Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum wanita  haidl duduk di masjid menjadi dua pendapat:
Pertama: Jumhur mengharamkan kecuali sebatas lewat  saja.
Kedua: Ibnu Hazm dan Al Muzani dari kalangan  Syafi'iyah membolehkan.    
Dalil-dalil jumhur.
1. Hadits  Ummu 'Athiyyah ia berkata:
أُمِرْنَا أَنْ نُخْرِجَ الْحُيَّضَ يَوْمَ الْعِيدَيْنِ  وَذَوَاتِ الْخُدُورِ فَيَشْهَدْنَ جَمَاعَةَ الْمُسْلِمِينَ  وَدَعْوَتَهُمْ وَيَعْتَزِلُ الْحُيَّضُ عَنْ مُصَلَّاهُنَّ 
"Kami diperintahkan untuk mengeluarkan wanita haidl  dan pingitan pada dua hari raya agar mereka menyaksikan jama'ah kaum  muslimin dan seruan mereka, sedangkan wanita haidl memisahkan diri dari  mushalla (tempat shalat) mereka". (HR Bukhari dan Muslim dan ini adalah  lafadz Bukhari).
Dalam hadits ini Nabi shallallahu 'alaihi wasallam  memerintahkan para wanita haidl untuk memisahkan diri dari mushalla dan  yang dimaksud mushalla di sini adalah tempat shalat, jadi hadits adalah  nash yang melarang wanita haidl masuk ke dalam masjid.
2. Hadits  Jasrah binti Dajajah dari Aisyah ia berkata:
فَإِنِّي لَا أُحِلُّ الْمَسْجِدَ لِحَائِضٍ وَلَا جُنُبٍ 
"Sesungguhnya aku tidak menghalalkan masjid untuk  wanita haidl tidak juga junub". (HR Abu Dawud).
3. Kisah  haidlnya Aisyah sewaktu haji wada' dan Nabi bersabda:
افْعلِي مَا يَفْعَلُ الحَاجَّ غَيْرَ ألاَّ تَطُوفِي  بِالبَيْتِ حَتَّى تَطْهُرِي 
"lakukanlah semua apa yang dilakukan oleh orang yang  berhaji kecuali engkau tidak boleh thawaf di Ka'bah sampai engkau suci".  (HR Bukhari dan Muslim).
Dalam hadits ini Nabi shallallahu 'alaihi wasallam  melarang wanita haidl thawaf di Ka'bah karena dikhawatirkan akan tinggal  di masjid.
4. Diqiyaskan  kepada orang yang junub, karena orang yang junub tidak boleh masuk  masjid berdasarkan surat An Nisa : 43 yang disebutkan di dalamnya:  "Tidak pula junub kecuali 'abiri sabiil sampai ia mandi". Ibnu Mas'ud  dan ibnu Abbas menafsirkan bahwa maknanya orang junub tidak boleh masuk  masjid kecuali sebatas melewat saja.
5. Hadits  Aisyah bahwa ia pernah menyisir rambut Nabi shallallahu 'alaihi  wasallam yang sedang beri'tikaf di masjid sementara Aisyah haidl dan  Aisyah berada di rumahnya dan Nabi memasukkan kepalanya ke dalam rumah.  (HR Muslim).
Kalaulah wanita haidl boleh masuk ke dalam masjid  tentu Nabi tidak akan melakukan perbuatan seperti itu.
Dalil-dalil pendapat kedua.
Dalil yang paling kuat untuk pendapat kedua adalah  karena tidak adanya dalil yang shahih dan sharih yang menunjukkan  haramnya wanita haidl duduk-duduk di masjid sehingga di kembalikan  kepada hukum istishhab yaitu bahwa pada asalnya sesuatu itu halal.
Mereka menjawab dalil-dalil jumhur sebagai berikut:
· Adapun dalil pertama  dijawab sebagai berikut:
1. Bahwa  yang dimaksud dengan mushalla dalam hadits itu adalah shalat itu  sendiri sebagaimana dijelaskan dalam hadits lain:
فَأَمَّا الْحُيَّضُ فَيَعْتَزِلْنَ الصَّلَاةَ وَيَشْهَدْنَ  الْخَيْرَ وَدَعْوَةَ الْمُسْلِمِينَ 
"Adapun wanita haidl meninggalkan shalat dan  menyaksikan kebaikan dan seruan kaum muslimin". (HR Muslim).
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan para shahabatnya  melaksanakan shalat hari raya di lapangan bukan di masjid, sehingga  perintah untuk wanita haidl meninggalkan mushalla tiada lain maksudnya  adalah shalat.
2. Walaupun  misalnya kita menerima bahwa maknanya adalah tempat shalat, maka  lapangan tidak bisa dikiyaskan dengan masjid karena ini adalah qiyas  yang amat jauh berbeda.
· Adapun dalil yang  kedua dijawab :
Bahwa haditsnya adalah dla'if karena di dalam sanadnya  terdapat perawi yang bernama Jasrah binti Dajajah.
Al Hafidz berkata: "Maqbul". Artinya diterima bila ada  mutaba'ah dan bila tidak ada maka haditsnya lemah, dan tidak ada  seorangpun perawi lain yang memutaba'ah Jasrah sehingga hadits ini  lemah. Ibnul Qathan berkata: "Sanadnya tidak shahih". (Bayanul wahmi  5/327), ibnu Rusyd berkata: "Hadits tersebut tidak shahih menurut para  ahli hadits". (Al Hidayah takhrij Al Bidayah 2/31).
· Adapun dalil yang  ketiga dijawab:
Bahwa berdalil dengan hadits ini untuk melarang wanita  haidl sangat lemah sekali karena Nabi shallallahu 'alaihi wasllam hanya  melarang thawaf bagi wanita haidl, sedangkan larangan thawaf lebih  khusus dari larangan masuk masjid, kalaulah larangan thawaf di ka'bah  karena dikhawatirkan terkotori oleh darah haidl tentu beliau akan  menyuruhnya untuk menyumbat kemaluannya sebagaimana menyuruh Asma bintu  Umais ketika melahirkan di miqat.
Dan membawa makna larangan thawaf bagi wanita haidl  kepada makna larangan masuk masjid adalah memalingkan lafadz dari  maknanya secara lahiriah dengan tanpa dalil.
· Adapun dalil yang  keempat dijawab:
1. Bahwa  yang dimaksud dengan 'abiri sabiil adalah musafir sebagaimana yang  ditafsirkan oleh ibnu Abbas dalam riwayat Qatadah dari Abu Mijlaz dari  ibnu Abbas dan ini adalah sanad yang shahih.
2. Penafsiran  ibnu Mas'ud terhadap ayat tersebut untuk orang junub yang melewati  masjid, riwayatnya lemah karena ia berasal dari riwayat Abu Ubaidah bin  Abdullah dari ibnu Mas'ud, sedangkan Abu Ubaidah tidak mendengar dari  ibnu Mas'ud sehingga sanadnya terputus. Demikian pula penafsiran ibnu  Abbas yang semakna dengannya, riwayatnya juga lemah karena berasal dari  periwayatan Abu Ja'far Ar Razi.
3. Walaupun  bisa diterima bahwa yang dimaksud dengan ayat adalah orang junub, namun  mengkiyaskan wanita haidl dengan junub adalah qiyas yang jauh berbeda
4. Adanya  riwayat bahwa beberapa shahabat pernah duduk di masjid dalam keadaan  junub apabila mereka telah berwudlu, dikeluarkan oleh Sa'id bin Manshur  dalam sunannya dengan sanad yang hasan.
· Adapun dalil yang  kelima dijawab:
Bahwa hadits ini adalah hikayat perbuatan yang  mempunyai banyak kemungkinan diantaranya adalah boleh jadi Nabi  shallallahu 'alaihi wasallam melakukan demikian karena di dalam masjid  banyak laki-laki sehingga beliau tidak mengizinkan Aisyah untuk menyisir  rambutnya di dalam masjid, atau karena Aisyah meyakini bahwa masjid  bukan tempat untuk mencuci rambut sebagaimana disebutkan dalam Muslim  Aisyah berkata: "Lalu aku mencucinya sedangkan aku dalam keadaan haidl".  Sedangkan dalil bila mempunyai banyak kemungkinan-kemungkinan yang sama  kuatnya tidak dapat dijadikan dalil sampai didapatkan dalil lain yang  tegas.
Diantara dalil yang dipegang oleh pendapat kedua  adalah hadits Aisyah bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda  kepadanya:
نَاوِلِينِي الْخُمْرَةَ مِنْ الْمَسْجِدِ قَالَتْ فَقُلْتُ  إِنِّي حَائِضٌ فَقَالَ إِنَّ حَيْضَتَكِ لَيْسَتْ فِي يَدِكِ. 
"Ambilkan khumrah dari masjid ! aku berkata: "Akan  tetapi aku sedang haidl". Beliau bersabda: "Sesungguhnya haidlmu bukan  di tanganmu". (HR Muslim).
Hadits ini menunjukkan bahwa badan wanita haidl itu  suci dan bahwa ia boleh mengambil sesuatu dari masjid dan tidak ada  bedanya antara sebatas melewat dengan duduk, karena bila alasannya bahwa  wanita haidl tidak boleh masuk masuk karena haidlnya tentu Nabi  shallallahu 'alaihi wasallam tidak akan mengidzinkan Aisyah masuk ke  masjid untuk mengambil khumrah.
Adapun perkataan imam An Nawawi bahwa yang dimakna  hadits itu artinya bahwa Nabi menyuruh Aisyah dari masjid dan Aisyah  mengambilnya dari luar masjid adalah pemahaman yang tidak ditunjukkan  oleh redaksi hadits tersebut, oleh karena itu para penulis sunan yang  empat kecuali An nasai memberikan judul untuk hadits tersebut: "Bab  wanita haidl mengambil sesuatu dari masjid". At Tirmidzi berkata:  "Hadits Aisyah hasan shahih dan ia adalah pendapat seluruh ahli ilmu,  kami tidak mengetahui adanya perselisihan dalam masalah ini yaitu  bolehnya wanita haid mengambil sesuatu dari masjid". (Ats TSamat Al  Mustathab 1/741).
Dan inilah pendapat yang shahih bahwa wanita haidl  boleh duduk di masjid, wallahu a'lam.

 
 












Tidak ada komentar:
Posting Komentar