholehah di 21.18 0 komentar
    Oleh: Ust. Abu Muawiah.
    Saudariku muslimah, tahukah kamu siapa suamimu di surga kelak?(1)  Artikel di bawah ini akan menjawab pertanyaan anti. Ini bukan ramalan dan bukan pula tebakan, tapi kepastian (atau minimal suatu prediksi yang insya Allah sangat akurat), yang bersumber dari wahyu dan komentar para ulama terhadapnya. Berikut uraiannya:
    Perlu diketahui bahwa keadaan wanita di dunia, tidak lepas dari enam keadaan:
    1.    Dia meninggal sebelum menikah.
    2.    Dia meninggal setelah ditalak suaminya dan dia belum sempat menikah lagi sampai meninggal.
    3.    Dia sudah menikah, hanya saja suaminya tidak masuk bersamanya ke dalam surga, wal’iyadzu billah.
    4.    Dia meninggal setelah menikah baik suaminya menikah lagi sepeninggalnya maupun tidak (yakni jika dia meninggal terlebih dahulu sebelum suaminya).
    5.    Suaminya meninggal terlebih dahulu, kemudian dia tidak menikah lagi sampai meninggal.
    6.    Suaminya meninggal terlebih dahulu, lalu dia menikah lagi setelahnya.
    Berikut penjelasan keadaan mereka masing-masing di dalam surga:
    ý    Perlu diketahui bahwa keadaan laki-laki di dunia, juga sama dengan keadaan wanita di dunia: Di antara mereka ada yang meninggal sebelum menikah, di antara mereka ada yang mentalak istrinya kemudian meninggal dan belum sempat menikah lagi, dan di antara mereka ada yang istrinya tidak mengikutinya masuk ke dalam surga. Maka, wanita pada keadaan pertama, kedua, dan ketiga, Allah -’Azza wa Jalla- akan menikahkannya dengan laki-laki dari anak Adam yang juga masuk ke dalam surga tanpa mempunyai istri karena tiga keadaan tadi. Yakni laki-laki yang meninggal sebelum menikah, laki-laki yang berpisah dengan istrinya lalu meninggal sebelum menikah lagi, dan laki-laki yang masuk surga tapi istrinya tidak masuk surga.
    Ini berdasarkan keumuman sabda Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- dalam hadits riwayat Muslim no. 2834 dari sahabat Abu Hurairah -radhiyallahu ‘anhu-:

    مَا فِي الْجَنَّةِ أَعْزَبٌ

    “Tidak ada seorangpun bujangan dalam surga”.
    Syaikh Ibnu ‘Utsaimin -rahimahullah- berkata dalam Al-Fatawa jilid 2 no. 177, “Jawabannya terambil dari keumuman firman Allah -Ta’ala-:

    وَلَكُمْ فِيهَا مَا تَشْتَهِي أَنْفُسُكُمْ وَلَكُمْ فِيهَا مَا تَدَّعُونَ. نُزُلاً مِنْ غَفُوْرٍ رَحِيْمٍ

    “Di dalamnya kalian memperoleh apa yang kalian inginkan dan memperoleh (pula) di dalamnya apa yang kalian minta. Turun dari Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Fushshilat: 31)
    Dan juga dari firman Allah -Ta’ala-:

    وَفِيهَا مَا تَشْتَهِيهِ الْأَنْفُسُ وَتَلَذُّ الْأَعْيُنُ وَأَنْتُمْ فِيهَا خَالِدُونَ

    “Dan di dalam surga itu terdapat segala apa yang diingini oleh hati dan sedap (dipandang) mata dan kalian kekal di dalamnya.” (Az-Zukhruf: 71)

    Seorang wanita, jika dia termasuk ke dalam penghuni surga akan tetapi dia belum menikah (di dunia) atau suaminya tidak termasuk ke dalam penghuhi surga, ketika dia masuk ke dalam surga maka di sana ada laki-laki penghuni surga yang belum menikah (di dunia). Mereka -maksud saya adalah laki-laki yang belum menikah (di dunia)-, mereka mempunyai istri-istri dari kalangan bidadari dan mereka juga mempunyai istri-istri dari kalangan wanita dunia jika mereka mau. Demikian pula yang kita katakan perihal wanita jika mereka (masuk ke surga) dalam keadaan tidak bersuami atau dia sudah bersuami di dunia akan tetapi suaminya tidak masuk ke dalam surga. Dia (wanita tersebut), jika dia ingin menikah, maka pasti dia akan mendapatkan apa yang dia inginkan, berdasarkan keumuman ayat-ayat di atas”.

    Dan beliau juga berkata pada no. 178, “Jika dia (wanita tersebut) belum menikah ketika di dunia, maka Allah -Ta’ala- akan menikahkannya dengan (laki-laki) yang dia senangi di surga. Maka, kenikmatan di surga, tidaklah terbatas kepada kaum lelaki, tapi bersifat umum untuk kaum lelaki dan wanita. Dan di antara kenikmatan-kenikmatan tersebut adalah pernikahan”.
    ý    Adapun wanita pada keadaan keempat dan kelima, maka dia akan menjadi istri dari suaminya di dunia.
    ý    Adapun wanita yang menikah lagi setelah suaminya pertamanya meninggal, maka ada perbedaan pendapat di kalangan ulama. Sebagian ulama -seperti Syaikh Ibnu ‘Ustaimin- berpendapat bahwa wanita tersebut akan dibiarkan memilih suami mana yang dia inginkan.
    Ini merupakan pendapat yang cukup kuat, seandainya tidak ada nash tegas dari Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- yang menyatakan bahwa seorang wanita itu milik suaminya yang paling terakhir. Beliau -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:

    اَلْمَرْأَةُ لِآخِرِ أَزْوَاجِهَا

    “Wanita itu milik suaminya yang paling terakhir”. (HR. Abu Asy-Syaikh dalam At-Tarikh hal. 270 dari sahabat Abu Darda` dan dishohihkan oleh Syaikh Al-Albany dalam Ash-Shohihah: 3/275/1281)
    Dan juga berdasarkan ucapan Hudzaifah -radhiyallahu ‘anhu- kepada istri beliau:

    إِنْ شِئْتِ أَنْ تَكُوْنِي زَوْجَتِي فِي الْجَنَّةِ فَلاَ تُزَوِّجِي بَعْدِي. فَإِنَّ الْمَرْأَةَ فِي الْجَنَّةِ لِآخِرِ أَزْوَاجِهَا فِي الدُّنْيَا. فَلِذَلِكَ حَرَّمَ اللهُ عَلَى أَزْوَاجِ النَّبِيِّ أَنْ يَنْكِحْنَ بَعْدَهُ لِأَنَّهُنَّ أَزْوَاجُهُ فِي الْجَنَّةِ

    “Jika kamu mau menjadi istriku di surga, maka janganlah kamu menikah lagi sepeninggalku, karena wanita di surga milik suaminya yang paling terakhir di dunia. Karenanya, Allah mengharamkan para istri Nabi untuk menikah lagi sepeninggal beliau karena mereka adalah istri-istri beliau di surga”.
    (HR. Al-Baihaqi: 7/69/13199 )

    Faidah:

    Dalam sholat jenazah, kita mendo’akan kepada mayit wanita:

    وَأَبْدِلْهَا زَوْجًا خَيْرًا مِنْ زَوْجِهَا

    “Dan gantilah untuknya suami yang lebih baik dari suaminya (di dunia)”.

    Masalahnya, bagaimana jika wanita tersebut meninggal dalam keadaan belum menikah. Atau kalau dia telah menikah, maka bagaimana mungkin kita mendo’akannya untuk digantikan suami sementara suaminya di dunia, itu juga yang akan menjadi suaminya di surga?

    Jawabannya adalah sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikh Ibnu ‘Utsaimin -rahimahullah-. Beliau menyatakan, “Kalau wanita itu belum menikah, maka yang diinginkan adalah (suami) yang lebih baik daripada suami yang ditakdirkan untuknya seandainya dia hidup (dan menikah). Adapun kalau wanita tersebut sudah menikah, maka yang diinginkan dengan “suami yang lebih baik dari suaminya” adalah lebih baik dalam hal sifat-sifatnya di dunia (2). Hal ini karena penggantian sesuatu kadang berupa pergantian dzat, sebagaimana misalnya saya menukar kambing dengan keledai. Dan terkadang berupa pergantian sifat-sifat, sebagaimana kalau misalnya saya mengatakan, “Semoga Allah mengganti kekafiran orang ini dengan keimanan”, dan sebagaimana dalam firman Allah -Ta’ala-:

    يَوْمَ تُبَدَّلُ الْأَرْضُ غَيْرَ الْأَرْضِ وَالسَّمَوَاتُ

    “(Yaitu) pada hari (ketika) bumi diganti dengan bumi yang lain dan (demikian pula) langit.” (Ibrahim: 48)

    Bumi (yang kedua) itu juga bumi (yang pertama) akan tetapi yang sudah diratakan, demikian pula langit (yang kedua) itu juga langit (yang pertama) akan tetapi langit yang sudah pecah”. Jawaban beliau dinukil dari risalah Ahwalun Nisa` fil Jannah karya Sulaiman bin Sholih Al-Khurosy.
    ___________
    (1) Karenanya sebelum berpikir masalah ini, pikirkan dulu bagaimana caranya masuk surga.
    (2) Maksudnya, suaminya sama tapi sifatnya menjadi lebih baik dibandingkan ketika di dunia.
    Sumber: http://al-atsariyyah.com/?p=1390

    Melembutkan Suara

    Diposting oleh Wanita Sholehah di 06.12 0 komentar

    بسم الله الرحمن الرحيم
    Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
    فَلَا تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ
    Maka janganlah kalian tunduk dalam ucapan hingga berkeinginan jeleklah orang yang di hatinya ada penyakit.(Al-Azhab: 32)

    sementara diketahui , tabiat seorang remaja putri, ia merasa malu dan memerah wajahnya bila berbicara dengan lelaki mana pun. Apakah ini termasuk hal yang dilarang bila sampai suaranya berubah saat ia terpaksa berbicara?
    Jawab:
    Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullahu menjawab:
    Pertama: seorang wanita tidak boleh berbicara dengan lelaki yang bukan mahramnya (ajnabi) kecuali bila dibutuhkan dan dengan suara yang tidak membangkitkan syahwat lelaki. Juga si wanita tidak boleh memperluas pembicaraan dengan lelaki ajnabi melebihi kebutuhan.
    Kedua: Melembutkan suara yang dilarang dalam Al-Qur’an adalah melunakkan suara dan membaguskannya sehingga dapat membangkitkan fitnah. Oleh karena itu, seorang wanita tidak boleh mengajak bicara lelaki ajnabi dengan suara yang lembut. Ia tidak boleh pula berbicara dengan lelaki ajnabi sebagaimana berbicara dengan suaminya, karena hal tersebut dapat menggoda, menggerakkan syahwat, dan terkadang menyeret kepada perbuatan keji. Sementara itu, telah dimaklumi bahwa syariat yang penuh hikmah ini datang untuk menutup segala jalan/perantara yang mengantarkan kepada hal yang dilarang.
    Adapun perubahan suara si wanita karena malu tidaklah termasuk melembutkan suara. Wallahu a’lam.

    (Jaridah al-Muslimun no. 68, sebagaimana dinukil dalam Fatawa al-Mar’ah al-Muslimah, hal. 689-690)

    (Sumber: Asy Syari’ah No. 61/VI/1431 H/2010; katagori: Fatawa Al-Mar’ah Al-Muslimah; halaman 93)

    Kesaksian Para Sahabat Tentang Hafalan dan Ketelitian Abu Hurairah

    Diposting oleh Wanita Sholehah di 06.06 0 komentar

    Sejumlah tokoh sahabat telah memberikan kesaksian tentang banyaknya ilmu Abu Hurairah dan ketepatannya dalam meriwayatkan hadits.
    Seorang laki-laki datang menemui Thalhah bin Ubaidillah lalu berkata, “Wahai Abu Muhammad, bagaimana menurutmu tentang orang Yaman ini, yakni Abu Hurairah, apakah dia lebih tahu tentang hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam daripada kalian, karena kami telah mendengar darinya hadits-hadits yang tidak pernah kami dengar dari kalian, ataukah ia berkata atas Nabi apa yang tidak pernah beliau sabdakan?”
    Thalhah menjawab, “Adapun jika ia mendengar hadits yang belum pernah kami dengar, maka aku tidak meragukannya. Aku akan menceritakan kepadamu tentang hal itu. Dulu kami adalah orang-orang yang memiliki rumah, kambing dan pekerjaan. Kami mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam waktu pagi dan petang, sementara Abu Hurairah adalah orang miskin sekaligus tamu di depan pintu rumah Rasulullah, tangannya bersama tangan Rasulullah, maka kami tidak ragu bahwa ia mendengar apa yang tidak kami dengar. Kamu tidak akan mendapati seseorang yang memiliki kebaikan akan berkata-kata atas nama Rasulullah apa yang tidak beliau katakan.” (Siyar A’lam an Nubala’ (2/605-606), seperti yang diriwayatkan at Tirmidzi dalam Jami’nya, al Bukhari dalam Tarikh al Kabir, al Hakim dalam al Mustadrak dan selainnya. Sanadnya hasan)
    Al Baihaqi menambahkan dalam Madkhal-nya, dari maula Thalhah, ia berkata: Ketika Abu Hurairah sedang duduk, ada seoang laki-laki lewat di depan Thalhah dan berkata kepadanya, “Abu Hurairah telah banyak meriwayatkan hadits.” Thalhah menjawab, “Sungguh kami telah mendengar seperti yang ia dengar, tapi ia hafal sedang kami lupa.” Al Hafidz Ibnu Hajar juga menyebutkannya dalam Fathul Bari.
    Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma pernah ditanya, “Apakah engkau mengigkari hadits yang disampaikan Abu Hurairah?” Ia menjawab, “Tidak, tapi ia berani dan kami takut.”
    Abu Hurairah berkata, “Apa dosaku jika aku hafal sedangkan mereka lupa?” (Siyar A’lam an Nubala (2/208))
    Ibnu Umar berkata dalam hadits yang membicarakan tentang pahala mengantarkan jenazah, setelah Aisyah radhiyallahu ‘anha memberi kesaksian atas Abu Hurairah, “Engkau wahai Abu Hurairah, adalah orang yang paling banyak bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan paling mengetahui hadits beliau dibandingkan kami.”
    Riwayat lengkapnya sebagai berikut:
    Ibnu Umar melewati Abu Hurairah yang sedang menyampaikan hadits dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
    “Barangsiapa mengiringi jenazah lalu ia menshalatkannya, maka ia mendapatkan (pahala) satu qirath, dan jika ia menyaksikan penguburannya, maka ia mendapatkan (pahala) dua qirath.”
    Satu qirath itu lebih besar daripada Gunung Uhud. Maka Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Wahai Abu Hurairah, perhatikanlah apa yang engkau sampaikan dari nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam itu.” Abu Hurairah pun berdiri menghampirinya dan membawanya pergi kepada Aisyah radhiyallahu ‘anha, lalu Abu Hurairah berkata kepadanya, “Wahau Ummul Mukminin, aku memintamu bersumpah demi nama Allah, apakah engkau pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa mengiringi jenazah lalu ia menshalatkannya, maka ia mendapatkan (pahala) satu qirath, dan jika ia menyaksikan penguburannya, maka ia mendapatkan (pahala) dua qirath.” Aisyah menjawab “Ya pernah” kemudian Abu Hurairah berkata, “Sesungguhnya aku dulu tidak disibukkan oleh bercocok tanam dan berdagang di pasar dari menghadiri majelis Nabi. Aku meminta kepada beliau satu kata untuk diajarkan kepadaku dan sesuap makan untuk diberikan kepadaku.” Maka Ibnu Umar berkata, “Wahai Abu Hurairah, engkau adalah orang yang paling banyak menemani Nabi dan paling mengetahui hadits beliau dibanding kami.” (Diriwayatkan Imam Ahmad dalam Musnad-nya (2/302), at Tirmidzi dalam Jami’-nya (13/226) secara ringkas, dan Al Hakim dalam Mustadrak-nya (3/510-511) Ia berkata “Sanadnya shahih”)
    Dari Asy’ats bin Sulaim, dari bapaknya, ia berkata, “Aku datang ke Madinah, ternyata Abu Ayyub sedang menyampaikan hadits dari Abu Hurairah, dari Rasulullah, maka aku katakana kepadanya, “Engkau juga sahabat Rasulullah.” Ia menjawab”Abu Hurairah mendengar langsung dari Rasulullah. Aku meriwayatkan hadits darinya, dari Rasulullah lebih aku sukai daripada aku meriwayatkan (secara langsung) dari Rasulullah. (Al Muatadrak (3/512), dan Siyar A’lam an Nubala (2/606)
    ***
    artikel muslimah.or.id
    disalin dari buku Bukan Seorang Pendusta, Dr. Muhammad Dhiya’ur Rahman al A’zhami, Pustaka At Tazkia

    Jumat, 25 Februari 2011

    Syarat-Syarat Pakaian Wanita Didalam Menutup Aurat

    Diposting oleh Wanita Sholehah di 00.55 0 komentar
    Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarokatuh....
    Bismillahirrahmaanirrahiim....

    Islam mengharamkan perempuan memakai pakaian yang membentuk dan tipis sehingga nampak kulitnya. Termasuk di antaranya ialah pakaian yang dapat mempertajam bagian-bagian tubuh khususnya tempat-tempat yang membawa fitnah, seperti: payudara, paha, dan sebagainya.


    Dalam haditsnya yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda: “Ada dua golongan dari ahli neraka yang belum pernah saya lihat keduanya itu: (1) Kaum yang membawa cambuk seperti ekor sapi yang mereka pakai buat memukul orang (penguasa yang kejam); (2) Perempuan-perempuan yang berpakaian tetapi telanjang, yang cenderung kepada perbuatan maksiat, rambutnya sebesar punuk unta. Mereka ini tidak akan bisa masuk surga, dan tidak akan mencium bau surga, padahal bau surga itu tercium sejauh perjalanan demikian dan demikian.” (HR. Muslim, Babul Libas)

    [Bukhtun adalah salah satu macam daripada unta yang mempunyai kelasa (punuk) besar : rambut orang-orang perempuan seperti punuk unta tersebut karena rambutnya ditarik ke atas.]

    Mereka dikatakan berpakaian, karena memang mereka itu melilitkannya pakaian pada tubuhnya, tetapi pada hakikatnya pakaiannya itu tidak berfungsi menutup aurat, karena itu mereka dikatakan telanjang, karena pakaiannya terlalu tipis sehingga dapat memperlihatkan kulit tubuh seperti kebanyakan pakaian perempuan sekarang ini.


    Dibalik keghaiban ini, Rasulullah seolah-olah melihat apa yang terjadi di zaman sekarang ini yang kini di wujudkan dalam bentuk penataan rambut, dengan berbagai macam mode dalam salon-salon khusus, yang biasa disebut salon kecantikan, dimana banyak sekali laki-laki yang bekerja pada pekerjaan tersebut dengan upah yang sangat tinggi.

    Tidak cukup sampai di situ saja, banyak pula perempuan yang merasa kurang puas dengan rambut asli pemberian Allah SWT. Untuk itu mereka membeli rambut palsu yang disambung dengan rambutnya yang asli, supaya tampak lebih menyenangkan dan lebih cantik, sehingga dengan demikian dia akan menjadi perempuan yang menarik dan memikat hati.


    Aurat wanita yang tak boleh terlihat di hadapan laki-laki lain (selain suami dan mahramnya) adalah seluruh anggota badannya kecuali wajah dan telapak tangan.


    Syarat-Syarat Pakaian Wanita

    Pada dasarnya seluruh bahan, model dan bentuk pakaian boleh dipakai, asalkan memenuhi syarat-syarat berikut :
    1. Menutup seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan.
    2. Tidak tipis dan tidak transparan
    3. Longgar dan tidak memperlihatkan lekuk-lekuk dan bentuk tubuh (tidak ketat)
    4. Bukan pakaian laki-laki atau menyerupai pakaian laki-laki.
    5. Tidak berwarna dan bermotif terlalu menyolok. Sebab pakaian yang menyolok akan mengundang perhatian laki-laki. Dengan alasan ini pula maka membunyikan (menggemerincingkan) perhiasan yang dipakai tidak diperbolehkan walaupun itu tersembunyi di balik pakaian.

    Semoga semua artikel dan eBook di blog "Artikel Islami - Free Download Ebook Islami" bermanfaat untuk kita semua. Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarokatuh....[]

    Nasehat Untuk Remaja Muslim

    Diposting oleh Wanita Sholehah di 00.42 0 komentar
    Penulis: Redaksi Assalafy.org
    Kami persembahkan nasehat ini untuk saudara-saudara kami terkhusus para pemuda dan remaja muslim. Mudah-mudahan nasehat ini dapat membuka mata hati mereka sehingga mereka lebih tahu tentang siapa dirinya sebenarnya, apa kewajiban yang harus mereka tunaikan sebagai seorang muslim, agar mereka merasa bahwa masa muda ini tidak sepantasnya untuk diisi dengan perkara yang bisa melalaikan mereka dari mengingat Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai penciptanya, agar mereka tidak terus-menerus bergelimang ke dalam kehidupan dunia yang fana dan lupa akan negeri akhirat yang kekal abadi.
    Wahai para pemuda muslim, tidakkah kalian menginginkan kehidupan yang bahagia selamanya? Tidakkah kalian menginginkan jannah (surga) Allah Subhanahu wa Ta’ala yang luasnya seluas langit dan bumi? Ketahuilah, jannah Allah Subhanahu wa Ta’ala itu diraih dengan usaha yang sungguh-sungguh dalam beramal. Jannah itu disediakan untuk orang-orang yang bertaqwa yang mereka tahu bahwa hidup di dunia ini hanyalah sementara, mereka merasa bahwa gemerlapnya kehidupan dunia ini akan menipu umat manusia dan menyeret mereka kepada kehidupan yang sengsara di negeri akhirat selamanya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
    وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ
    “Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” (Ali ‘Imran: 185)
    Untuk Apa Kita Hidup di Dunia? Wahai para pemuda, ketahuilah, sungguh Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menciptakan kita bukan tanpa adanya tujuan. Bukan pula memberikan kita kesempatan untuk bersenang-senang saja, tetapi untuk meraih sebuah tujuan mulia. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
    وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
    “Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.” (Adz Dzariyat: 56)
    Beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi semua larangan-Nya. Itulah tugas utama yang harus dijalankan oleh setiap hamba Allah. Dalam beribadah, kita dituntut untuk ikhlas dalam menjalankannya. Yaitu dengan beribadah semata-mata hanya mengharapkan ridha dan pahala dari Allah subhanahu wata’ala. Jangan beribadah karena terpaksa, atau karena gengsi terhadap orang-orang di sekitar kita. Apalagi beribadah dalam rangka agar dikatakan bahwa kita adalah orang-orang yang alim, kita adalah orang-orang shalih atau bentuk pujian dan sanjungan yang lain.
    Umurmu Tidak Akan Lama Lagi Wahai para pemuda, jangan sekali-kali terlintas di benak kalian: beribadah nanti saja kalau sudah tua, atau mumpung masih muda, gunakan untuk foya-foya. Ketahuilah, itu semua merupakan rayuan setan yang mengajak kita untuk menjadi teman mereka di An Nar (neraka). Tahukah kalian, kapan kalian akan dipanggil oleh Allah subhanahu wa ta’ala, berapa lama lagi kalian akan hidup di dunia ini? Jawabannya adalah sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
    وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ مَاذَا تَكْسِبُ غَدًا وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ بِأَيِّ أَرْضٍ تَمُوتُ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
    “Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui apa yang akan dilakukannya besok. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Luqman: 34)
    Wahai para pemuda, bertaqwalah kalian kepada Allah subhanahu wata’ala. Mungkin hari ini kalian sedang berada di tengah-tengah orang-orang yang sedang tertawa, berpesta, dan hura-hura menyambut tahun baru dengan berbagai bentuk maksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, tetapi keesokan harinya kalian sudah berada di tengah-tengah orang-orang yang sedang menangis menyaksikan jasad-jasad kalian dimasukkan ke liang lahad (kubur) yang sempit dan menyesakkan. Betapa celaka dan ruginya kita, apabila kita belum sempat beramal shalih. Padahal, pada saat itu amalan diri kita sajalah yang akan menjadi pendamping kita ketika menghadap Allah subhanahu wata’ala. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
    يَتْبَعُ الْمَيِّتَ ثَلاَثَةٌ: أَهْلُهُ وَمَالُهُ وَعَمَلُهُ, فَيَرْجِعُ اثْنَانِ وَيَبْقَى وَاحِدٌ, يَرْجِعُ أَهْلُهُ
    وَمَالُهُ وَيَبْقَى عَمَلُهُ.
    “Yang mengiringi jenazah itu ada tiga: keluarganya, hartanya, dan amalannya. Dua dari tiga hal tersebut akan kembali dan tinggal satu saja (yang mengiringinya), keluarga dan hartanya akan kembali, dan tinggal amalannya (yang akan mengiringinya).” (Muttafaqun ‘Alaihi)
    Wahai para pemuda, takutlah kalian kepada adzab Allah subhanahu wata’ala. Sudah siapkah kalian dengan timbangan amal yang pasti akan kalian hadapi nanti. Sudah cukupkah amal yang kalian lakukan selama ini untuk menambah berat timbangan amal kebaikan. Betapa sengsaranya kita, ketika ternyata bobot timbangan kebaikan kita lebih ringan daripada timbangan kejelekan. Ingatlah akan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
    فَأَمَّا مَنْ ثَقُلَتْ مَوَازِينُهُ فَهُوَ فِي عِيشَةٍ رَاضِيَةٍ وَأَمَّا مَنْ خَفَّتْ مَوَازِينُهُ فَأُمُّهُ هَاوِيَةٌ وَمَا أَدْرَاكَ مَا هِيَهْ نَارٌ حَامِيَةٌ
    “Dan adapun orang-orang yang berat timbangan (kebaikan)nya, maka dia berada dalam kehidupan yang memuaskan. Dan adapun orang-orang yang ringan timbangan (kebaikan)nya, maka tempat kembalinya adalah neraka Hawiyah. Tahukah kamu apakah neraka Hawiyah itu? (Yaitu) api yang sangat panas.” (Al Qari’ah: 6-11)
    Bersegeralah dalam Beramal Wahai para pemuda, bersegeralah untuk beramal kebajikan, dirikanlah shalat dengan sungguh-sungguh, ikhlas dan sesuai tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Karena shalat adalah yang pertama kali akan dihisab nanti pada hari kiamat, sebagaimana sabdanya:
    إِنَّ أَوَّلَ مَا يُحَاسَبُ النَّاسُ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ أَعْمَالِهِمْ الصَّلاَةُ
    “Sesungguhnya amalan yang pertama kali manusia dihisab dengannya di hari kiamat adalah shalat.” (HR. At Tirmidzi, An Nasa`i, Abu Dawud, Ibnu Majah dan Ahmad. Lafazh hadits riwayat Abu Dawud no.733)
    Bagi laki-laki, hendaknya dengan berjama’ah di masjid. Banyaklah berdzikir dan mengingat Allah subhanahu wata’ala. Bacalah Al Qur’an, karena sesungguhnya ia akan memberikan syafaat bagi pembacanya pada hari kiamat nanti. Banyaklah bertaubat kepada Allah subhanahu wata’ala. Betapa banyak dosa dan kemaksiatan yang telah kalian lakukan selama ini. Mudah-mudahan dengan bertaubat, Allah subhanahu wata’ala akan mengampuni dosa-dosa kalian dan memberi pahala yang dengannya kalian akan memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat.
    Wahai para pemuda, banyak-banyaklah beramal shalih, pasti Allah subhanahu wata’ala akan memberi kalian kehidupan yang bahagia, dunia dan akhirat. Allah subhanahu wata’ala berfirman:
    مَنْ عَمِلَ صَالِحًا
    مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
    “Barangsiapa yang mengerjakan amal shalih, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik.” (An Nahl: 97)
    Engkau Habiskan untuk Apa Masa Mudamu? Pertanyaan inilah yang akan diajukan kepada setiap hamba Allah subhanahu wata’ala pada hari kiamat nanti. Sebagaimana yang diberitakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam salah satu haditsnya:
    لاَ تَزُوْلُ قَدَمُ ابْنِ آدَمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ عِنْدِ رَبِّهِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ خَمْسٍ : عَنْ عُمْرِهِ فِيْمَا أَفْنَاهُ وَعَنْ شَبَابِهِ فِيْمَا أَبْلاَهُ وَمَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيْمَا أَنْفَقَهُ وَمَاذَا عَمِلَ فِيْمَا عَلِمَ.
    “Tidak akan bergeser kaki anak Adam (manusia) pada hari kiamat nanti di hadapan Rabbnya sampai ditanya tentang lima perkara: umurnya untuk apa dihabiskan, masa mudanya untuk apa dihabiskan, hartanya dari mana dia dapatkan dan dibelanjakan untuk apa harta tersebut, dan sudahkah beramal terhadap ilmu yang telah ia ketahui.” (HR. At Tirmidzi no. 2340)
    Sekarang cobalah mengoreksi diri kalian sendiri, sudahkah kalian mengisi masa muda kalian untuk hal-hal yang bermanfaat yang mendatangkan keridhaan Allah subhanahu wata’ala? Ataukah kalian isi masa muda kalian dengan perbuatan maksiat yang mendatangkan kemurkaan-Nya? Kalau kalian masih saja mengisi waktu muda kalian untuk bersenang-senang dan lupa kepada Allah subhanahu wata’ala, maka jawaban apa yang bisa kalian ucapkan di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala Sang Penguasa Hari Pembalasan? Tidakkah kalian takut akan ancaman Allah subhanahu wata’ala terhadap orang yang banyak berbuat dosa dan maksiat? Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengancam pelaku kejahatan dalam firman-Nya:
    مَنْ يَعْمَلْ سُوءًا يُجْزَ بِهِ وَلَا يَجِدْ لَهُ مِنْ دُونِ اللَّهِ وَلِيًّا وَلَا نَصِيرًا
    “Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu dan ia tidak mendapat pelindung dan tidak (pula) penolong baginya selain dari Allah.” (An Nisa’: 123)
    Bukanlah masa tua yang akan ditanyakan oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Oleh karena itu, pergunakanlah kesempatan di masa muda kalian ini untuk kebaikan. Ingat-ingatlah selalu bahwa setiap amal yang kalian lakukan akan dipertanggungjawabkan kelak di hadapan Allah subhanahu wata’ala. Jauhi Perbuatan Maksiat.
    Apa yang menyebabkan Adam dan Hawwa dikeluarkan dari Al Jannah (surga)? Tidak lain adalah kemaksiatan mereka berdua kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Mereka melanggar larangan Allah subhanahu wata’ala karena mendekati sebuah pohon di Al Jannah, mereka terbujuk oleh rayuan iblis yang mengajak mereka untuk bermaksiat kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
    Wahai para pemuda, senantiasa iblis, setan, dan bala tentaranya berupaya untuk mengajak umat manusia seluruhnya agar mereka bermaksiat kepada Allah subhanahu wa ta’ala, mereka mengajak umat manusia seluruhnya untuk menjadi temannya di neraka. Sebagaimana yang Allah subhanahu wata’ala jelaskan dalam firman-Nya (yang artinya):
    إِنَّ الشَّيْطَانَ لَكُمْ عَدُوٌّ فَاتَّخِذُوهُ عَدُوًّا إِنَّمَا يَدْعُو حِزْبَهُ لِيَكُونُوا مِنْ
    أَصْحَابِ السَّعِيرِ
    “Sesungguhnya setan itu adalah musuh bagimu, maka jadikanlah ia musuh(mu), karena sesungguhnya setan-setan itu mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala.” (Fathir: 6)
    Setiap amalan kejelekan dan maksiat yang engkau lakukan, walaupun kecil pasti akan dicatat dan diperhitungkan di sisi Allah subhanahu wata’ala. Pasti engkau akan melihat akibat buruk dari apa yang telah engkau lakukan itu. Allah subhanahu wata’ala berfirman (yang artinya):
    وَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ
    “Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sekecil apapun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya.” (Az Zalzalah: 8)
    Setan juga menghendaki dengan kemaksiatan ini, umat manusia menjadi terpecah belah dan saling bermusuhan. Jangan dikira bahwa ketika engkau bersama teman-temanmu melakukan kemaksiatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala, itu merupakan wujud solidaritas dan kekompakan di antara kalian. Sekali-kali tidak, justru cepat atau lambat, teman yang engkau cintai menjadi musuh yang paling engkau benci. Allah subhanahu wata’ala berfirman:
    إِنَّمَا يُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُوقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاءَ فِي الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَعَنِ الصَّلَاةِ فَهَلْ أَنْتُمْ مُنْتَهُونَ
    “Sesungguhnya setan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu karena (meminum) khamr dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan shalat, maka berhentilah kamu (dari mengerjakan perbuatan itu).” (Al Maidah: 91)
    Demikianlah setan menjadikan perbuatan maksiat yang dilakukan manusia sebagai sarana untuk memecah belah dan menimbulkan permusuhan di antara mereka. Ibadah yang Benar Dibangun di atas Ilmu Wahai para pemuda, setelah kalian mengetahui bahwa tugas utama kalian hidup di dunia ini adalah untuk beribadah kepada Allah subhanahu wata’ala semata, maka sekarang ketahuilah bahwa Allah subhanahu wata’ala hanya menerima amalan ibadah yang dikerjakan dengan benar.
    Untuk itulah wajib atas kalian untuk belajar dan menuntut ilmu agama, mengenal Allah subhanahu wata’ala, mengenal Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam, dan mengenal agama Islam ini, mengenal mana yang halal dan mana yang haram, mana yang haq (benar) dan mana yang bathil (salah), serta mana yang sunnah dan mana yang bid’ah.
    Dengan ilmu agama, kalian akan terbimbing dalam beribadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala, sehingga ibadah yang kalian lakukan benar-benar diterima di sisi Allah subhanahu wata’ala. Betapa banyak orang yang beramal kebajikan tetapi ternyata amalannya tidak diterima di sisi Allah subhanahu wata’ala, karena amalannya tidak dibangun di atas ilmu agama yang benar.
    Oleh karena itu, wahai para pemuda muslim, pada kesempatan ini, kami juga menasehatkan kepada kalian untuk banyak mempelajari ilmu agama, duduk di majelis-majelis ilmu, mendengarkan Al Qur’an dan hadits serta nasehat dan penjelasan para ulama. Jangan sibukkan diri kalian dengan hal-hal yang kurang bermanfaat bagi diri kalian, terlebih lagi hal-hal yang mendatangkan murka Allah subhanahu wa ta’ala.
    Ketahuilah, menuntut ilmu agama merupakan kewajiban bagi setiap muslim, maka barangsiapa yang meninggalkannya dia akan mendapatkan dosa, dan setiap dosa pasti akan menyebabkan kecelakaan bagi pelakunya.
    طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ.
    “Menuntut ilmu agama itu merupakan kewajiban bagi setiap muslim.” (HR. Ibnu Majah no.224)
    Akhir Kata Semoga nasehat yang sedikit ini bisa memberikan manfaat yang banyak kepada kita semua. Sesungguhnya nasehat itu merupakan perkara yang sangat penting dalam agama ini, bahkan saling memberikan nasehat merupakan salah satu sifat orang-orang yang dijauhkan dari kerugian, sebagaimana yang Allah subhanahu wata’ala firmankan dalam surat Al ‘Ashr: وَالْعَصْرِ (1)
    إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ (2) إِلَّا الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ
    “Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih dan nasehat- menasehati dalam kebenaran dan nasehat-menasehati supaya menetapi kesabaran.” (Al ‘Ashr: 1-3)
    Wallahu ta‘ala a’lam bishshowab.

    Sumber: Buletin Al-Ilmu, Penerbit Yayasan As-Salafy Jember (Sumber http://www.assalafy.org/mahad/?p=418)

    Jangan Percaya Ramalan Bintang

    Diposting oleh Wanita Sholehah di 00.38 0 komentar

    Penulis: Al Ustadzah Ummu Ishaq Al Atsariyyah
    Horoskop atau mudahnya kita sebut ramalan nasib seseorang dengan melihat bintang kelahirannya, termasuk satu kolom atau rubrik yang laris manis di surat kabar, tabloid, ataupun majalah. Bahkan bisa ditanyakan lewat sms ke paranormal tertentu yang memasang iklan di sejumlah media. Yang berbintang pisces, pantasnya berjodoh dengan yang berbintang A. Keberuntungan di tahun ini demikian dan demikian… Dalam waktu-waktu dekat ini ia jangan bepergian keluar kota karena bahaya besar mengancamnya di perjalanan. Untuk yang berbintang sagitarius, tahun ini lagi apes… Tapi di penghujung tahun akan untung besar, maka bagusnya ia usaha begini dan begitu… Cocoknya ia mencari pasangan gemini. Demikian contoh ramalan yang ada!
    Anehnya, ramalan dusta seperti ini banyak yang percaya. Bahkan di antara mereka bila melihat surat kabar atau majalah, rubrik dusta ini yang pertama kali mereka baca. Khususnya yang menyangkut bintang kelahiran mereka atau bintang kelahiran kerabat dan sahabat mereka. Ada yang menggantungkan usaha mereka dengan ramalan bintang, untuk mencari jodoh lihat apa bintangnya dan seterusnya.
    Meyakini bahwa bintang-bintang memiliki pengaruh terhadap kejadian di alam ini hukumnya haram. Kejadian seperti ini bukan muncul belakangan behkan merupakan keyakinan kuno, keyakinan kaum Namrud, raja yang kafir zalim, yang kepada mereka Nabiullah Ibrahim ‘alaihissalam diutus. Mereka dinamakan kaum Shabi`ah, para penyembah bintang-bintang. Mereka membangun haikal dan rumah-rumah ibadah untuk menyembah bintang-bintang tersebut. Mengakar dalam keyakinan mereka bahwa bintang-bintang mengatur perkara di alam ini. Wallahul musta’an (Allah Subhanahu wa Ta’ala sajalah yang dimintai pertolongan-Nya), keyakinan syirik tersebut telah diwarisi oleh umat yang datang setelah mereka. (I’anatul Mustafid bi Syarhi Kitabit Tauhid, Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah, 2/19)
    Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan bintang-bintang bukan untuk dijadikan tandingan-Nya sebagai pengatur alam semesta ini, atau sekadar memberi pengaruh terhadap kejadian di muka bumi. Sungguh, bintang-bintang tidak ada hubungannya dengan nasib dan keberuntungan seseorang.
    Qatadah ibnu Di’amah As-Sadusi rahimahullahu, seorang imam yang mulia dalam masalah tafsir, hadits, dan ilmu yang lainnya mengatakan, “Allah ‘Azza wa Jalla menciptakan bintang-bintang ini untuk tiga hikmah atau faedah, Pertama: sebagai penghias langit. Kedua: sebagai pelempar setan. Ketiga: sebagai tanda-tanda dijadikan petunjuk. Siapa yang menafsirkan dengan selain tiga faedah tersebut, sungguh ia telah salah dan menyia-nyiakan bagiannya[1]. Ia juga telah membebani dirinya dengan sesuatu yang tidak memiliki ilmu tentangnya.” (Diriwayatkan oleh Al Imam Al-Bukhari rahimahullahu dalam Shahih-nya, Kitab Bad`ul Khalqi, bab Fin Nujum)
    Faedah pertama dari penciptaan bintang-bintang ditunjukkan seperti dalam firman Allah ‘Azza wa Jalla:
    إِنَّا زَيَّنَّا السَّمَاءَ الدُّنْيَا بِزِينَةٍ الْكَوَاكِبِ
    Sesungguhnya Kami menghiasi langit dunia dengan perhiasan bintang-bintang.” (Ash Shaffat: 6)
    Faedah kedua sebagai pelempar setan, seperti dalam ayat:
    وَلَقَدْ زَيَّنَّا السَّمَاءَ الدُّنْيَا بِمَصَابِيحَ وَجَعَلْنَاهَا رُجُومًا لِلشَّيَاطِينِ ۖ وَأَعْتَدْنَا لَهُمْ عَذَابَ السَّعِيرِ
    Sungguh Kami telah menghiasi langit dunia dengan pelita-pelita dan Kami jadikan pelita-pelita tersebut sebagai pelempar para setan….(Al-Mulk: 5)
    Kenapa setan-setan itu dilempar? Karena mereka berupaya mencuri berita dari para malaikat di langit untuk kemudian disampaikan kepada dukun/tukang ramal, kekasih mereka dari kalangan manusia. Lalu dukun ini mencampurinya dengan seratus kedustaan.
    Sebelum Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam diutus, para setan ini bebas mencuri berita dari langit. Namun ketika beliau telah diangkat sebagai nabi dan rasul, Allah ‘Azza wa Jalla menjaga langit dengan panah-panah api yang dilepaskan dari bintang-bintang sehingga membakar dan membinasakan setan yang jahat tersebut. Allah ‘Azza wa Jalla menyampaikan kepada kita pengabaran para jin tentang diri mereka dalam ayat-Nya yang mulia:
    وَأَنَّا لَمَسْنَا السَّمَاءَ فَوَجَدْنَاهَا مُلِئَتْ حَرَسًا شَدِيدًا وَشُهُبًا وَأَنَّا كُنَّا نَقْعُدُ مِنْهَا مَقَاعِدَ لِلسَّمْعِ ۖ فَمَنْ يَسْتَمِعِ الْآنَ يَجِدْ لَهُ شِهَابًا رَصَدًا وَأَنَّا لَا نَدْرِي أَشَرٌّ أُرِيدَ بِمَنْ فِي الْأَرْضِ أَمْ أَرَادَ بِهِمْ رَبُّهُمْ رَشَدًا
    Dan sesungguhnya kami telah mencoba mengetahui rahasia langit, maka kami mendapatinya penuh dengan penjagaan yang kuat dan panah-panah api. Dan sesungguhnya kami dahulu dapat menduduki beberapa tempat di langit itu untuk mendengar-dengarkan berita-beritanya. Tetapi sekarang barangsiapa yang mencoba mendengar-dengarkan seperti itu tentu akan menjumpai panah api yang mengintai untuk membakarnya. Dan sungguh dengan adanya penjagaan tersebut kami tidak mengetahui apakah keburukan yang dikehendaki bagi orang yang di bumi ataukah Rabb mereka menghendaki kebaikan bagi mereka.(Al-Jin: 8-10)
    Faedah ketiga, bintang-bintang dijadikan sebagai tanda/petunjuk arah dan semisalnya. Sebagaimana Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
    وَأَلْقَىٰ فِي الْأَرْضِ رَوَاسِيَ أَنْ تَمِيدَ بِكُمْ وَأَنْهَارًا وَسُبُلًا لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ
    Dan Dia menancapkan gunung-gunung di bumi agar bumi itu tidak goncang bersama kalian dan Dia menciptakan sungai-sungai dan jalan-jalan agar kalian mendapatkan petunjuk. Dan Dia ciptakan tanda-tanda (penunjuk jalan). Dan dengan bintang-bintang itulah mereka mendapat petunjuk. (An-Nahl: 15)
    Allah ‘Azza wa Jalla menjadikan tanda-tanda di bumi dan di langit bagi musafir sebagai penunjuk arah bagi mereka. Tanda-tanda di bumi seperti jalan-jalan dan gang-gang, demikian pula gunung-gunung. Tanda-tanda di langit berupa bintang, matahari dan bulan. Orang-orang menjadikan bintang-bintang sebagai petunjuk/tanda bagi mereka ketika mereka melakukan perjalanan. Terlebih lagi di tengah lautan yang tidak bergunung dan tidak ada rambu-rambu. Demikian pula perjalanan di malam hari, dengan melihat bintang tertentu mereka jadi mengerti arah sehingga mereka bisa menuju arah yang mereka inginkan. (I’anatul Mustafid bi Syarhi Kitabit Tauhid, 2/21)
    Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
    وَهُوَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ النُّجُومَ لِتَهْتَدُوا بِهَا فِي ظُلُمَاتِ الْبَرِّ وَالْبَحْرِ ۗ قَدْ فَصَّلْنَا الْآيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ
    Dan Dia-lah yang menjadikan bintang-bintang untuk kalian agar kalian menjadikannya sebagai petunjuk dalam kegelapan di daratan dan di lautan.(Al-An’am: 97)
    Maksudnya, dengan bintang-bintang tersebut kalian dapat mengetahui arah tujuan kalian (dalam perjalanan). Bukankah yang dimaksudkan di sini bahwa bintang-bintang itu dijadikan petunjuk dalam ilmu gain, sebagaimana diyakini oleh para ahli nujum. (Fathul Majid, 2/529)
    Siapa yang ingin menambah lebih dari tiga perkara ini seperti meyakini bintang-bintang itu menunjukkan kejadian di muka bumi, turunnya hujan, berhembusnya angin, kematian atau kehidupan seseorang, maka semuanya itu mengada-ada dan mengaku-aku tahu ilmu gaib. Padahal tidak ada yang tahu tentang perkara gaib kecuali hanya Allah ‘Azza wa Jalla. Dia Yang Maha Suci berfirman:
    قُلْ لَا يَعْلَمُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ الْغَيْبَ إِلَّا اللَّهُ ۚ وَمَا يَشْعُرُونَ أَيَّانَ يُبْعَثُونَ
    Katakanlah (ya Muhammad) tidak ada seorang pun yang ada di langit dan di bumi mengetahui perkara gaib kecuali Allah saja.” (An-Naml: 65)
    Asy-Syaikh Abdurrahman bin Hasan Alusy Syaikh rahimahullahu berkata mengomentari ucapan Qatadah di atas, “Perhatikanlah kemungkaran yang diingkari oleh Imam ini yang terjadi di masa tabi’in hingga sampai pada puncaknya di masa-masa ini. Bala merata di seluruh penjuru negeri, baik sedikit maupun banyak. Namun jarang didapatkan orang yang mengingkarinya dalam agama. Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.” (Fathul Majid, 2/528-529)
    Meramal nasib dengan gerakan-gerakan bintang dan bentuknya termasuk dalam apa yang diistilahkan dengan ilmu ta`tsir, yaitu keyakinan bahwa bintang-bintang memberi pengaruh di alam ini. Ilmu ini haram hukumnya. Ilmu ini terbagi tiga macam, sebagiannya lebih haram daripada yang lainnya.
    Pertama: meyakini bahwa bintang-bintang itulah yang menjadikan peristiwa-peristiwa di alam ini baik berupa kebaikan ataupun kejelekan, sakit ataupun sehat, paceklik ataupun panen raya, dan selainnya. Sumber kejadian di alam ini adalah gerakan-gerakan dan bentuk-bentuk bintang. Keyakinan kaum Shabi`ah ini merupakan penentangan kepada Sang Pencipta ‘Azza wa Jalla, karena menganggap adanya pencipta selain Dia, dan merupakan kekufuran yang nyata berdasarkan kesepakatan kaum muslimin.
    Kedua: seseorang tidak meyakini bahwa bintang-bintang itu yang menjadikan peristiwa di alam ini. Tapi menurutnya bintang-bintang itu hanya sebab yang memberi pengaruh. Adapun yang menciptakan adalah Allah ‘Azza wa Jalla. Keyakinan ini pun batil, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak pernah menjadikan bintang-bintang itu sebagai sebab, dan bintang tersebut tidak ada hubungannya dengan apa yang berlangsung di alam ini.
    Ketiga: menjadikan bintang-bintang sebagai petunjuk atas kejadian yang akan datang. Ini merupakan bentuk pengakuan terhadap ilmu gaib, masuk dalam katagori perdukunan serta sihir. Hukumnya kafir menurut kesepakatan kaum muslimin. (Al-Qaulul Mufid ‘ala Kitabit Tauhid, Asy-Syaikh Muhammad Shalih Al-Utsaimin rahimahullah 2/5,6)
    Ketiga macam ilmu ta`tsir ini batil, kata Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah. Namun sayangnya, perkara batil ini disebarkan di kolom khusus pada sebagian majalah yang tidak berpegang dengan ajaran Islam. Disebutkan bahwa pada bintang A akan diperoleh ini dan itu bagi siapa yang melangsungkan pernikahan, atau siapa yang berjual beli akan beroleh laba. Sementara bintang B nahas/sial. Semua itu termasuk keyakinan jahiliah. (I’anatul Mustafid bi Syarhi Kitabit Tauhid, Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah, 2/25)
    Al-Khaththabi rahimahullah berkata, “Ilmu nujum (perbintangan) yang terlarang adalah ilmu yang diaku-akui oleh ahli nujum bahwa mereka punya pengetahuan tentang alam dan peristiwa-peristiwa yang akan terjadi di masa datang. Seperti, kapan waktu berhembusnya angin dan datangnya hujan, dan kapan terjadi perubahan harga, ataupun yang semakna dengannya berupa perkara-perkara–menurut pengakuan dusta mereka– yang dapat diketahui dari perjalanan bintang-bintang di garis edarnya dan dari berkumpul atau berpisahnya bintang-bintang tersebut. Mereka mengaku-aku bahwa bintang-bintang tersebut punya pengaruh terhadap alam bawah (bumi).” (Ma’alimus Sunan 4/230, sebagaimana dinukil dalam Fathul Majid 2/527)
    Demikianlah. Maka jangan percaya dengan bualan si tukang ramal, apapun sebutan untuknya. Jangan pula percaya dengan omong kosong ramalan bintang. Jangan korbankan akidah dan jangan rusak tauhid anda! Wallahu a’lam bish-shawab.
    Catatan kaki:
    [1] Karena ia telah menyibukkan dirinya dengan perkara yang memudharatkannya dan tidak memberikan manfaat kepadanya. (Fathul Majid, 2/530)
    (Sumber: Majalah Asy Syariah No. 42/IV/1429 H/2008, halaman 92 s.d.94. Judul: Jangan Percaya Ramalan Bintang. Penulis: Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah. katagori: Mutiara Kata)

    Kesehatan Ibu Islami

    Diposting oleh Wanita Sholehah di 00.31 0 komentar
    Ada 4 faktor kesehatan :
    Sebagaimana sudah saya sampaikan bahwa memahami kesehatan hanya dari fisik saja akan memberi hasil yang tidak memuaskan, kita perhatikan bagaimana ibu/muslimah yang sehat ada 4 aspek yaitu, sehat fisik, sehat jiwa, sehat social, sehat spiritual.

    Kesehatan fisik :
    Kita akan mulai mengamati kecenderungan kesehatan ibu modern ini dari problem kesehatannya dan menarik garis menuju sebab dari kecenderungan itu.

    A. Kecenderungan kesehatan ibu modern
    Seperti sudah saya jelaskan bahwa factor penting yang berperan dalam menjadikan seseorang sehat atau tidak sehat adalah bagaimana memfungsikan karunia Allah atas badan dan jiwa kita dalam berinteraksi dengan manusia lain dan dengan alam.

    • Sedentary living pola hidup yang kurang gerak/bermalas-malasan. yaitu pola hidup yang ditandai dengan :
    - Kerja duduk dalam waktu lama.
    - Efek remote control, teknologi remote control telah menambah kemalasan seseorang.
    - Otomatisasi
    - Tidak sempat olah raga karena tekanan waktu.

    • Stress
    Banyak factor yang memicu stress bagi para ibu terutama di kota-kota besar, mulai factor ekonomi sampai social.
    - Masalah anak : anak nakal, problem pendidikan anak di sekolah dan dirumah,
    interaksi anak dengan temannya, keselamatan, perkembangan psikologi anak, dll. menuntut seorang wanita/ibu berpikir keras terus-menerus.
    - Pekerjaan/persaingan kerja : sebagian besar ibu modern di kota besar adalah pekerja bahkan ada yang menduduki posisi menentukan di kantornya, akibatnya mereka harus berhadapan dengan banyak tenaga kerja yang belakangan ini mengajukan banyak tuntutan yang kadang-kadang sulit untuk dipenuhi oleh perusahaan. Ibu sebagai manajer atau pada posisi apapun menanggung beban berat karena para wanita lebih sensitive terhadap persoalan disekelilingnya. Persoalan di tempat kerja memberi kontribusi yang cukup besar terhadap munculnya stress pada wanita pekerja.
    - Ikut memperjuangkan kebutuhan hidup keluarga : banyak ibu rumah tangga yang disamping menanggung beban pekerjaan domestic yang mulia, masih harus membantu suaminya mencari nafkah.
    - Tekanan mental-emosional dari lingkungan : banyaknya masyarakat yang menganut pergaulan bebas, demoralisasi, pelecehan gender yang masih sering terjadi, pelecehan seksual dan bahkan kekerasan seksual adalah tantangan rutin para wanita pekerja.
    Yang saya jelaskan diatas adalah hal-hal yang spesifik dialami wanita pekerja yang kadang-kadang sulit dilawan. Disamping itu tuntutan hemat waktu memaksa para wanita terutama pekerja untuk makan hanya sekedar untuk kenyang. Dan cara mudah mengenyangkan perut adalah dengan makan makanan siap saji yang sebagian besar adalah junk food, akibatnya mereka makan makanan dgn bahan pengawet/tidak segar, makanan serba instant, dan sering kali disertai dengan keadaan dehidrasi akibat kurang atau tidak sempat minum, dll.

    Kebiasaan-kebiasaan seperti ini secara keseluruhan diduga dapat mengakibatkan usia estrogen memendek dengan akibat:
    1. Cepat menopause, dengan segala keluhannya, banyak wanita menopause dalam usia kurang dari 40 tahun, sehingga meningkatkan keluhan-keluhan.
    2. Kasus obesitas/kegemukan, perut buncit dan paha membesar meningkat dari hari ke hari
    3. Osteoporosis akibat kurang gerak dan makanan rendah kalsium
    4. Radang sendi/arthritis pada usia yang relatif muda.
    5. Peningkatan kasus serangan jantung pada wanita, kasus sudden death pada wanita meningkat pesat menurut statistik peningkatannya sampai 40% dibandingkan 30 tahun yang lalu.
    6. Tekanan darah tinggi pada wanita meningkat 32% dibanding 10 tahun lalu
    7. Kejadian metabolik sindrom akibat peningkatan kadar gula darah, kolesterol meningkat, kencing manis yang sering kali berakhir dengan stroke, kasus Dislipidemia atherogenic pada wanita juga meningkat, yang ditandai
    - peningkatan kadar trigliserida lebih besar dari 150 mg/dl
    - penurunan kadar HDL – Cholesterol :
    • Pria < 40 mg/dl
    • wanita < 50 mg/dl
    - hipertensi
    - gula darah yang tinggi.
    Ini disebut sindroma metabolik dan sering disebut juga sindroma X, atau juga the deadly quartet.
    8. Depresi karena kerasnya persaingan ekonomi
    9. Informasi yang bersifat sangat bebas telah merusak spiritualitas wanita muslimah, yang paling gencar diserukan oleh gerakan women’s lib, yang di Indonesia bergerak denagn nama-nama tersamar, padahal tidak ada aturan kebebasan bermartabat bagi wanita yang lebih hebat dari aturan Islam. Sementara gerakan women’s lib justeru merusak moralitas dan martabat wanita dan menggoyahkan keindahan sendi-sendi mawaddah wa rohmah dalam prinsip rumah tangga Islami.

    B. Cara menanggulanginya:

    1. Tingkatkan aktifitas fisik
    • Kerjakan sendiri pekerjaan yang bisa dilakukan.
    • Kurangi nonton TV, maksimal 2 jam sehari
    • Lakukan puasa sunnah, misalnya senin – kamis
    • Ambil kembali peran domestik
    2. Makanan
    • Kurangi makanan manis
    • Kurangi lemak hewani, perbanyak lemak nabati.
    • Atur porsi makan, sarapan cukup utk energi bekerja, makan siang cukup, makan malam tetap makan tapi sedikit
    • Sayur atau buah wajib pada makan siang atau malam
    • Jangan ngemil
    • Usahakan makanan segar, jika mungkin yang baru dimasak
    • Minum air putih minimal 30 cc/kg bb/hari pada keadaan udara sejuk, jika udara panas tambahkan 20% lagi, jika berolah raga tambahkan kira-kira 500 cc .
    3. Biji-bijian
    Makanlah biji-bijian yang mengandung vitamin, mineral dan fitoestrogen/estrogen alami.
    • kacang-kacangan, kacang tanah baik utk kesehatan jantung dan pembuluh darah
    • biji bunga matahari, mengandung fitoestrogen disamping vitamin dan mineral
    • kedelai dan produk kedelai
    • Obat herbal untuk mensuplai fitoestrogen terutama bagi wanita usia diatas 35 tahun dimana kerja estrogen mulai menurun.
    4. Susu segar
    • minumlah segelas susu setiap hari karena kandungan protein dan kalsium yang banyak dan mudah diserap dan bacalah doa seperti diajarkan Rasulullah SAW:
    Allahumma baariklanaa fiihi wa zidnaa minhu
    5. Lakukan rekreasi yaitu pergi sebentar melupakan kejenuhan tugas-tugas domestik jika mungkin dengan suami tanpa membawa anak, tingkatkan silaturrahim
    6. Lakukan kegiatan kelompok : pengajian, kegiatan kewanitaan, terutama dilingkungan tempat tinggal
    7. Jangan dibiasakan minum obat bebas, obat hanya diminum jika memang perlu sesuai keluhan
    8. Tingkatkan kualitas sholat dan wudhu.

    Semoga artikel yang di tulis Oleh dr muhammad ali toha yang berjudul kesehatan Ibu Islami bisa bermanfaat.

    Kamis, 24 Februari 2011

    Hubungan Hamba dengan Tuhannya

    Diposting oleh Wanita Sholehah di 04.45 0 komentar
    Sebagian orang ada yang menyangka bahwa hubungan antara hamba dengan Tuhannya adalah cukup dilakukan dengan melaksanakan ibadat lahir saja (syariat) tanpa disertakan hubungan hati berma'rifat kepada Allah. Mereka menyangka bahwa demikianlah cara beribadat yang dilakukan oleh Rasulullah saw. dan para sahabatnya. Padahal Rasulullah sendiri telah memberikan garis dan dasar yang kuat dengan sabda beliau,
    "Tidak sah suatu ibadat, kecuali disertai dengan hati yang berma'rifat".

    Kita sendiri dapat merasakan kalau ibadat kita tidak mempunyai pertalian hati kepada Allah. Sudah tentu cara demikian tidak termasuk golongan ibadah yang ikhlas. Satu-satunya ciri khas, bahwa ibadah yang diterima Allah adalah ibadah yang menyejukkan hati dan terasa lezat mengerjakannya.

    Syeikh Ibnu 'Athaillah telah berkata dalah kitabnya "Syarah Hikmah", ada tiga golongan manusia yang beribadah kepada Tuhannya, yaitu :




  • Orang yang semata-mata melakukan ibadah yang lahir saja, tidak disertai dengan hati yang berma'rifat. Golongan ini mempunyai harapan yang besar untuk mendapatkan balasan pahala dari Tuhannya.







  • Ibadah yang disertai dengan hati yang hidmat. Golongan ini dapat merasakan bahwa dirinya dimiliki Allah dan gerak diamnya ditolong Allah. Dia mengerti maksud Allah, bahwa Allah sangat ridha kepada hamba-Nya yang melakukan ibadah disertai dengan pertolongan Allah (tidak dengan yang lain). Golongan ini termasuk yang menang dari hawa nafsu.







  • Ibadah yang terasa dekat kepada Allah lebih dekat dari urat lehernya. Golongan ini telah mengerti akan perjalanan hak Tuhannya yang disertakan Allah dimanapun dia berada. Antara dirinya dengan hak Allah tidak terhijab.






  • Setiap orang yang mengenal dirinya sebagai hamba Allah sudah tentu terlepas dari sifat kehambaannya, yaitu faqir, dhaif, hina, dan kekurangan. Kemudian dia mengenal pula sifat Tuhannya yaitu, kaya, kuasa, kuat, mulia, dan sempurna.

    Ingatlah bahwa Rasulullah memanggil umatnya sebanyak-banyaknya supaya menjalankan tasdiq kalimah tauhid dengan menghapuskan kekuatan kita dan menggantikannya dengan hak Allah, menghapuskan sifat kita dan menggantinya dengan sifat Allah.

    Tujuan tauhid yang sebenarnya adalah untuk menegakkan sifat kehambaan kepada Allah yang disebut dengan sifat ubudiah.

    Ciri sifat ubudiah itu adalah sebagai berikut:

    1. Tercabutnya sifat basyariah, yakni hilang rasa serba aku seperti, aku kuat, aku gagah, aku pintar, dan sebagainya.
    2. Dekat kehadirat ahad, yaitu menuju keesaan Allah Ta'alaa.
    3. Hapus aghyar (gangguan dihati).
    4. Ruh rindu kepada Allah yang menjadikannya dan yang ke;
    5. terbuka rahasia Allah atau rahasia ketuhanan.
    http://andimuhammadaliblogs.blogspot.com/

    Senin, 21 Februari 2011

    IBU..., CERITAKAN AKU TENTANG IKHWAN SEJATI...

    Diposting oleh Wanita Sholehah di 06.52 0 komentar

    Seorang remaja pria bertanya pada ibunya: Ibu, ceritakan padaku tentang ikhwan sejati...

    Sang Ibu tersenyum dan menjawab... Ikhwan Sejati bukanlah dilihat dari bahunya yang kekar, tetapi dari kasih sayangnya pada orang disekitarnya....

    Ikhwan sejati bukanlah dilihat dari suaranya yang lantang, tetapi dari kelembutannya mengatakan kebenaran.....

    Ikhwan sejati bukanlah dilihat dari jumlah sahabat di sekitarnya, tetapi dari sikap bersahabatnya pada generasi muda bangsa ...

    Ikhwan sejati bukanlah dilihat dari bagaimana dia di hormati ditempat bekerja, tetapi bagaimana dia dihormati didalam rumah... Ikhwan sejati bukanlah dilihat dari kerasnya pukulan, tetapi dari sikap bijaknya memahami persoalan...

    Ikhwan sejati bukanlah dilihat dari dadanya yang bidang, tetapi dari hati yang ada dibalik itu...

    Ikhwan sejati bukanlah dilihat dari banyaknya akhwat yang memuja, tetapi komitmennya terhadap akhwat yang dicintainya...

    Ikhwan sejati bukanlah dilihat dari jumlah barbel yang dibebankan, tetapi dari tabahnya dia mengahdapi lika-liku kehidupan...

    Ikhwan Sejati bukanlah dilihat dari kerasnya membaca Al-Quran, tetapi dari konsistennya dia menjalankan apa yang ia baca...

    ....setelah itu, ia kembali bertanya...

    " Siapakah yang dapat memenuhi kriteria seperti itu, Ibu ?"

    Sang Ibu memberinya buku dan berkata.... "Pelajari tenteng dia..." ia pun mengambil buku itu

    "MUHAMMAD SAW" , judul buku yang tertulis di buku itu

    http://hanifahtheone.blogspot.com/2010/12/ibu-ceritakan-aku-tentang-ikhwan-sejati.html

    Minggu, 20 Februari 2011

    Tidur Cantik sesuai Tuntunan Rasulullah

    Diposting oleh Wanita Sholehah di 23.45 0 komentar
    Tidur bagi muslimah merupakan saat yang sangat penting. Karena dalam tidurnya ia mengumpulkan tenaga untuk beribadah kepada Allah. Selain itu, ketika tidur hati seorang muslimah di antara jemari Allah. Seorang muslimah cantik karena agamanya. Jadi tidurnya pun harus cantik. Hendaknya seorang muslimah menjaga adab-adab dalam tidur dengan adab yang diajarkan dalam agama Islam, ternyata tidur pun ada tuntunannya lho, tak hanya asal “Brak-Bruk” karena mata yang sudah tak mau berkompromi :-D , apalagi untuk seorang muslimah, tidurpun harus dalam keadaan yang cantik :-D
    1. Tidak tidur terlalu malam setelah sholat isya kecuali dalam keadaan darurat seperti untuk mengulang (muroja’ah) ilmu atau adanya tamu atau menemani keluarga.
    “Bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘allaihi wasallam membenci tidur malam sebelum (sholat Isya) dan berbincang-bincang (yang tidak bermanfaat) setelahnya.” [Hadist Riwayat Al-Bukhari No. 568 dan Muslim No. 647 (235)
    2. Tidur dalam keadaan sudah berwudhu
    “Apabila engkau hendak mendatangi pembaringan (tidur), maka hendaklah berwudhu terlebih dahulu sebagaimana wudhumu untuk melakukan sholat.” (HR. Al-Bukhari No. 247 dan Muslim No. 2710
    3. Mendahulukan posisi tidur di atas sisi sebelah kanan (rusuk kanan sebagai tumpuan) dan berbantal dengan tangan kanan, tidak mengapa apabila setelahnya berubah posisinya di atas sisi kiri.
    “Berbaringlah di atas rusuk sebelah kananmu.” (HR. Al-Bukhari no. 247 dan Muslim no. 2710)
    4. Membaca ayat-ayat Al-Qur’an, antara lain:
    a) Membaca ayat kursi.
    b) Membaca dua ayat terakhir dari surat Al-Baqoroh.
    c) Mengatupkan dua telapak tangan lalu ditiup dan dibacakan surat Al-Ikhlas, Al-Falaq dan An-Naas kemudian dengan dua telapak tangan mengusap dua bagian tubuh yang dapat dijangkau dengannya dimulai dari kepala, wajah, dan tubuh bagian depan, hal ini diulangi sebanyak 3 kali (HR. Al-Bukhari dalam Fathul Bari XI/277 No. 4439, 5016 (cet. Daar Abi Hayan) Muslim No. 2192, Abu Dawud No. 3902, At-Tirmidzi)
    5. Memakai celak mata ketika hendak tidur
    “Bahwasanya Rasululloh shallallahu ‘alaihi wasallam senantiasa memakai celak dengan batu celak setiap malam sebelum beliau hendak tidur malam, beliau sholallahu ‘alaihi wassalam memakai celak pada kedua matanya sebanyak 3 kali goresan.” (HR. Ibnu Majah No. 3497)